3. Kerokan

179 46 39
                                    





Hujan deras terus mengguyur malam itu, menciptakan genangan air di jalan yang gelap dan sepi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan deras terus mengguyur malam itu, menciptakan genangan air di jalan yang gelap dan sepi. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya suram di permukaan basah, memberikan suasana muram yang sejalan dengan hati Jeanne. Ia duduk di bangku besi di bawah halte bus, memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan. Mantel tipis yang dikenakannya tak cukup melindungi dari angin malam yang menusuk.

Sebastian duduk di sebelahnya, punggungnya bersandar pada tiang halte. Botol minuman keras tergenggam erat di tangannya, separuh isi sudah menghilang entah ke mana. Wajahnya yang tampan kini tampak kusut, rambutnya basah karena ia menolak mengenakan tudung mantelnya. Jeanne hanya bisa mengawasinya dalam diam.

“Kenapa kau tetap di sini?” gumam Sebastian dengan suara serak. Matanya menatap kosong ke arah botol di tangannya, seolah mencari jawaban di dalamnya.
Jeanne mengeraskan rahangnya, menahan emosi yang bercampur baur. “Karena aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian dalam keadaan seperti ini,” jawabnya datar, tapi suara itu mengandung kejujuran yang sulit disembunyikan.

Sebastian tertawa kecil, tawanya sinis. “Kau terlalu baik, Jeanne. Bahkan untuk seseorang sepertiku.” Ia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terhuyung, kehilangan keseimbangan.

Brukk!

Sebastian jatuh ke depan, langsung ke pangkuan Jeanne. Jeanne tersentak kaget, jantungnya berdegup kencang. Sekilas, ia ingin mendorong tubuh Sebastian menjauh, tapi tangannya berhenti di udara. Hujan di luar semakin deras, menggema seperti tangisan yang tertahan di malam yang sunyi.

Wajah Sebastian tergeletak di atas lututnya, napasnya berat dan hangat, meski aroma alkohol begitu kuat menyeruak. Jeanne menunduk, memandang pria itu. Di bawah cahaya lampu temaram, wajah Sebastian terlihat berbeda. Wajah tampan itu kini kusut, matanya sembab, dan garis rahangnya yang biasanya tegas tampak melemah. Ada kelelahan yang memancar darinya, sesuatu yang membuat Jeanne merasakan gelombang iba yang tiba-tiba menyerangnya tanpa ampun.

Ia mengangkat tangannya, perlahan mendekati wajah Sebastian. Ia ingin menyentuh pipinya, menghapus garis-garis kelelahan itu, namun tangannya berhenti di udara. Jeanne menahan napas. Apakah pria ini benar-benar layak mendapat kepeduliannya? Suaminya, ya, tapi suami dalam nama saja. Tidak ada cinta di  hati nya—hanya janji yang dibuat atas dasar kebutuhan, bukan keinginan.

“Sebastian...” bisiknya pelan, hampir seperti doa yang tertahan. Namun pria itu tetap diam, hanya napasnya yang terdengar tenang di tengah suara hujan yang tak henti-hentinya.

Jeanne hanya bisa duduk membisu, membiarkan kepala Sebastian bersandar di pangkuannya. Hujan terus mengguyur, menjadi saksi bisu atas dua hati yang terjebak dalam keheningan, membawa mereka ke persimpangan antara cinta, kepedulian, dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Hati Yang Di TakdirkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang