Prolog

15 8 3
                                    

Hujan deras mengguyur Distrik Mapo malam itu, menjatuhkan tetes-tetes air di antara gedung-gedung tua dan gang sempit yang dipenuhi lampu neon berkedip. Lee Nari bergegas melintasi jalan basah yang licin, sepatu kasualnya sudah basah kuyup sejak sepuluh menit lalu. Ia menggendong tas kanvas lusuh, di dalamnya berisi sisa-sisa roti soboro dari kafe tempatnya bekerja.

Apartemen kumuh yang disebutnya "rumah" terletak di ujung gang yang gelap, diapit oleh restoran tteokbokki kecil dan salon yang hampir bangkrut. Udara malam terasa dingin menusuk tulang, membuat tubuhnya menggigil meski ia sudah membungkus diri dengan jaket tipis.

Saat Nari baru saja memasuki lobi apartemen yang sempit dan bau, suara familiar menghentikan langkahnya.

“Nona Lee!” seru seorang pria dengan suara berat.

Nari mendongak, matanya langsung bertemu dengan sosok pria bertubuh besar, mengenakan jas hitam yang tampak terlalu sempit untuk tubuhnya. Di belakangnya berdiri dua pria lainnya, masing-masing membawa tatapan dingin yang membuat siapa pun mundur selangkah.

“Pak Oh…” Nari menghela napas, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

“Kau tahu kenapa aku di sini, bukan?” suara Pak Oh terdengar tenang, tapi penuh ancaman. “Hutang orangtuamu sudah dua bulan menunggak lagi. Kami butuh pembayaran malam ini, atau—”

“Pak Oh, tolong beri saya waktu lagi,” potong Nari dengan suara memohon. “Saya sedang berusaha. Saya bekerja siang dan malam di kafe. Bulan depan, saya pasti bisa membayar sebagian!”

Pak Oh menyeringai sinis, “Kau sudah bilang itu dua bulan lalu, Nona Lee. Tapi tetap saja, kami tidak melihat hasilnya.”

Nari menelan ludah, tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. “Tolong, beri saya sedikit waktu lagi. Saya akan melakukan apa saja…”

Pria itu mendekat, membuat Nari mundur hingga punggungnya menyentuh dinding yang dingin. “Apa saja, katamu?” Pak Oh mengangkat alisnya. “Baiklah. Mulai besok, kami akan mengambil alih semua penghasilanmu. Kalau kau tidak setuju, kau tahu apa yang akan kami lakukan.”

Nari mengangguk pasrah, meski hatinya terasa seperti diiris. Ia tahu ia tak memiliki pilihan lain.

Setelah para penagih hutang itu pergi, Nari melangkah lemas ke kamarnya di lantai tiga. Apartemennya kecil, hanya terdiri dari satu ruang utama yang sekaligus menjadi dapur, ruang tamu, dan kamar tidur. Sebuah futon tipis terhampar di lantai, satu-satunya tempat ia bisa beristirahat.

Nari duduk di dekat jendela kecil yang menghadap ke jalan. Di bawah sana, lampu-lampu neon dari kedai pojangmacha (warung tenda) memantulkan warna merah dan kuning di genangan air hujan. Bau hangat odeng dan kimbap yang digoreng memenuhi udara, tapi itu hanya menjadi pengingat pahit betapa jauhnya ia dari kehidupan normal.

“Eomma… Appa…” gumamnya sambil menatap langit kelam di luar jendela. “Aku mencoba. Aku benar-benar mencoba…”

Pikirannya melayang pada tugas esok hari, di mana ia harus mengantar pesanan kue ke salah satu hotel ternama di Gangnam. Entah mengapa, instingnya mengatakan bahwa hari esok akan mengubah hidupnya—meski ia belum tahu, apakah itu akan menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Please Marry Me Mr.Kim!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang