Bab 05: Kelelahan

12 9 3
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu, Seoul menyambut dengan kabut tipis yang menggantung di antara gedung-gedung tinggi. Nari baru saja selesai mencuci pakaian di apartemen kecilnya. Suara mesin cuci tua yang menderu pelan menjadi satu-satunya keheningan yang ia miliki sebelum kembali menghadapi kenyataan yang tak pernah memberinya jeda.

Tiba-tiba, ketukan keras menggema di pintu apartemennya. Ia tahu siapa yang datang bahkan sebelum membukanya. Dengan berat hati, Nari melangkah menuju pintu, mengusap tangannya yang basah dengan handuk kecil, lalu menarik napas panjang.

Saat pintu terbuka, sosok Tuan Oh berdiri di sana. Pria berusia lima puluhan itu mengenakan jas lusuh dengan dasi yang longgar, tatapannya tajam seperti biasa.

“Lee Nari,” katanya dingin, suaranya sedikit mengintimidasi. “Sudah dua minggu lewat dari jatuh tempo. Kapan kau akan membayar?”

Nari menundukkan kepalanya, merasa kecil di hadapan pria itu. “Saya sudah mengumpulkan sebagian, tapi belum cukup…”

“Tidak ada tapi-tapi,” potong Tuan Oh. “Aku butuh uang itu sekarang, atau kau tahu apa yang akan terjadi.”

Nari menggigit bibirnya, lalu berjalan menuju meja kecil di sudut kamar, di mana amplop berisi gaji bulanan yang baru ia terima dua hari lalu tergeletak. Ia membuka amplop itu dengan tangan gemetar, mengeluarkan sebagian besar uang di dalamnya, lalu menyerahkannya kepada Tuan Oh.

“Ini semua yang saya punya sekarang,” katanya pelan.

Tuan Oh mengambil uang itu tanpa ekspresi, menghitungnya dengan teliti. “Ini belum cukup, tapi aku akan menerima untuk saat ini. Pastikan kau membayar sisanya bulan depan. Jika tidak…” Ia membiarkan ancamannya menggantung di udara sebelum berbalik dan pergi tanpa sepatah kata lagi.

Begitu pintu tertutup, Nari merosot ke lantai. Pandangannya kosong, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang bagaimana ia akan bertahan hingga akhir bulan.

---

Nari menatap dompetnya yang sekarang hanya berisi beberapa lembar ribuan won. Ia tahu bahwa membeli makanan di luar bukanlah pilihan, jadi ia memutuskan untuk membuat sesuatu dari apa yang tersisa di dapurnya.

Di dalam lemari kecilnya, hanya ada sebungkus mie instan, sebutir telur, dan sedikit kimchi yang hampir basi. Ia merebus air, menambahkan mie dan telur, lalu menyajikan semuanya di mangkuk kecil. Meskipun sederhana, aromanya mengingatkannya pada saat-saat lebih baik di masa lalu, ketika ibunya sering memasak ramyeon hangat untuknya setelah sekolah.

Namun, kali ini, mie itu terasa hambar. Setiap suapan mengingatkan Nari bahwa hidupnya jauh dari stabil.

---

Hari itu adalah hari keempat Nari bekerja penuh tanpa istirahat. Café Maple sedang ramai-ramainya karena ada diskon besar untuk menu kopi dan kue, menarik pelanggan dari berbagai sudut Gangnam.

“Lee Nari, bisa kau bantu di meja nomor tujuh? Mereka meminta refill kopi!” seru Mina dari balik mesin kasir.

“Ya, sebentar,” jawab Nari sambil tergesa-gesa membawa nampan berisi gelas-gelas kosong.

Hari itu terasa seperti berlalu begitu saja dalam kekacauan. Pelanggan terus datang, dan Nari bahkan tidak sempat duduk. Perutnya yang kosong hanya membuat segalanya terasa lebih sulit.

Saat café hampir tutup, Nari mulai membersihkan meja-meja yang kosong. Tangannya gemetar karena kelelahan, tapi ia tetap berusaha menyelesaikan tugasnya. Park Mina, yang biasanya ceria, menatap Nari dengan khawatir dari balik kasir.

