Dari Layar

2 1 1
                                    

Dira duduk di sudut kafe yang ramai, menatap layar ponselnya dengan cemas. Di depannya, secangkir kopi panas hampir tak tersentuh. Sudah hampir satu bulan sejak pertama kali ia mengunduh aplikasi kencan itu, dan meski sudah bertemu beberapa orang, tak ada yang benar-benar membuatnya merasa "klik." Hingga hari itu, seseorang bernama Ardi muncul di layar.

Ardi, dengan foto profilnya yang tampak sederhana namun hangat, memperkenalkan diri dengan pesan pertama yang mengundang tawa. "Kopi atau teh? Karena saya rasa, pertemuan pertama harus dimulai dengan pilihan itu." Dira terkekeh membacanya, dan percakapan mereka pun dimulai dengan ringan. Dari hobi, musik, hingga keinginan hidup, semuanya terasa mudah. Tak ada topeng, tak ada pura-pura. Rasanya seperti berbicara dengan teman lama.

Hari demi hari, pesan-pesan mereka semakin intens. Mereka saling berbagi cerita, tertawa bersama, bahkan bertukar pandangan tentang hal-hal kecil yang kadang terlupakan dalam kehidupan sehari-hari. Ardi ternyata seorang penulis yang gemar traveling, sementara Dira, meskipun bekerja di bidang korporat, selalu menyempatkan diri untuk menulis puisi di waktu luangnya. Keduanya merasa ada ketertarikan yang kuat, meski hanya melalui layar ponsel.

Namun, di balik kecocokan itu, Dira merasa ragu. Apakah mungkin mereka benar-benar saling mengerti jika hanya berkenalan lewat pesan? Apakah perasaan ini akan tetap sama ketika bertemu langsung?

Akhirnya, setelah berminggu-minggu berbincang lewat aplikasi, mereka sepakat untuk bertemu. Tempatnya adalah sebuah kafe kecil yang Dira pilih dengan hati-hati, sebuah tempat yang tidak terlalu ramai, namun cukup nyaman untuk berbicara tanpa gangguan.

Hari pertemuan tiba, dan Dira tiba lebih awal. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Pintu kafe terbuka, dan seorang pria dengan jaket biru serta senyum yang akrab masuk. Dira tahu itu adalah Ardi, meskipun wajahnya sedikit berbeda dari foto-foto yang mereka tukar. Mereka saling menatap sesaat, lalu Ardi tersenyum dan melangkah ke meja yang sudah disiapkan.

"Jadi, ini dia... kamu Dira?" tanya Ardi dengan suara yang terdengar lebih dalam dibandingkan ketika dia berbicara melalui pesan.

Dira hanya mengangguk sambil tersenyum. “Iya, akhirnya kita bertemu juga.”

Obrolan mereka dimulai dengan canggung, namun tak lama kemudian semua terasa mengalir begitu alami. Mereka tertawa, berbicara tentang hal-hal yang mereka sukai, dan saling bertanya tentang masa depan. Semua rasa ragu yang Dira rasakan selama ini mulai memudar. Ardi ternyata sama seperti yang ia harapkan. Dia jujur, terbuka, dan penuh perhatian.

Tak ada yang menyangka bahwa pertemuan itu akan menjadi awal dari sebuah cerita yang lebih besar. Seminggu setelahnya, mereka mulai merencanakan pertemuan kedua. Lalu ketiga. Setelah beberapa bulan, kedekatan mereka semakin kuat. Mereka mulai berbicara tentang masa depan bersama, tentang impian-impian yang ingin dicapai berdua.

Satu tahun setelah pertemuan pertama, Ardi melamar Dira di tempat yang sama, kafe yang menjadi saksi perjalanan cinta mereka yang dimulai dari sebuah aplikasi kencan. Dengan tangan yang gemetar, Ardi mengeluarkan cincin dari saku jaketnya. “Dira, aku tidak pernah percaya pada takdir, tapi aku percaya kita dipertemukan untuk suatu alasan. Maukah kamu menjadi bagian dari hidupku selamanya?”

Dira hanya bisa tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Ya, Ardi. Aku mau.”

Dua orang asing yang pertama kali bertemu melalui layar ponsel kini bersiap untuk memulai hidup baru bersama, melangkah ke dalam babak kehidupan yang lebih nyata—

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang