Belva terdiam di bangku taman belakang rumahnya, dirinya masih kesal lantaran sang papi bertindak sesukanya. Di sebelahnya ada Aksa yang setia menunggu gadis itu meredakan emosinya.
Belva melirik ke sebelah "Om ngapain disini pergi sana, aku mau sendiri." Ucapnya ketus.
Aksa tersenyum tipis "Udah saya bilang kan jangan panggil saya om panggil mas Aksa Belva." Meskipun bibirnya tersenyum tapi nada datar serta aura mencekam Aksa yang menyelimuti membuat Belva merinding.
Hening menyelimuti keduanya sampai kalimat Aksa selanjutnya membuat Belva penasaran.
"Kamu mau mendengar sebuah cerita? Tentang awal pertemuan kita." Belva menoleh menatap pria disampingnya.
Merasa diperhatikan, Aksa melanjutkan ceritanya.
"Waktu kamu lahir saya sama kakek berkunjung ke rumah kamu karena papi kamu dan kakek saya adalah rekan dekat. Pertama kali lihat kamu saya terpesona bagaimana bisa ada bayi yang sangat cantik dan lucu dengan pipinya yang bulat." Aksa terkekeh kecil mengingat hal lalu.
"Terus waktu kamu nangis semua orang panik wajah kamu sampai merah saat itu. Terus saya ngedeket dan cium bibir kamu, ajaib nya kamu jadi diem." Aksa menoleh untuk melihat reaksi Belva yang terkejut dengan mata sedikit melotot.
"Ihh.. om dulu cari kesempatan ya sama aku" tuding Belva.
"Habisnya kamu lucu dan saya kasihan juga lihat kamu nangis terus jadi saya cium biar diem dan ternyata berhasil. Sejak saat itu saya bilang kalau saya akan menikahi kamu nanti."
Aksa melanjutkan ucapannya "Maaf Belva jika saya terkesan memaksa kamu untuk pernikahan ini, karena memang kamu tidak bisa menolak." Aksa menatap lembut gadis disampingnya.
"Om-"
"Mas Aksa Belva" potong Aksa.
Melihat raut seram Aksa membuat Belva mengganti panggilannya.
"Oke oke Mas Aksa, aku beneran nggak tau apa yang ngebuat mas suka sama aku tapi yang pasti aku masih pengen seneng-seneng menikmati masa muda aku. Jadi aku nggak bisa menikah sama Mas Aksa." Ucapnya menatap pria itu.
"Dengan atau tidaknya persetujuan kamu pernikahan ini akan tetap terjadi Belva. Dan saya tidak akan membatasi kesenangan kamu selama saya terlibat di dalamnya."
"Tapi mas-"
"Tidak ada perdebatan lagi Belva." Ucapnya membuat Belva kembali mengatupkan bibirnya, serem cuyy aura om satu ini ngebuat Belva si pendebat ulung jadi tunduk.
"Saya mencintai kamu dan saya akan membahagiakan kamu Belva Arina." Aksa mengelus pelan puncak kepala Belva. Tidak ada kebohongan, tatapan Aksa kepada Belva begitu tulus memuja gadis itu.
Setiap penekanan dalam kalimat Aksa membuat Belva sadar tak ada jalan keluar untuk hal ini. Yang ia bisa hanya menerima Aksa sebagai calon suaminya, ah.. membayangkan jadi istri seorang Aksa membuatnya merinding.
Sebenarnya Belva yakin tak sulit membuatnya menyukai Aksa. Pesona pria matang itu benar-benar sangat kuat, pahatan wajah yang tegas dengan tubuh yang tinggi dan gagah. Tampan, mapan, kaya raya bodoh sekali jika dirinya tetap bersikukuh untuk menolak Aksa.
End.