30. Runtuh

102 15 2
                                    

Saya peringatkan sebelum memasuki Bab ini lebih jauh.

Teman-teman yang usianya belum legal tolong jangan di baca ya, ada adegan yang tidak pantas untuk kalian. Walaupun cuma tipis-tipis tetap saja tidak boleh.

Adegan ini tidak untuk ditiru!

Mohon bijak ya, teman-teman.

Sorry for typo🙏

Zeidan tampak gelisah dari duduknya, ponselnya bergetar berpuluh-puluh kali namun saat ia meraih ponselnya dari dalam saku tiba-tiba suara nenek Aisyah mengintrupsi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zeidan tampak gelisah dari duduknya, ponselnya bergetar berpuluh-puluh kali namun saat ia meraih ponselnya dari dalam saku tiba-tiba suara nenek Aisyah mengintrupsi.

"Kalau lagi kumpul keluarga jangan ada yang ngecek kerjaan, main hp atau apapun itu, kesannya tidak menghargai orang yang sedang berbicara."

Zeidan, Eza dan Ahzam seketiga mendongak mendengar ucapan dengan nada ketus itu, namun tak ayal ketiganya menyimpan ponsel dan berkas masing-masing.

Disaat keluarganya berbincang dengan hangat seperti biasanya, Zeidan malah bungkam dengan pikiran yang melalang buana. Ia memang mengesampingkan ego untuk menemui kakek dan neneknya, tapi ia terkadang masih sakit saat mengingat sang nenek yang tega mengusirnya.

Melihat Zeidan yang hanya diam, kiayi Zaid merasa sedih. Apa cucu keduanya itu merasa tak nyaman berkumpul dengan keluarganya sendiri?

"Dimana istrimu, Zeid? Mengapa tidak ikut menjenguk kakek?" tanya Kiayi Zaid membuat perhatian semua orang diruangan itu teralih pada Zeidan.

Zeidan seketika mendongak, "Sahara-

"Ngapain sih, Abi nanyain perempuan itu?!" sela Bunyai Aisyah dengan nada tidak suka yang begitu kentara.

"Mi," tegur sang suami memperingati, namun bukannya berdiam Bunyai Aisyah malah kian menjadi-jadi.

"Namanya saja benar-benar membuat muak dan merusak suasana," ujarnya kesal.

Zeidan yang tidak ingin ribut hanya diam, sambil kembali menunduk memainkan jari tangannya. Hatinya berdenyut nyeri mendengar ucapan nenek Aisyah yang tidak pernah menilai baik istrinya.

"Angkat dulu telponnya Zeid, siapa tahu penting," kata Gus Ikhwan mengalihkan pembicaraan.

Zeidan kembali mendongak menatap sayang ayah yang juga menatapnya teduh, tatapan yang selalu berhasil menjadi tempat pulang paling nyaman untuk Zeidan.

"Iya, Yah," sahutnya kemudia segera berdiri dari duduknya. Tanpa berpamitan pada yang lain.

Zeidan menutup pintu ruang rawat kakeknya kemudian duduk disalah satu kursi tunggu yang tersedia di lorong rumah sakit. Zeidan menatap ponselnya, 31 panggilan tak terjawab dari satpam rumahnya. Kenapa pak Karto memanggilnya sebanyak itu?

Panggilan ke-32 akhirnya Zeidan angkat juga.

"Halo, Assalamualaikum, Gus," sapa seseorang disebrang sana dengan napas ngos-ngosan.

Al Zeidan (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang