masuk ke dalam kegelapan

6 1 0
                                    

Hutan itu terasa aneh sejak langkah pertama mereka masuk ke dalamnya. Tanah di bawah kaki mereka lembut dan basah, dengan aroma tanah yang tajam bercampur embun dingin. Udara begitu menusuk, membuat siapa pun merasa terisolasi dari dunia luar. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling bertaut seperti tangan raksasa yang menutupi langit. Cahaya matahari yang seharusnya menerangi hanya tersisa sebagai pancaran remang-remang yang nyaris tak berarti.

Tidak ada suara burung atau binatang lain. Hening. Terlalu hening. Bahkan suara langkah kaki mereka di atas dedaunan terdengar seperti bisikan keras yang memantul di antara pepohonan.

“Kenapa rasanya kayak ada yang mengawasi kita?” bisik Farrel tiba-tiba. Matanya waspada, melirik ke segala arah.

Aryan, yang biasanya penuh percaya diri, mengangguk kecil, tetapi mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. "Iya, rasanya kayak... ada mata yang ngikutin kita."

“Aku nggak suka tempat ini...” gumam Nara, suaranya hampir tenggelam dalam udara dingin. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia merapatkan jaketnya, seolah ingin melindungi dirinya dari sesuatu yang tak terlihat.

Mikhael berjalan di depan, berusaha terlihat tenang meski rasa gelisah mulai menggerogoti hatinya. "Ini cuma sugesti. Hutan ini gelap dan sunyi, jadi wajar kalau kita merasa begitu. Jangan biarkan pikiran kita mempermainkan kita."

Namun, langkah mereka tetap melambat, seperti ada beban tak terlihat yang menghentikan mereka. Setiap langkah terasa lebih berat dari langkah sebelumnya.

Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar—seperti teriakan jauh di kejauhan. Suara itu melengking, menyayat telinga, lalu menghilang secepat ia muncul. Mereka semua berhenti.

"Apa itu?" tanya Darren, suaranya bergetar. Ia menoleh ke Mikhael, berharap mendapat jawaban yang bisa menenangkan.

Mikhael menatap ke arah suara itu, mencoba tetap tenang. "Mungkin cuma angin."

"Tapi itu jelas-jelas suara orang, Mikhael," bantah Rayyan, matanya membulat. "Dan... terdengar seperti seseorang yang kesakitan."

“Siapa yang... siapa yang teriak?” Darren bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih mendesak.

Tidak ada yang menjawab. Suasana semakin mencekam, seolah hutan itu sendiri menahan napas.

“Kita lanjut saja,” Mikhael akhirnya berkata, berusaha memecahkan kebuntuan. “Kalau kita diam di sini, kita nggak akan menemukan apa-apa.”

Namun, kata-katanya terdengar lebih seperti keyakinan kosong daripada kepastian. Teman-temannya saling pandang, ragu, tetapi tidak ada yang cukup berani untuk menentang. Dengan enggan, mereka melanjutkan perjalanan, semakin jauh ke dalam kegelapan hutan.

Langkah demi langkah, mereka mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Suhu di sekitar mereka menurun drastis, lebih dingin dari sebelumnya. Daun-daun di pohon tampak semakin gelap, seolah menyerap cahaya yang tersisa.

Kemudian, mereka tiba di sebuah jalan yang aneh—sebuah lorong panjang yang terbentuk dari pohon-pohon yang melengkung sempurna, menciptakan sebuah terowongan alami. Cabang-cabang pohon itu tampak seperti tangan yang saling bertautan, menghalangi langit.

"Apa ini?" tanya Farrel, berhenti di depan lorong itu. Ia memandang dengan cemas. "Kita nggak lihat ini di awal tadi, kan?"

Darren menggeleng cepat. "Nggak. Aku yakin tadi nggak ada."

Mikhael mendekati lorong itu, matanya penuh dengan rasa penasaran. "Sepertinya ini jalan yang harus kita lewati."

“Tunggu!” Nara tiba-tiba berkata dengan nada panik. "Aku nggak suka ini. Rasanya... rasanya ada sesuatu di sana."

Aryan memutar matanya, mencoba menyembunyikan rasa takut yang mulai menjalari pikirannya. "Nara, kita udah sejauh ini. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya sia-sia."

Namun, Nara tetap berdiri di tempat, tubuhnya kaku seperti dipaku ke tanah. "Aku... aku merasa ada sesuatu yang menunggu kita di sana. Sesuatu yang nggak bisa kita lawan."

Rayyan mencoba menenangkan Nara dengan nada lembut. "Kita ada di sini bersama-sama. Kalau ada apa-apa, kita bisa hadapi bareng. Jangan khawatir, Nara."

Meskipun masih ketakutan, Nara akhirnya melangkah perlahan, mengikuti teman-temannya masuk ke dalam lorong itu. Setiap langkah terasa seperti mendekati sesuatu yang tidak diketahui, sesuatu yang mengintai mereka di kegelapan.

Ketika mereka berada di tengah lorong, angin tiba-tiba berhenti. Udara menjadi hening, terlalu hening, hingga mereka bisa mendengar detak jantung masing-masing. Kemudian, suara itu datang lagi—teriakan, kali ini lebih dekat, lebih jelas.

Semua berhenti.

“Itu bukan angin,” bisik Farrel, wajahnya pucat. "Itu... itu nyata."

Mikhael mengangkat tangannya, meminta semua diam. "Tetap tenang. Kita harus terus maju. Jangan berhenti di sini."

Tapi sebelum mereka bisa melangkah lagi, suara itu berubah menjadi bisikan—bisikan yang tidak bisa dimengerti, seperti suara banyak orang berbicara sekaligus. Bisikan itu terdengar dari segala arah, membuat mereka merasa seperti dikelilingi oleh sesuatu yang tidak terlihat.

“Mikhael,” kata Darren dengan suara gemetar. “Aku rasa... kita harus keluar dari sini.”

Namun, sebelum Mikhael sempat menjawab, sesuatu terjadi. Lorong itu mulai berubah—pepohonan di sekeliling mereka tampak bergerak, akar-akarnya merambat di tanah, mendekati kaki mereka. Udara di sekitar mereka menjadi semakin dingin, membuat napas mereka terlihat seperti kabut putih.

"Ini bukan tempat biasa..." bisik Nara, air matanya mulai mengalir. "Kita harus pergi!"

Mikhael mencoba menenangkan kelompoknya, tetapi bahkan ia tidak bisa menyembunyikan rasa takut yang mulai tumbuh. Mereka telah melangkah terlalu jauh. Sesuatu di hutan ini tidak ingin mereka keluar.

Dan mereka belum tahu, apa yang menunggu di ujung lorong itu.

Hutan Terlarang (by Michelina)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang