Malam itu, Cassandra bermimpi. Ia seakan kembali ke masa kecilnya, ke dunia yang penuh dengan tawa dan kehangatan. Ia melihat dirinya yang masih kecil, rambutnya diikat dua, berlari-lari kecil di halaman rumah bersama Casson. Mereka berdua tampak begitu ceria, meski seringkali berdebat dan saling mengejek, tak lama kemudian semuanya berakhir dengan tawa yang riuh. Seakan segala argumen itu hanya lelucon, alasan lain untuk semakin dekat.
Rumah mereka selalu dipenuhi dengan kehangatan. Ayahnya, sosok pria yang gagah namun lembut, memandang anak-anaknya dengan senyum bangga. Ada cinta di matanya setiap kali melihat Cassandra, seakan dunia ini hanya ada untuk memastikan kebahagiaannya. Ibu mereka, sosok yang begitu lembut dan penuh kasih, selalu tahu cara membuat mereka tertawa bahkan di saat-saat sulit. Setiap pelukannya membawa kehangatan yang menenangkan, membuat segala ketakutan hilang begitu saja. Kakeknya, meski sudah tua dan sering lelah, selalu meluangkan waktu untuk bermain bersama Cassandra, membacakan cerita, atau bahkan hanya duduk di beranda sambil memandang langit sore. Tidak ada permintaan yang terlalu besar untuknya, selama itu bisa membuat cucunya tersenyum.
Namun, mimpi itu mulai berputar lebih cepat, melompat ke masa yang berbeda—masa ketika Cassandra mulai beranjak remaja. Ia yang dulu begitu manis, perlahan berubah menjadi pemberontak. Ada sesuatu yang hilang, atau mungkin ada sesuatu yang baru yang muncul dalam dirinya seperti rasa tidak puas, rasa ingin mencari jati diri yang lebih dari sekadar gadis kecil yang ceria. Ia mulai menantang aturan-aturan yang selama ini mengikatnya.
Hari demi hari, Cassandra semakin sulit diatur. Ia mulai melewati batas-batas yang sebelumnya tidak pernah terlintas di pikirannya. Ayah dan ibunya berusaha keras untuk memahaminya, tapi setiap usaha hanya berakhir dengan pintu yang dibanting, suara tinggi yang saling bersahutan, dan tatapan penuh kekecewaan. Ia mulai menghabiskan waktu di luar rumah, lebih lama dari biasanya, menghindari tawa dan kasih sayang yang dulu selalu menjadi pelariannya.
Hingga suatu hari, keputusan besar itu diambil. Cassandra memberanikan diri untuk pergi. Dengan ransel yang tersampir di bahunya dan koper di tangannya, ia berdiri di depan pintu, menatap orang tuanya yang berdiri terpaku. Ia memutuskan untuk meninggalkan rumah besar yang nyaman itu, meninggalkan sekolah elit yang begitu dibanggakan keluarganya, dan memilih untuk memulai hidup baru di sekolah biasa di pinggiran kota.
Ibunya, wajahnya basah oleh air mata, memohon agar ia tetap tinggal. Ia menangis, meraung-raung, mencengkeram lengan Cassandra dengan putus asa, seolah berharap dengan begitu anaknya akan berubah pikiran. Tangisnya begitu keras, nyaris seperti jeritan yang menusuk hati. Tapi Cassandra hanya berdiri diam, tidak berusaha membalas pelukan ibunya.
Ayahnya berdiri beberapa langkah di belakang, menatap dengan ekspresi yang begitu sulit dibaca—campuran antara rasa sakit, marah, dan kasih sayang yang tak bisa ia hentikan. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapnya dengan mata yang begitu dalam dan berat, seolah ada seribu kata yang ingin ia ucapkan, namun tidak pernah sempat keluar. Di sisi lain, ibunya terus memukul-mukul dadanya dengan penuh kemarahan dan kekecewaan, merasakan dunia yang selama ini ia bangun perlahan hancur.
