Lakshya hampir tersandung jari-jari kakinya ketika dia mencoba bangun. Sulit untuk menjaga keseimbangan, jujur, tetapi ia mencoba yang terbaik. Dwarkadheesh ingin bertemu dengannya. Ia harus meninggalkan kesan yang lebih baik.
Ia memakai angavastra berwarna oranye dan dhoti yang berwarna kuning dan merah. Sungguh, mereka benar-benar agak berlebihan dalam menyiapkan segala hal untuknya seperti ini. Pada akhirnya, ia bukan siapa-siapa selain tamu mereka, kan? Lakshya melihat dirinya di kaca, memakai berbagai kalung emas dan banyak ornamen mutiara. Ia terpaksa harus melepaskan hiasan kepala lamanya karena darah yang mengotori di sana. Mahkota itu diberikan oleh ayahnya, dibuat oleh permata khusus yang hanya dapat ditemukan di Hrithia.
Ia sangat menyukai itu.
Namun, apa boleh buat? Ia tak sempat mencucinya, mana mungkin mau ke ruang sidang istana dengan mahkota yang dihiasi dengan darah kering.
Headpiece barunya terbuat dari emas dengan permata ruby di tengah-tengah, yang tidak lepas dari hiasan mutiara di sekitarnya. Ia gugup, jujur saja. Bagaimana kalau ia sampai membuat kesalahan? Lakshya tak bisa berhenti memainkan jari-jari dan cincinnya ketika ia gelisah. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melangkah keluar.
Benar saja, Dwarkeshwari Rukmini menunggu di sana. Ia menatapnya dengan penuh kasih sayang yang membuat sesuatu di dadanya terasa tidak nyaman. Perasaan lama dari masa kecilnya, mungkin kerinduannya akan kasih sayang seorang ibu.
Dwarkeshwari tersenyum padanya, sebelum mengulurkan tangan, membelai pipinya seolah membelai pipi putranya sendiri. "Kau tampak sangat mengagumkan. Harus kuakui Satyabhama memang memiliki selera yang hebat."
Ia melepaskannya sebelum Lakshya sempat bereaksi. Sang ratu mengambil sepotong yang tampak seperti sampanye dan menyalakannya, meletakkannya di atas sesuatu yang tampak seperti diya kuningan. Ia samar-samar ingat bagaimana ibu sepupunya melakukan ini untuk mereka, untuk menangkal mata jahat seperti yang dilakukan kebanyakan ibu.
Rukmini mengarahkan api di sekitar tubuh Lakshya, tiga kali searah jarum jam, tiga kali berlawanan arah jarum jam.
"Kau tidak perlu melakukan ini. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang besar atau apa pun." Ayahnya telah melakukan ini ketika ia pergi ke Ashram, tempat untuk pendidikan. Ayah tidak sering melakukannya.
Rukmini tersenyum. "Ini tanda selamat datang. Kami tidak bisa melakukannya lebih awal karena kau pingsan."
"Berapa lama itu?"
"Hampir seminggu."
Oke. Itu pasti sesuatu. Ia hanya mengangguk dan kemudian melihat sekelilingnya. Dwaraka sangat besar. Sangat besar. Sejauh yang ia tahu kota ini megah dan kaya, tetapi ia tidak pernah melihatnya secara langsung. Strukturnya sangat indah, itu membuat apresiasinya terhadap seni meningkat. Dwarkadheesh tentu memiliki selera yang bagus dalam segala hal.
"Rama? Kau baik-baik saja?"
"Ah, ya. Ya, aku baik-baik saja, jangan khawatir." Ia tersenyum canggung padanya. "Bisakah kau menunjukkan jalannya?"
"Tentu saja, lewat sini. Ikuti aku, Nak."
Nak.
Itu membuat hatinya sakit. Itu mengingatkannya pada mendiang ayahnya. Juga, ibunya yang tidak pernah ia kenal. Di masa kecilnya, ia sering membayangkan ibunya memanggilnya dengan lembut atau bahkan memarahinya. Ia memohon kepada para dewa untuk memberinya pengalaman memiliki seorang ibu.
Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Setidaknya sampai sekarang. Ia tidak lagi mendambakan kasih sayang seorang ibu. Sekarang, ia harus fokus pada hal lain. Ia bukan lagi anak kecil yang memiliki segalanya. Sekarang, ia adalah seorang pria yang telah kehilangan segalanya dan akan mendapatkan segalanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met: Oh Maahi, Oh Jaani.
Fiksi Penggemar! MAHABHARATA FANFIC ! Vahini, seorang putri dari kerajaan Hastinapura, putri dari yang mulia calon Raja Yudhistira dan Ratu Drupadi, adik dari pangeran Prativindhya, telah jatuh cinta. Benar. Anak perempuan tertua dari Raja Yudhistira telah jatuh...