Prolog

5 1 0
                                    

Pranggg!

Seorang anak kecil berusia empat tahun terlonjak kaget. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar hebat, dan keringat membasahi pelipisnya. Nafasnya terengah-engah. Ia memeluk dirinya sendiri, menenggelamkan wajah mungilnya di antara lutut.

“Kakak…” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Pranggg!

Suara pecahan kaca kembali terdengar, membuat anak kecil itu semakin meringkuk ketakutan.
“Aku takut…” cicitnya dengan suara bergetar, mempererat pelukan di tubuh kecilnya.

Dari kejauhan, terdengar suara memanggil. “Adek!” teriak seorang anak laki-laki, lebih tua darinya, yang tak lain adalah kakaknya.

Mendengar panggilan itu, gadis kecil perempuan itu langsung mendongak. Dengan langkah goyah, ia berlari menghampiri sang kakak. Sesampainya di sana, ia langsung memeluknya erat.
“Sstt, tidak apa-apa,” ucap kakaknya lembut, sambil mengusap punggung perempuan kecil yang masih bergetar.

“Takut…” bisik pelan perempuan kecil tersebut, suaranya hampir tenggelam dalam isakan kecil.

“Kakak di sini. Tidak perlu takut.”

Perempuan kecil tersebut terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap sang kakak dengan mata berkaca-kaca. “kakak, kenapa Papa sama Bunda selalu bertengkar? Padahal waktu itu Bunda bilang, kalau ribut itu tidak bagus. Katanya, kita harus saling menyayangi satu sama lain. Tapi kenapa Bunda sama Papa…” suaranya bergetar, berusaha menahan tangis yang hampir pecah.

Sang kakak terdiam, mencoba mencari kata-kata yang bisa menenangkan adiknya. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Mereka tidak bertengkar, Mereka cuma bercanda, seperti kita waktu rebutan mainan.”

Adik kecil itu menatap sang kakak, berusaha mencari kebenaran di balik kata-kata itu. Namun, meski hatinya masih ragu, pelukan hangat sang kakak membuatnya merasa sedikit tenang.

"Kakak ada di sini. Kamu tidak sendirian."

Perlahan, tubuh kecil nya berhenti gemetar. Meski suara pecahan kaca dan teriakan di kejauhan masih terdengar samar, ia mencoba mempercayai kata-kata sang abang. Setidaknya, untuk saat ini.

...

"Rezza, kamu ikut Bunda ya? Biar Adik sama Ayah," ucap sang ibu lembut, mencoba menenangkan suasana.

Namun, Rezza cepat menggeleng, menolak tegas. "Rezza mau sama Adik!"

"Kak... tolong ngertiin ya?" pinta Bundanya dengan nada pelan, penuh harap.

"Buat apa? Kalian aja nggak pernah ngertiin kita! Kalian egois!" balas Rezza dengan suara penuh emosi.

"Adek mau sama Kakak..." isak gadis kecil itu, menangis sesenggukan. Ia berharap apa yang ia inginkan dapat terwujud, tapi sayang, harapannya salah. Itu semua tak mungkin terjadi. Rezza memeluk Adiknya erat, berusaha menenangkan tangis gadis kecil itu, meskipun hatinya sendiri terasa hancur.

Kedua orang tua mereka hanya bisa menghela napas panjang, terlihat pusing menghadapi situasi ini.

"Ini jalan terbaik buat keluarga kita," suara Ayahnya terdengar tegas. "Rezza, kamu sebagai Kakak di sini seharusnya bisa paham situasinya!"

"Jalan terbaik? Terbaik buat kalian berdua saja!" seru Rezza, matanya menatap tajam ke arah kedua orang tuanya. "Kalian nggak pernah mikirin perasaan kita sebagai anak! Kakak masih butuh Ayah, dan Adek masih butuh Ibu. Masih ada cara lain yang lebih baik daripada harus pisah seperti ini!"

"CUKUP!" bentak Ayahnya tiba-tiba, suaranya menggema di ruangan itu, membuat semuanya terdiam seketika.

"Tidak ada penolakan," lanjut Ayahnya dingin. "Ayo, Dek, ikut Ayah." Tanpa menunggu, ia menggendong gadis kecil itu yang meronta-ronta sambil menangis.

"Kakak... Adek nggak mau pisah sama Kakak!" tangis Adiknya semakin keras, matanya memohon penuh harap ke arah Rezza. Gadis kecil itu merentangkan tangan, berharap Kakaknya datang menyelamatkan. Tapi harapan itu tetap menjadi asa yang menggantung.

Rezza ingin sekali memeluk Adiknya, tapi tangan ibunya sudah menariknya menjauh, memaksanya untuk segera pergi.

"Dek, Kakak janji kita nanti pasti ketemu lagi!" seru Rezza dengan suara yang mulai parau, mencoba terdengar yakin meskipun hatinya penuh keraguan. Ia mengucapkannya dengan lantang, karena jarak di antara mereka kini semakin menjauh.

Air mata Rezza jatuh tanpa henti. Ia hanya bisa berharap, suatu hari, janji itu bisa ia tepati.

...

Penasaran dengan perjalanan rezza dalam mencari sesuatu yang sudah hilang? Bagaimana Rezza memperbaiki itu semua?

Ingin mengetahui kelanjutan dari cerita Rezza?
Bantu support, cukup vote, komen dan bantu follow akun ini, itu sudah membantu sekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rindu Ini Masih Milikmu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang