Sejak dua bulan lalu, istana Kerajaan Erlando berubah menjadi pusat kesibukan tiada henti. Para pelayan berlarian dari satu sudut aula ke sudut lainnya, membawa kain sutra biru, susunan bunga, dan hiasan emas yang berkilauan. Tidak ada ruang untuk kesalahan; semuanya harus sempurna untuk pesta pelantikan putra mahkota, Sing, yang akan berlangsung dua hari lagi.
Meski Sing adalah putra tunggal Raja Eryon, tradisi tetap harus dijalankan. Usianya yang baru saja menginjak delapan belas tahun menjadikan pelantikan ini momen penting untuk mengukuhkan statusnya sebagai pewaris sah takhta. Upacara ini bukan hanya tentang seremonial, tetapi sebuah pengakuan. Ia akan diakui oleh raja, keluarga kerajaan, dan rakyatnya sebagai calon pemimpin masa depan.
Namun, di balik keindahan ini, ada atmosfer berbeda di ruang kerja raja. Tidak ada keramaian, tidak ada senyuman, hanya keheningan tegang antara dua lelaki-Raja Eryon dan putra tunggalnya, Sing.
"Besok lusa adalah pelantikanmu," suara raja yang rendah dan dingin memecah keheningan. "Jangan bertindak gegabah. Perhatikan sikapmu dengan baik."
Sing duduk tegak di kursi di hadapan ayahnya. Matanya menatap lurus tanpa emosi, wajahnya dingin seperti topeng yang tak tergoyahkan.
"Tanpa Ayahanda peringatkan, saya tahu bagaimana harus bersikap," jawab Sing dengan nada datar, meski ada kilatan perlawanan halus di balik kata-katanya.
Raja Eryon menyipitkan matanya, mengamati putranya seperti seorang jenderal menilai prajuritnya. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seperti senar yang ditarik terlalu kencang namun belum putus.
"Bagus," balas raja setelah jeda panjang. "Aku tahu kau tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan merugikan dirimu sendiri."
Sing hanya diam, membiarkan kata-kata itu berlalu. Ini bukan pertama kalinya ia berhadapan dengan sifat dingin ayahnya. Bagi Sing, perhatian sang raja selalu datang dalam bentuk perintah dan tuntutan. Tidak ada kelembutan, tidak ada rasa peduli yang tampak di permukaan. Hanya tuntutan untuk menjadi sempurna, menjadi penerus takhta yang layak.
Namun, ia tahu cara bertahan. Sejak kecil, ibunya selalu mengajarkan untuk menghormati ayahnya, tak peduli sekeras apa pun perlakuannya.
"Sikap ayahanda mungkin terlihat dingin, tapi ketahuilah, semua yang dia lakukan demi kebaikanmu," kata-kata ibunya terus terngiang dalam ingatan. Ia pernah percaya akan itu, namun seiring waktu, keyakinan itu perlahan terkikis.
Sing ingat betul bagaimana ayahnya memaksanya belajar sejak usia dini. Ketika anak-anak lain bermain di luar, ia duduk di ruang belajar, mempelajari taktik perang dan diplomasi. Pada usia sepuluh tahun, ia sudah menguasai pelajaran yang bahkan sulit bagi remaja yang jauh lebih tua darinya. Namun, itu tidak pernah cukup. Ketika ibunya meninggal dunia, ia berharap akan mendapat sedikit kelonggaran, sedikit pengertian. Namun, yang ia terima adalah perintah untuk pergi ke perbatasan, meninggalkan masa kecilnya dan memasuki dunia orang dewasa yang kejam.
Namun, kali ini ada sesuatu yang lain. Sing tahu ada hal yang disembunyikan ayahnya.
“Mengenai anak itu, mengapa Ayahanda langsung membawanya ke istana?" tanya Sing, suaranya datar namun penuh arti.
“Bukankah aku sudah menjelaskan? Aku hanya ingin membantunya. Seluruh keluarganya dan penduduk kerajaannya telah tiada. Membawanya ke sini adalah hal yang tepat.”
Namun, Sing tidak mudah percaya. Ia tahu ayahnya lebih baik dari siapapun. Tidak ada yang dilakukan Raja Eryon tanpa alasan yang matang dan penuh perhitungan.
Raja Eryon tersenyum tipis, senyuman yang membuat dingin ruangan semakin terasa. “Apakah kau takut dia akan merebut posisimu sebagai pewaris takhta?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Facts
Fanfictionwarning!!!! PERHATIKAN TAGAR SEBELUM MEMBACA!! Hanya meminjam nama dan visual. Fiksi penggemar tidak ada kaitannya dengan kehidupan nyata.