**Setelah beberapa waktu, Ferrel merasa lebih nyaman dengan peran barunya sebagai pelatih tim junior *Red Dragon*. Meskipun masih ada momen-momen di mana dia merasa kesepian atau rindu akan masa-masa bermain sepak bola, dia merasa sedikit lebih tenang karena memiliki tujuan baru yang lebih besar. Namun, ada satu hal yang masih terus mengganggu pikirannya.**
Setiap kali Ferrel berpapasan dengan Zee, guru Bahasa Jawa yang baru mengajar di kampus mereka, perasaan yang tidak bisa dijelaskan muncul. Zee memiliki aura yang berbeda. Dia bukan hanya sekadar seorang guru; Zee juga dikenal oleh banyak orang sebagai sosok yang cerdas, bijaksana, dan sangat populer di kalangan siswa maupun rekan guru. Namun, ada sesuatu dalam cara Zee berbicara dengan Ferrel yang membuatnya merasa lebih nyaman daripada dengan orang lain.
Zee sering kali datang untuk berbicara tentang berbagai topik ringan, tetapi dengan cara yang membuat Ferrel merasa dihargai. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari sepak bola hingga budaya Jawa, dan setiap percakapan dengan Zee membuat Ferrel merasa seolah dia kembali menemukan bagian dari dirinya yang hilang.
Suatu hari setelah latihan, Zee mendekati Ferrel yang sedang duduk di bangku cadangan, mengelap keringat di dahinya.
"Ferrel," Zee memulai, dengan senyuman hangat yang selalu membuatnya merasa lebih baik, "gue lihat lo makin betah di sini. Gimana, lo mulai nemuin kenyamanan di peran barumu?"
Ferrel mengangguk, sedikit tersenyum, meskipun ada ragu yang masih mengendap. "Iya, Zee. Gue mulai ngerasa kalau ini bisa jadi jalan baru buat gue. Cuma... kadang, gue ngerasa kayak... ada sesuatu yang hilang."
Zee duduk di sebelah Ferrel, dan matanya penuh pengertian. "Lo ngga sendirian, Rel. Semua orang pernah ngerasain itu. Kadang, kita harus ngelakuin hal-hal yang nggak kita bayangin sebelumnya buat nemuin kebahagiaan."
Ferrel menatap Zee dengan rasa terima kasih. "Iya, lo bener. Gue bersyukur lo selalu ada buat ngomongin hal-hal kayak gini."
Zee tersenyum, kemudian dengan santai meletakkan tangannya di bahu Ferrel. "Gue senang bisa ngebantu lo, Ferrel. Gue tahu, lo mungkin nggak nyangka, tapi lo udah banyak ngasih inspirasi buat gue juga."
Ferrel merasakan kehangatan yang datang dari Zee. Suasana itu terasa nyaman, dan dia mulai merasa ada ikatan yang lebih kuat antara mereka. "Lo... lo baik banget, Zee. Gue selalu ngerasa tenang kalau ngobrol sama lo."
Zee menatap Ferrel dengan mata yang lebih dalam. "Karena gue ngeliat lo lebih dari sekadar seorang pemain bola. Lo punya potensi yang luar biasa. Lo punya hati yang baik, dan itu nggak mudah ditemuin di dunia yang keras ini."
Mata Ferrel mulai berkaca-kaca. Dia merasa, di tengah semua perubahan dalam hidupnya, ada satu orang yang benar-benar melihat dirinya. Tanpa sadar, dia meraih tangan Zee dengan lembut, seolah ingin menyampaikan semua perasaan yang terpendam.
Zee, dengan ketenangannya, membalas genggaman tangan Ferrel. "Ferrel, gue tahu lo lagi banyak berjuang, tapi lo nggak sendiri. Gue ada di sini."
Perasaan itu semakin kuat, dan mereka duduk berdekatan, menikmati momen yang penuh pengertian itu. Ada banyak kata yang tidak terucapkan, tetapi keduanya tahu bahwa mereka saling memahami. Ferrel merasa hatinya hangat, merasa lebih diterima, dan yang lebih penting—dia merasa tidak lagi sendirian.
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka menjadi lebih dari sekadar teman atau rekan kerja. Setiap kali mereka bertemu, baik di luar ruangan maupun setelah latihan, mereka semakin terbuka satu sama lain. Zee mulai lebih sering berbicara tentang kehidupannya, dan Ferrel semakin tertarik untuk mendengarkan lebih banyak tentang dirinya.
Pada suatu malam setelah pertandingan, Ferrel mengundang Zee untuk makan malam di luar. Mereka duduk di sebuah restoran yang sederhana, namun suasananya sangat nyaman. Zee, yang biasanya tegas dan serius, kini tampak lebih santai dan bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
my teacher
Lãng mạnbaca dulu bre? skip kalo gk suka menceritakan kehidupan primadona sekolah yg di sukai 5 guru sekolahannya di surabaya PERINGATAN: Jangan membawa bawa member