-7.numb🖤

285 50 1
                                    

Declaimer:Kisah ini merupakan karya fiksi. Nama, karakter, tempat, dan kejadian dalam cerita ini adalah hasil imajinasi penulis.Setiap kemiripan dengan orang, tempat, atau kejadian yang sebenarnya hanyalah kebetulan.

Santa pikir masalahnya akan selesai begitu pulang ke rumah dengan tujuan mengistirahatkan mental dan fisiknya yang sudah lelah hari ini dengan diantar oleh Perth setelah izin untuk mengantarkan Santa pulang karena sakit.Namun apa yang diharapkan?, masalah masih bermunculan dan ini menyangkut keluarganya.

Santa bersembunyi dalam diam saat mendengar percakapan kedua orangtuanya di ruang keluarga.Dari balik tembok Santa dengan jelas mendengar masalah yang tengah terjadi, dan ini memungkinkan untuk perusahaan keluarganya bangkrut.

"Ini semua pasti gara-gara sekertaris mu tidak becus, Pa" mama Santa berucap.Sang istri dari ayah Santa, suaranya bercampur amarah dan keputusasaan, menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Sudahlah, ma. Kita harus cari solusi, bukan saling menyalahkan," jawab papa Santa dengan nada lelah, laki-laki ber jas biru tua itu memijat keningnya yang pusing tujuh keliling.

"Solusi? Solusi apa lagi yang bisa kita cari, Pa? Perusahaan sudah di ambang kehancuran!"

"Tenanglah, ma.Kita akan baik-baik saja.Masih ada harapan," kata papa Santa mencoba meyakinkan istrinya.

Sejak kabar buruk pembatalan kontrak menyebar, papa Santa tak henti-hentinya memutar otak, mencari jalan keluar. Klien-klien yang tadinya antusias, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Kontrak-kontrak yang sudah di depan mata, tiba-tiba dibatalkan tanpa alasan yang jelas.

"Ada satu solusi, namun ini beresiko tinggi Ma, anak kita harus menikah dengan anak clien saya agar perusahaan terselamatkan, Boun pasti akan menolak mentah-mentah, kalau Santa masih bisa diusahakan"

"Maksud papa apa?"

Santa yang telinganya panas mendengarnya pun memunculkan diri setelah bersembunyi sekian lama mendengar obrolan mengecengangkan.Tubuh tegapnya berdiri di antara pintu dengan tangan mengepal, tidak percaya dengan apa yang barusan ayahnya bilang.

Papa Santa yang melihat kedatangan anaknya jelas kaget dan langsung berdiri hendak memberi pengertian kepada putranya.Baru ingin disentuh bahunya, Santa lebih dulu mundur menepis tangan papanya.

"Santa jam segini sudah pula-"

"Nggak peduli Santa mau pulang jam berapa memangnya papa peduli?! papa cuma bisa kerja,kerja, kerja! Santa selalu berharap papa punya waktu buat Santa, sehari aja.tapi apa? waktu papa pulang, papa justru tiba-tiba mau jodohin aku gitu aja? papa numbalin aku demi perusahaan? aku ini siapa pa? aku bukan anak papa kah?!"

Rintihan Santa terdengar memilukan, menggema di ruangan yang sepi.Hanya suara detak jam dinding yang berdetak pelan, seolah ikut merasakan kekecewaan yang membuncah dalam hati Santa.

"Papa, Santa capek," lirihnya, air mata mulai membasahi pipinya. "Santa cuma mau papa perhatian sama Santa, bukan cuma sama perusahaan."

Sejak kecil, Santa tumbuh dalam bayang-bayang kesibukan papa. Setiap pagi, papa sudah pergi sebelum Santa bangun, dan pulang ketika Santa sudah tertidur.  Pertemuan mereka hanya sebatas makan malam yang singkat, diselingi oleh obrolan tentang pekerjaan dan rencana bisnis papa.

Mama pun sama saja sibuk mengurus butik yang jaraknya jauh dari rumah, terkadang harus terpaksa tidak pulang karena kendala. Belum lagi kakaknya yang jarang pulang karena sibuk akan kuliahnya di luar kota, membuatnya jarang pulang ke rumah hingga membuat Santa kesepian.

"Papa, Santa bukan boneka yang bisa ditata dan diubah sesuka hati," lanjutnya, suaranya bergetar. "Santa punya mimpi, punya keinginan, punya hidup sendiri."

Mine | PERTHSANTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang