Karina merasa diabaikan oleh pacarnya, Hesa, yang lebih memilih latihan band daripada mengantarnya pulang. Saat memesan Grab, ia bertemu dengan Jeno, seorang driver santai yang berhasil menghiburnya.
Namun, segalanya berubah saat Karina mengetahui...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari-hari setelah percakapan di kantin itu berjalan cukup biasa, meskipun Karina merasa ada perubahan kecil dalam dirinya. Setiap kali dia bertemu dengan Jeno, hatinya terasa lebih ringan, dan meskipun perasaan terhadap Hesa belum sepenuhnya hilang. Namun, Karina juga tahu bahwa dia masih perlu waktu untuk memproses perasaannya lebih dalam.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Karina mendapat kabar bahwa Hesa sedang ada acara bersama teman-teman kampusnya. Meskipun hatinya sedikit kesal, dia berusaha untuk tidak terlalu fokus pada hal itu. Alih-alih meratapi masa lalu, dia lebih memilih untuk melanjutkan hari-harinya dengan aktivitas yang lebih menyibukkan.
Suatu sore, setelah selesai kuliah, Karina memutuskan untuk pergi ke taman kampus. Itu adalah tempat favoritnya untuk menenangkan pikiran. Di sana, dia duduk di bawah pohon besar yang selalu memberinya rasa damai. Suara dedaunan yang bergesekan diterpa angin membuatnya merasa sedikit lebih tenang, seolah alam ikut membantunya merenung.
Tak lama setelah itu, ponselnya berdering. Karina melihat nama Jeno muncul di layar.
“Rin, lo lagi dimana? Ada waktu nggak? Gue pengen ngajak lo jalan bentar.”
Karina tersenyum tipis, merasakan sedikit ketegangan dalam hatinya yang mulai melonggar. Meski perasaannya masih belum sepenuhnya terarah, dia merasa nyaman dengan Jeno. Dia pun membalas pesan itu.
“Lagi di taman kampus. Kenapa?”
“Gue lagi di dekat situ. Mau ngopi atau cuma jalan-jalan?”
Karina berpikir sebentar. Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih membuka ruang untuk Jeno, meskipun dia masih belum tahu arah perasaannya. Akhirnya, dia membalas pesan itu.
“Oke, gue tunggu di bawah pohon besar. Gampang ketemu kok.”
Tak lama kemudian, Jeno muncul di depan mata Karina, dengan senyuman khas-nya dan gaya santainya. “Eh, Rin! Lo beneran di sini! Sorry, gue telat, tadi parkiran penuh.” Jeno duduk di samping Karina, lalu meletakkan secangkir kopi yang dibawanya. “Ini buat lo. Gue tahu lo suka kopi hitam.”
Karina menerima kopi itu dengan senyum tipis. “Makasih, Jen. Lo emang perhatian, ya?”
Jeno hanya tertawa kecil. “Nggak apa-apa, Rin. Gue seneng bisa ngasih perhatian sama lo, entah itu buat temen ngobrol atau cuma ngasih kopi. Lo lagi banyak pikiran, ya?”
Karina mengangguk pelan. “Iya, masih banyak hal yang harus gue pikirin. Kadang rasanya kayak... nyari kepastian itu susah banget.”
Jeno menatapnya dengan penuh perhatian. “Lo nggak perlu langsung dapetin jawaban. Semua butuh waktu. Yang penting, lo bisa dengerin diri lo sendiri dulu. Jangan terburu-buru.”
Karina menghela napas panjang, merasakan kedamaian di tengah keramaian kampus. Kata-kata Jeno memang selalu menenangkan, seakan memberi ruang bagi dirinya untuk benar-benar memikirkan apa yang dia inginkan tanpa merasa terbebani.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mereka mengobrol lebih lama, dengan topik-topik ringan yang membuat Karina merasa jauh lebih baik. Sesekali, mereka tertawa bersama, dan Karina merasa ada kehangatan dalam setiap kata yang keluar dari mulut Jeno. Meskipun tidak ada janji-janji atau harapan besar, kehadiran Jeno di hidupnya membuatnya merasa diterima tanpa syarat.
“Ada yang baru di hidup lo, Rin?” tanya Jeno tiba-tiba, mengalihkan perhatian Karina dari pikirannya.
Karina menatapnya sejenak, mempertimbangkan apakah dia harus bercerita lebih banyak atau hanya terus berpura-pura baik-baik saja. Namun, entah kenapa, dia merasa Jeno adalah orang yang tepat untuk mendengarkan apa yang sedang dirasakannya.
“Gue nggak tahu, Jen,” jawab Karina dengan suara pelan. “Kadang gue mikir, mungkin gue nggak bisa terus-terusan hidup dengan bayangan masa lalu. Tapi, Kenapa susah banget buat lepas?”
Jeno menatapnya serius, lalu memberikan secangkir kopi lagi ke tangan Karina. “Lo nggak harus langsung lepas dari masa lalu. Gue ngerti banget perasaan lo. Tapi lo juga harus inget, kadang perasaan itu nggak bisa dipaksain. Gue cuma pengen lo bahagia, dan nggak harus terus-terusan menahan sesuatu yang nggak worth it buat lo.”
Karina terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Jeno. “Lo bener, Jen. Gue terlalu fokus sama apa yang udah terjadi. Mungkin ini saatnya buat berhenti mikirin orang lain dan mulai mikirin diri gue sendiri.”
Jeno tersenyum mendengarnya. “Itu langkah yang tepat, Kar. Gue yakin lo bisa lewatin ini semua. Kalau lo butuh temen, gue selalu ada kok.”
Senyuman Jeno membuat Karina merasa ada cahaya yang mulai menyinari jalannya. Walaupun belum tahu ke mana dia akan pergi, dia merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli pada dirinya, dan itu sudah cukup untuk membuat hatinya lebih ringan.
Sambil melanjutkan obrolan ringan mereka, Karina merasa ada perubahan kecil dalam dirinya. Mungkin inilah saat yang tepat untuk lebih fokus pada dirinya sendiri, memberi kesempatan pada hati untuk sembuh, dan melihat apa yang ada di depannya—termasuk Jeno, yang mulai mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Di tengah percakapan itu, Karina menyadari satu hal: hidup ini penuh dengan ketidakpastian, tapi dia tidak perlu takut untuk menjalani setiap langkahnya. Dan, mungkin, hanya mungkin, langkah selanjutnya adalah membuka hati untuk hal-hal baru—termasuk kesempatan yang datang dari seseorang yang selalu ada untuknya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.