Ayahnya hanya bisa membungkuk, mengelus punggung istrinya yang histeris, berusaha menenangkan meski ia sendiri tahu, tak ada yang bisa mengubah keputusan Cassandra. Mimpi itu berputar seperti rekaman yang terus-menerus diputar ulang, mengingatkan Cassandra pada saat ia meninggalkan segala kenyamanan dan cinta yang pernah ia miliki. Dan dalam setiap fragmen itu, rasa sakit kembali menjalar dalam dirinya, seakan-akan luka lama itu masih belum sembuh, hanya tersembunyi di bawah permukaan.
Ketika mimpi itu semakin kabur, hanya tersisa gambaran wajah ayah dan ibunya yang bersimbah air mata, dan Cassandra yang berjalan menjauh tanpa menoleh kembali.
Dalam mimpi itu, Cassandra merasakan sesuatu yang hangat dan basah mengalir di pipinya. Air mata. Rasanya aneh, seolah mimpi itu bukan sekadar bayangan, tapi kenyataan yang kembali hidup, menyayat hatinya. Air mata mengalir deras, tak terbendung, mengaburkan penglihatannya saat ia melihat dirinya sendiri berdiri di ambang pintu, mengucapkan selamat tinggal tanpa kata-kata.
Saat ibunya menangis dan memohon, saat ayahnya hanya diam menatapnya dengan kekecewaan yang begitu dalam—semua itu terasa nyata. Rasa bersalah yang dulu ia kubur dalam-dalam, tiba-tiba kembali muncul, mencekiknya. Air mata itu tidak hanya membasahi pipinya. Mereka seakan membakar, seperti jejak rasa sakit yang selama ini ia abaikan.
Di dalam mimpi itu, ia mencoba menghapus air matanya, tapi semakin ia berusaha, semakin deras mereka mengalir. Seperti sungai yang tak terbendung, memaksa dirinya tenggelam dalam kenangan yang seharusnya ia lupakan. Ia merasakan dadanya sesak, dan dalam setiap helaan napas yang tertahan, ada keinginan untuk kembali, untuk bisa memeluk ibunya, meminta maaf kepada ayahnya, dan merasakan tawa hangat yang dulu pernah ia miliki bersama Casson. Tapi mimpi itu tidak memberinya kesempatan. Semua berputar terlalu cepat, dan ia hanya bisa menyaksikan dirinya berjalan menjauh, semakin jauh, dengan air mata yang terus membasahi wajahnya.
Ia merasakan air mata itu bahkan ketika ia tertidur, tubuhnya yang lelah dan gemetar dalam pelukan mimpi yang penuh rasa sakit. Di antara kesadaran dan mimpi, air mata itu mengalir—deras dan tak tertahan.
Saat Cassandra memutuskan untuk pergi, ia melakukannya dengan tekad yang besar, seperti seorang pemberontak muda yang ingin lepas dari belenggu. Tapi kenyataannya, dunia luar tidak sekeras yang ia kira. Bahkan saat ia menjauhkan diri dari keluarga, keluarga itu tetap ada untuknya. Mereka seperti bayang-bayang yang mengikuti langkahnya, memberi perlindungan meski ia memilih berjalan sendiri.
Rumah kecil di pinggiran kota itu bukan sekadar tempat tinggal, itu adalah pelukan yang tersembunyi dari keluarganya. Meski ia tidak lagi tinggal di bawah atap yang sama, keluarganya tetap memberinya tempat untuk berteduh dari panasnya kehidupan yang menyengat dan dinginnya kesepian yang menggigit. Mereka memberinya segalanya, bahkan ketika ia sendiri menolak untuk menerima apa pun. Setiap bulan, ada uang yang masuk ke rekeningnya—dikirim oleh orang-orang yang seharusnya ia buat kecewa. Orang tua yang pernah ia sakiti dengan kata-katanya, tetap menunjukkan kasih sayang mereka dalam bentuk yang tak pernah ia minta tapi diam-diam ia syukuri.
Kakaknya, Casson, tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Meski hidup mereka terpisah oleh jarak dan pilihan, Casson masih rutin bertukar kabar dengannya. Percakapan mereka di telepon selalu singkat, tapi Cassie tahu itu adalah caranya untuk memastikan bahwa adiknya baik-baik saja. Dan meskipun ia mencoba menghindari perasaan bersalah yang menggelayuti hatinya, ia tahu dalam-dalam, bahwa perhatian itu adalah cinta yang tak pernah luntur.
Dan kakeknya, pria tua yang penuh kebijaksanaan, selalu menemukan alasan untuk mengunjunginya. Seakan ia tidak peduli bahwa Cassandra telah membuat keputusan yang salah—atau mungkin ia memang mengerti, tapi memilih untuk tidak menghakimi. Mereka akan pergi memancing bersama, duduk di tepi danau dengan keheningan yang nyaman. Saat itulah Cassandra merasa seperti dirinya sendiri, tidak perlu pura-pura, tidak perlu bersembunyi dari rasa bersalahnya. Kakeknya berbicara dengan cara yang lembut, tanpa pernah benar-benar menyinggung keputusannya yang menyakitkan itu. Seakan, hanya dengan berada di sana, ia bisa menenangkan hati cucunya.
Kemudian ketika Casson akhirnya mulai memegang kendali perusahaan keluarga, ia juga ikut mengirimkan uang pada Cassandra. Bukan untuk menunjukkan kekayaan, tapi sebagai cara diam-diam untuk berkata, Aku ada di sini. Setiap kali uang itu masuk, Cassandra merasakan hatinya hancur sedikit demi sedikit.
Semua itu membuat Cassandra merasakan penyesalan yang menumpuk seperti beban di dadanya. Mereka memberinya segalanya, bahkan ketika ia berkali-kali mengecewakan mereka. Ia telah berusaha untuk melupakan masa lalu, untuk mengubur rasa bersalah di bawah lapisan kebebasan yang ia dambakan, tapi semua itu kembali menghantui setiap kali ia melihat pesan dari Casson, atau mengingat senyum lembut kakeknya di tepi danau. Setiap uang yang ia terima adalah pengingat bahwa ia tak pernah benar-benar sendirian, dan itu justru semakin menyakitkan.
Kini, di dalam bayangan mimpi itu, Cassandra merasakan dirinya tenggelam dalam penyesalan yang pahit. Ia telah melukai mereka yang paling ia cintai, dan mereka, alih-alih membalas dengan kemarahan atau kebencian, justru terus mengasihinya dengan cara yang tak pernah ia duga. Rasa bersalah itu menggerogoti hatinya, mencengkeramnya kuat-kuat. Bagaimana ia bisa begitu egois? Bagaimana ia bisa meninggalkan mereka yang begitu mencintainya dengan ketulusan yang tak tergantikan?
Di dalam mimpi, air matanya mengalir semakin deras, menyatu dengan kenangan-kenangan indah yang kini terasa seperti luka. Seakan, di setiap tetes air mata itu, ada kata maaf yang tak pernah sempat ia ucapkan, dan ia tak tahu apakah ia masih punya kesempatan untuk memperbaikinya.
—
Sebenernya karakter egois Cassie ini udah tampak yaa dari awal chapter. Di awal chapter kan pernah di mention kalau Cassie tinggal sendiri dan gak pernah komunikasi sama orang tuanya tapi dia tetep nerima duit dari orang tuanya.😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Prigioniera
ChickLitKarena berani menolong sahabatnya yang kabur dari cengkeraman mafia, Cassandra Clark harus menanggung akibatnya. Gadis pemberani ini kini terjebak di bawah kekuasaan Leonardo Bianchi, tangan kanan mafia yang kejam.