57. Diskusi Yang Memanas

66 21 1
                                    

Chapter: Diskusi yang Memanas

Malam itu, Habib dan Aina duduk di meja makan kecil di dapur. Di tengah meja, sebuah buku catatan terbuka dengan angka-angka yang tertulis rapi. Habib menatapnya dengan serius, sementara Aina bersandar di kursi, memainkan ujung rambutnya dengan ekspresi setengah jenuh.

“Jadi, aku pikir dua juta cukup, Sayang,” ujar Habib membuka pembicaraan, suaranya lembut tapi tegas. “Kalau kita atur pengeluaran dengan baik, semuanya pasti bisa jalan.”

Aina memutar bola matanya, lalu bersandar lebih dalam ke kursinya. “Dua juta? Habib, itu hampir nggak mungkin. Lihat aja harga bahan pokok sekarang, naik terus. Belum lagi kebutuhan lain.”

Habib menggeser buku catatannya ke depan Aina, menunjuk angka-angka yang ia tulis. “Lihat ini. Aku sudah bikin rencana. Untuk makan, kita anggarkan satu juta sebulan. Berarti tiga puluh tiga ribu per hari. Kita masak sendiri, lebih hemat.”

Aina mengernyit, mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Masak? Kamu tahu aku nggak biasa masak tiap hari, kan? Masak itu butuh waktu, dan kita berdua kerja. Aku nggak mau pulang kerja capek-capek terus harus ngupas bawang.”

Habib tersenyum kecil, berusaha menenangkan. “Nggak harus masak yang rumit, Sayang. Kita bisa masak yang praktis, kayak tumis sayur atau sup sederhana.”

“Tapi aku suka makan enak,” balas Aina cepat. “Steak, sushi, atau apa pun yang segar dan nyaman di lidah. Aku nggak mau cuma makan tempe tiap hari.”

Habib menghela napas, menahan rasa frustrasinya. “Aku ngerti, tapi kalau terus-terusan makan di luar, pengeluaran kita bakal meledak. Kita nggak bisa hidup kayak waktu kita masih single. Sekarang kita harus lebih bijak.”

Aina menatap Habib tajam. “Bijak? Jadi menurutmu aku boros?”

“Bukan begitu maksudku,” Habib menjelaskan, suaranya lebih pelan. “Aku cuma mau kita punya batas yang jelas. Dua juta itu memang nggak banyak, tapi kalau kita disiplin, cukup kok. Aku mau kita nggak hidup melebihi kemampuan.”

“Tapi aku kerja juga, Bib,” potong Aina. “Gaji aku cukup besar untuk menutupi kekurangan. Kenapa harus pelit?”

“Ini bukan soal pelit,” tegas Habib, nadanya mulai meninggi. “Ini soal tanggung jawab. Aku suamimu. Aku nggak mau kita bergantung sama gajimu terus-terusan. Kalau ada apa-apa, aku yang harus bisa diandalkan.”

Aina terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada lebih lembut. “Aku tahu kamu ingin jadi suami yang bertanggung jawab, dan aku hargai itu. Tapi hidup itu nggak cuma soal bertahan, Habib. Aku ingin kita juga menikmati apa yang kita miliki.”

Habib mengangguk pelan, menatap istrinya dengan mata yang mulai melembut. “Aku juga mau kita bahagia, Sayang. Tapi kita harus bahagia dengan realistis. Nggak perlu selalu mewah untuk bisa menikmati hidup, kan?”

Hening sejenak mengisi ruang di antara mereka. Aina menatap angka-angka di buku catatan Habib dengan lebih serius. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Kita coba budget dua juta itu. Tapi kalau ternyata nggak cukup, kamu harus terbuka untuk revisi.”

Habib tersenyum lega. “Deal.”

Malam itu, meski perdebatan kecil menghiasi percakapan mereka, keduanya menyadari bahwa mereka sedang belajar satu hal penting , yaitu menyesuaikan langkah bersama, meskipun jalannya penuh tantangan.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 14 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terpaksa Menikahi Dokter 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang