Setelah sarapan pagi yang dipenuhi ketegangan bersama keluarga kekaisaran, Azrael Calanthe melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah tegas. Meski wajahnya tetap terlihat tenang, di dalam hatinya masih terasa gejolak emosi akibat konfrontasinya dengan Kaisar. Kata-kata tajam Kaisar dan cibiran anggota keluarga kekaisaran lainnya masih terngiang di telinganya, tetapi Azrael memutuskan untuk tidak membiarkan hal itu menggoyahkan keputusannya. Kini, hanya ada satu hal yang mengisi pikirannya, Ezekiel.
Angin dingin pagi hari menyambutnya ketika ia melintasi aula utama menuju koridor megah yang mengarah ke kediamannya, Istana Aetheris. Nama istana itu dipilih karena keindahannya saat matahari terbit, di mana cahaya keemasan selalu menyelimuti bangunan itu, melambangkan kemuliaan dan kekuatan Putra Mahkota Kekaisaran Calanthe. Namun, keindahan itu tak menarik perhatian Azrael saat ini. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan adiknya yang kecil dan rapuh seperti boneka porselen, terkubur di sudut gelap kekaisaran yang seharusnya melindunginya.
Di depan pintu, Soren, ajudan setianya, sudah menunggu. Pria muda itu segera membungkuk hormat, rambut hitamnya tergerai rapi seperti biasanya.
"Yang Mulia, Pangeran Kelima telah sadar," lapornya dengan nada tenang namun penuh hormat.
Langkah Azrael terhenti sejenak. Matanya yang tajam menyipit. "Berapa lama dia sadar?" tanyanya singkat.
"Baru saja, Yang Mulia. Saya diberitahu oleh pelayan yang mengantarkan makanan ke kamarnya," jawab Soren.
Azrael mengangguk singkat, lalu kembali melangkah. "Panggil tabib istana ke kamarku di Istana Aetheris. Aku ingin dia memeriksa kondisi Ezekiel secara menyeluruh."
"Baik, Yang Mulia," Soren menjawab dengan patuh. Ia segera berbalik dan bergegas melaksanakan perintah tersebut.
Azrael melanjutkan langkahnya menuju Istana Aetheris, berjalan dengan cepat namun tetap anggun. Istana Aetheris berdiri megah di sisi timur kompleks istana kekaisaran, dikelilingi taman yang indah dengan pepohonan eksotis dan kolam air mancur yang memantulkan sinar matahari pagi. Namun, semua itu tidak menarik perhatiannya. Di benaknya, hanya ada satu tujuan, memastikan keselamatan Ezekiel.
Ketika Azrael tiba di kamarnya, ia mendapati Ezekiel masih terbaring di ranjang besar dengan kanopi emas. Tempat tidur itu terlihat terlalu besar untuk tubuh kecil Ezekiel. Wajahnya pucat, hampir tak berwarna, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang menandakan kelelahan dan kurang tidur. Tubuhnya tampak jauh lebih kecil daripada anak seusianya, begitu kurus hingga tulang-tulangnya terlihat jelas di bawah kulit yang pucat.
Azrael duduk di kursi dekat ranjang, menatap bocah kecil itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ezekiel," panggilnya lembut, mencoba untuk tidak mengintimidasi bocah yang sudah cukup menderita.
Mata ungu lilac yang sayu perlahan terbuka, dan pandangan mereka bertemu. Ezekiel terlihat kebingungan, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak satu kata pun keluar. Dengan gerakan pelan, ia mencoba bangkit dari tempat tidur, namun tubuhnya segera gemetar hebat. Azrael dengan cepat menahan bahunya, mendorongnya kembali ke posisi berbaring.
"Kau masih terlalu lemah," katanya, kali ini lebih tegas namun tetap lembut. "Jangan terlalu memaksakan diri."
Ezekiel menatapnya dengan mata penuh kehati-hatian dan sedikit rasa takut. Ia tidak mengerti mengapa kakaknya tiba-tiba bersikap perhatian seperti ini. Azrael yang ia kenal, baik melalui ingatan milik ezekiel asli maupun ingatannya tentang novel ini, adalah seseorang yang dingin, jauh, dan tidak tertarik pada dirinya. Jadi, perhatian ini terasa aneh, bahkan mengancam.
Namun, sebelum Ezekiel sempat memikirkan lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu, disusul kemunculan Tabib Lycoris. Ia adalah pria tua dengan janggut putih panjang dan jubah putih yang dihiasi pola sihir penyembuhan yang samar berpendar. Di tangannya, sebuah tongkat dengan kristal biru terang di ujungnya bersinar lembut, memberikan kesan agung dan penuh kewibawaan. Lycoris melangkah masuk, membungkuk hormat kepada Putra Mahkota sebelum mendekati ranjang Ezekiel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ezekiel: A Changed Destiny
FantasyHael, seorang pemuda yang hidup dengan penyakit yang tak bisa disembuhkan, akhirnya meninggal di usia 17 tahun. Namun, bukannya pergi ke alam baka, ia terbangun dalam tubuh Ezekiel Calanthe, seorang tokoh figuran dalam novel yang berakhir tragis. De...