"Wah ... kau sungguhan babak belur."
Jaehan berjongkok di depan penjara yang kini akan menjadi tempat Jehyun menghabiskan hari-harinya.
Sebenarnya, tak hanya para tahanan, bahkan dirinya pun merasa begitu tertekan. Setiap jeruji di tempat ini terbuat dari perak asli. Bahkan menyentuh sedikit saja bisa membuat mereka terluka.
"Katakan, Elder ... darimana kau mendapatkan semua anak-anak yang kau jadikan kelinci percobaan itu?"
Jehyun tersenyum mengejek, meski bibirnya sobek. Darah masih terlihat di sana, hanya saja Jaehan tahu jika itu akan pulih sebentar lagi.
Menyebalkan, namun tak cukup membuat Jaehan kesal hingga terprovokasi untuk menghakimi. Untuk urusan pengendalian diri, ia cukup baik akhir-akhir ini.
"Tak banyak yang aku inginkan, aku hanya ingin mengembalikan mereka ke tempat yang seharusnya." Keluarganya ...
Akan tetapi, Jaehan mendengar dengusan, sebelum terdengar suara pelan. "Jika yang kau maksud adalah keluarga, mereka tak memilikinya ..."
Jehyun sengaja memilih anak-anak yang tak memiliki keluarga. Dimana mereka menghilang dari dunia pun, tak akan ada lagi yang peduli.
"Kau ..." suara batuk menyusul dan itu cukup mengganggu, "Ka-kau pikir aku sebodoh itu untuk mengambil anak-anak yang begitu dicintai oleh ayah dan ibunya?"
Mendengar itu, Jaehan menghela sebelum berdiri. Menegakkan punggung, Jaehan sejenak memejamkan mata untuk meredam gejolak yang tiba-tiba ia rasa.
Itu adalah kemarahan. Werewolf yang begitu ia kagumi ...
Moon Jehyun, ia bukan seorang Alpha, namun dikenal karena kecerdasan dan umurnya yang begitu panjang. Hidup di tiga generasi, berakhir seperti ini.
"Ah, aku juga sudah mendengar dari Ketua Han tentang kisahmu."
Jehyun masih telentang, menatap langit-langit penjara yang mengurungnya. "Kau percaya padanya?"
"Aku tahu lukamu sedalam itu, akan tetapi semua sudah berlalu. Hal-hal yang menyakitimu sudah mati lama sekali. Lantas, kenapa kau memilih memendam dan mendendam?"
"Bagaimana denganmu? Bukankah semua yang saudara kembarmu lakukan juga sudah berlalu? Lantas ... mengapa kau masih memendam, juga mendendam?" Jehyun menoleh, menatap lekat, tepat ke arah mata Jaehan yang masih berwarna hitam pekat. "Kau menyembunyikan semuanya, karena kini inang dari saudaramu adalah mate-mu ... Kau menahan diri agar tak berakhir menyakiti."
Jaehan bahkan tak bisa membantahnya.
"Lukamu ... bukankah juga sedalam itu? Kim Yechan mengambil orang tuamu, sementara Shin Yechan, dia ... mengambil mahkota dan harga dirimu. Kealphaanmu ..."
Tangan Jaehan terkepal hingga memutih buku jarinya. Belum juga bibirnya terbuka untuk mengutarakan ketidaksetujuan, Jehyun lebih dulu menyela, tak memberi kesempatan untuk menyangkalnya.
"Aku tahu, kau ... tak bisa membohongiku tentang itu."
"Kim Jaehan!"
Sampai sebuah suara berat terdengar dan Jaehan kembali tersadar.
Jaehan menoleh, ia melihat sosok yang seketika itu juga membuat hatinya kembali ringan. Siapa lagi jika bukan mate-nya.
"Yechanie?"
Yechan berjalan mendekat, menatap Jehyun yang masih tersenyum. "Bukankah kau yang paling tahu jika serigala satu ini tidak menggigit melainkan berbisa?"
Semua kata yang keluar dari bibir sang tetua terasa seperti mantra. Bisa membuatmu bahagia, mungkin merasa sedih juga, namun yang pasti kau akan begitu saja setuju dan percaya pada apapun yang keluar dari bibirnya. Karena itu Yechan ingin penjara Jehyun dipisah dari tahanan lainnya.
Werewolf yang dianggap sebagai tetua pack ini benar-benar berbahaya dan itu bukan bualan yang dibuat-buat olehnya.
Jaehan bertanya, "Yechanie, apa kau mendengar semua yang dia katakan tadi?"
Yechan tak menjawab dan hanya menariknya pergi. Namun, saat menoleh untuk yang terakhir kali, Jaehan masih mendapati Jehyun yang tersenyum lebar sekali.
**
"Astaga, dia menakutkan ..."
Sebin mengernyit saat Jaehan menceritakan apa yang terjadi di penjara bawah tanah tadi.
"Tapi, hyung ... sedikit saja, apa kau setuju pada perkataannya?"
Jaehan membuang muka. Sebin juga salah bertanya, di sana bahkan masih ada Hyuk dan Yechan yang mendengarkan.
Akan tetapi, Sebin merasa tak perlu ada lagi yang ditutupi.
Hyuk sudah menjadi bagian dari keluarga, Shin Yechan pun sama, dan adik kembar mereka ... Sebin hanya merasa Kim Yechan pun harus tahu apa isi hati Jaehan yang paling dalam. Kim Yechan harus tahu bahwa kesalahannya memang sebesar itu.
"Hyung-"
"Sebinie, aku mencoba ... aku-" Jaehan menunduk, "-aku selalu berusaha untuk melupakan segalanya."
Mendengar itu, ketiganya terdiam. Keheningan itu berlangsung cukup lama, hingga Sebin yang lagi-lagi memecahnya. "Jangan mendekati dan menanyai elder lagi dan ... mari kita beristirahat! Bukankah hari ini kita sibuk sekali?!"
Sebin pun langsung menarik Hyuk pergi, meninggalkan Jaehan dengan Yechan yang masih diselimuti kecanggungan.
Semua yang Jehyun katakan seolah menelanjanginya, dan Jaehan tahu bahwa Yechan mendengar semua. Sudah pasti, adiknya pun sama.
Ada perasaan lega, namun itu juga diselimuti rasa tak enak di hatinya.
Yechan terdengar menghela hingga Jaehan menoleh ke arahnya. Pria itu berdiri, berjalan menghampiri. Tak banyak kata, hanya saja Jaehan tahu bahwa itu bukan suara mate-nya, melainkan adiknya.
"Hyung, apa kau ... ingin aku menghilang dari tubuh anak ini?"
Seandainya memang iya, Kim Yechan tak keberatan jika jiwanya dihancurkan oleh sang saudara. Asal Jaehan yang melakukannya, ia akan baik-baik saja meski tak lagi memiliki raga.