“Nari, kau terlihat pucat. Apa kau baik-baik saja?” tanya Mina dengan nada lembut.

Nari tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelahnya. “Aku baik-baik saja, Mina. Hanya butuh tidur lebih awal malam ini.”

Namun, beberapa saat kemudian, masalah datang tanpa diduga. Saat membawa nampan berisi beberapa gelas kaca ke dapur, tangan Nari yang lemah tak sengaja tergelincir, dan suara kaca pecah terdengar nyaring memenuhi ruangan.

Semua orang di café menoleh. Mina langsung berlari mendekatinya. “Nari! Kau terluka?”

Nari menggeleng cepat, lalu berjongkok untuk mengumpulkan pecahan kaca. Namun, sebelum ia sempat membersihkan semuanya, Jihun datang.

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Jihun dengan nada dingin.

“Aku… aku tak sengaja menjatuhkannya, Jihun,” jawab Nari pelan, merasa bersalah.

“Kau tahu berapa harga satu set gelas ini, Nari? Kita tidak bisa terus kehilangan perlengkapan seperti ini. Berhati-hatilah lain kali, atau kau harus menggantinya dari gajimu Nari.”

Ucapan itu seperti tamparan bagi Nari. Ia hanya bisa mengangguk, merasa kecil di hadapan Jihun. Mina mencoba membela Nari. “Jihun, itu hanya kecelakaan. Nari sudah bekerja keras seharian ini. Mungkin dia hanya butuh istirahat.”

Jihun menghela napas panjang. “Baiklah, tapi pastikan ini tidak terjadi lagi. Sekarang, kalian berdua bersihkan semuanya sebelum kita tutup.”

Mina membantu Nari membersihkan pecahan kaca. Sambil memungut serpihan kecil, Mina menatap temannya dengan tatapan penuh empati.

“Nari, kau harus lebih menjaga dirimu. Aku tahu kau butuh uang, tapi bekerja terlalu keras hanya akan membuatmu sakit.”

“Aku tidak punya pilihan lain, Mina,” jawab Nari, suaranya nyaris berbisik. “Jika aku berhenti, aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan.”

Mina menggenggam tangan Nari dengan lembut. “Kalau begitu, kau harus berbicara padaku. Jangan menanggung semuanya sendirian.”

---

Setelah café tutup, Nari pulang ke apartemennya dengan langkah berat. Di luar, udara dingin Seoul menusuk kulitnya, sementara lampu neon dari toko-toko pinggir jalan menerangi jalan yang ia lewati.

Sampai di apartemen, ia menyalakan lampu kecil di meja makan, lalu duduk sambil memijat pelipisnya. Tubuhnya terasa seperti tak bertenaga lagi. Ia membuka amplop gajinya yang kini hampir kosong, lalu menatap uang yang tersisa.

“Bagaimana aku bisa bertahan bulan ini?” gumamnya lirih.

Perutnya keroncongan, tapi ia tahu tidak ada yang bisa ia makan malam ini. Nari hanya bisa merebus air panas untuk membuat segelas teh tawar, berharap itu cukup untuk menghangatkan tubuhnya sebelum tidur.

Malam itu, ia duduk di lantai dengan selimut kecil melilit tubuhnya, menatap keluar jendela yang menghadap ke gang sempit di Distrik Mapo. Ia mencoba mengingat wajah orang tuanya, mencari kekuatan dari kenangan indah yang kini terasa jauh.

Namun, yang menghantuinya adalah beban masa kini, dan wajah pria yang baru saja ia temui beberapa hari lalu—Kim Taehyung. Tanpa sadar, ia memikirkan tatapan tajam pria itu, cara ia berbicara, dan bagaimana pertemuan mereka yang tidak biasa mulai mengusik pikirannya.

“Mungkin aku terlalu lelah,” gumam Nari sambil memejamkan mata, mencoba mengusir pikiran itu. Tapi dalam hati, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan sama lagi sejak pertemuan itu.

To Be Continued!

Please Marry Me Mr.Kim!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang