21 : two sides

121 16 0
                                    

"Kau sudah menghilang dari pelukanku saat aku bangun."

Ann menggigit bibirnya, menghindari tatapannya dengan segala upaya. Belum sempat menjawab, Max kembali melanjutkan.

"Apa yang sakit?"

"Aku baik-baik saja," gumamnya cepat, meskipun suaranya terdengar lemah.

Max mendekatkan wajahnya, mencoba mencari tatapannya. "Kau tidak terlihat baik-baik saja. Apa yang sakit?" tanyanya, suaranya melembut, tetapi tetap mengintimidasi.

Ann menggeleng keras, menarik selimut lebih tinggi lagi hingga hanya wajahnya yang terlihat. "Aku cuma... butuh istirahat."

Ann memejamkan matanya erat-erat, berharap Max akan pergi begitu saja. Tapi pria itu, seperti biasa, tak mengenal kata mundur. Max mendengus pelan, lalu duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tajam tapi ada kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan.

Max menurunkan badannya hingga setara dengan posisi Ann, matanya mencoba mencari wajah gadis itu yang sengaja menghindarinya. "Kau kelihatan pucat. Apa aku... terlalu kasar semalam?"

Kalimat itu membuat darah Ann berdesir. Wajahnya langsung memanas, dan ia menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Aku tidak mau membicarakan itu, Max," gumamnya, nyaris tak terdengar. 

"Tapi aku ingin membahasnya," jawab Max dengan nada tegas tapi ada kelembutan yang tak biasa. Ia menyentuh pelan tangan Ann, tapi gadis itu dengan cepat menarik tangannya. 

"Max, kumohon. Pergi saja," ucap Ann dengan suara gemetar.  

"Tidak, lihat aku, Ann. Katakan kalau kau benar-benar baik-baik saja."

Ann akhirnya memberanikan diri menatapnya, dan saat itulah dia melihatnya. Mata Max turun perlahan, memindai wajahnya yang memerah, lalu turun ke lehernya, ke tulang selangkanya. Bibir Max mengeras saat melihat tanda-tanda samar kemerahan yang mulai terlihat.

Max mengulurkan tangan, jari-jarinya menyentuh lembut bekas merah di leher Ann, membuat gadis itu menahan napas.

"Ini... aku yang melakukannya," gumam Max, hampir pada dirinya sendiri.

"Jangan——jangan dilihat!" Ann dengan cepat menarik selimut menutupi lehernya, rasa malunya memuncak.

Namun, Max hanya memandangnya, tatapannya tidak menunjukkan tanda-tanda akan melepaskan topik ini.

Pria itu menyeringai samar, seolah menemukan sesuatu yang menarik sekaligus membuatnya merasa sedikit bersalah. "Jadi ini hasil semalam, ya?" gumamnya sambil menatapnya.

"Max!" Ann berseru, akhirnya mendongak meski wajahnya memerah seperti tomat matang. "Jangan bicara seperti itu!"

"Aku tidak sadar… kalau aku meninggalkan banyak tanda seperti ini."

Ann memalingkan wajah, tidak tahan dengan tatapan Max yang penuh perhatian tapi sekaligus membuatnya semakin malu. "Sudah cukup, Max. Jangan bicarakan itu lagi."

Max menatapnya lebih lama, senyumnya memudar sedikit. "Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini," katanya pelan, ada ketulusan yang jarang ia tunjukkan. "Apa aku terlalu kasar? Aku hanya... aku kehilangan kendali. Kau membuatku kehilangan kendali, Ann."

Ann memejamkan matanya erat-erat, tubuhnya bergetar halus di bawah selimut. Ia tidak ingin mengingat malam itu—tidak sekarang, tidak saat Max berada begitu dekat dengannya.

"Max, berhenti," potongnya cepat, suara gadis itu hampir bergetar. "Aku tidak ingin membicarakan itu lagi."

Max menarik napas panjang, tatapannya tak beranjak dari wajah Ann. "Kau sampai sakit seperti ini, Ann. Tapi..." Ia berhenti sejenak, menimbang-nimbang kata-katanya. "Kau menyukainya, kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Die Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang