"Sampein salam gua ya. Semoga ibu lu cepat sembuh," ujar Sandya.
Yojun menganggukkan kepalanya sembari menatap ke bawah, menatap jalan yang akan dipijaknya. "Iya. Makasih atas do'a-nya, bro."
"Semangat, ya, Jun. Semoga di hari pelepasan angkatan kita nanti, lu bisa sama ibu lu," seru Athar ikut mendo'akan.
Yojun mengaminkan setiap do'a yang kedua temannya semogakan untuk kesembuhan sang ibu di dalam hatinya. Dia cukup beruntung karena memiliki dua teman yang baik dan peduli satu sama lain.
Sore hari, tiga remaja laki-laki sedang berjalan beriringan menuju ke area parkiran sekolah. Hanya ada beberapa siswa dan siswi yang masih berada di sekolah saat ini. Mungkin sebagian orang sudah pulang, dan sebagiannya lagi sedang melakukan kegiatan ekstrakurikuler.
Di perjalanan itu, mereka terus membicarakan segala hal untuk mengisi kekosongan. Sesekali bertegur sapa dengan orang-orang yang mereka kenal dan masih berada di sekolah. Hingga mereka bertiga menghentikan langkahnya saat sudah tiba di parkiran dan melihat seorang perempuan cantik sedang berdiri di dekat sepeda motor milik Yojun.
Perempuan itu menyadari kehadiran Yojun dan tersenyum padanya. Laki-laki yang disenyuminya pun berjalan menghampiri.
"Kamu udah nunggu lama, sayang?" tanya Yojun.
Sandya dan Athar berbisik-bisik pelan sambil sedikit tertawa melihat sikap temannya yang langsung berubah menjadi sangat lembut pada kekasihnya. "Bucin, nih."
"Balik, yuk, San. Takut jadi nyamuk," ujar Athar pada Sandya.
Yojun dan perempuan itu menoleh pada mereka berdua. "Balik, dah. Sana, hus-hus!"
Sambil terkekeh, Athar dan Sandya bersiap dengan motor mereka dan tancap gas pergi dari area parkiran sekolah. Meninggalkan dua sejoli yang merupakan sepasang kekasih itu di sana. Setelah menatap kepergian kedua temannya, Yojun kembali memfokuskan perhatiannya pada sang kekasih.
"Mau langsung pulang?"
Giselle mengangguk seraya tersenyum. "Ayo."
...
Yojun melirik kaca spionnya, melihat Giselle yang tampak semakin cantik saat rambutnya yang digerai tertabrak angin. Dia tak kuasa menahan senyumnya, wajahnya sedikit memerah. Yojun tidak percaya ia akan berpacaran dengan perempuan secantik Giselle. Tidak hanya itu, sikap Giselle yang lembut juga membuat Yojun selalu merasa nyaman saat ada di dekatnya.
Menyadari Yojun terus melirik kaca spion, Giselle menepuk pelan pundak laki-laki itu. "Fokus sama jalan, dong!"
"iya, sayang. Lagian kamu cantik banget, sih, jadi fokus aku teralihkan terus."
Kini, Giselle-lah yang salah tingkah karena perkataan Yojun.
Masih dalam perjalanan, tiba-tiba Giselle melihat minimarket dan teringat sesuatu. Dia pun meminta Yojun untuk berhenti dulu di sana dan menunggunya membeli sesuatu. Yojun menawarkan akan membayar apa yang akan dibeli oleh Giselle, namun dia menolaknya dan segera masuk ke dalam minimarket itu.
Yojun tengah asyik menunggu sambil melihat-lihat akun sosial medianya. Ponselnya pun berbunyi. Melihat nama Nindi di kontak itu, ia segera menerima teleponnya.
"Halo. Ada apa, Nin? Kamu udah pulang ke rumah, belum?"
"Abang bisa jemput Bevan, gak? Dia abis kerja kelompok di rumah temennya. Ayah gak bisa jemput dia."
"Di rumah si Rafli, bukan?"
"Iya."
"Ya sudah, nanti Abang jemput dia. Kamu pulang sama siapa tadi?"
"Abang bisa jemput dia sekarang, gak? Kalian langsung ke rumah sakit aja, kesehatan ibu semakin memburuk. Aku sama Ayah udah di sini."
Mendengar suara Nindi yang semakin lirih dan kabar yang disampaikannya, jantung Yojun jadi berdetak kencang. Perasaannya tak karuan, bingung, khawatir, semuanya menjadi satu. Dia tak kuasa berbicara ataupun sekedar menjawab perkataan Nindi. Tak berselang lama, suara di telepon pun berubah. Yang berbicara kini adalah Pratama.
"Abang jangan panik, tenang, oke? Abang jemput Bevan, terus kalian langsung ke sini, ya."
"Iya."
Yojun kembali menyalakan motornya sebelum ia tancap gas dan pergi menuju keberadaan sang adik. Dia tidak mengingat apapun lagi selain perkataan Nindi dan Pratama untuk menjemput Bevan dan pergi ke rumah sakit. Bahkan, Yojun melupakan Giselle yang masih berada di minimarket.
...
"Kita ke rumah sakit, ya."
Bevan yang sudah duduk manis di atas jok motor Yojun langsung tersenyum ketika mendengar perkataannya. "Kita mau ketemu ibu?"
Yojun menganggukkan kepalanya. Dia menjadi bingung dengan reaksi Bevan yang terlihat sangat senang, sedangkan yang sebenarnya terjadi adalah kondisi sang ibu yang semakin menurun. Yojun berusaha setenang mungkin dan melajukan motornya. Ponselnya yang ia letakan di saku jaketnya terus bergetar, menandakan banyak panggilan telepon yang masuk. Saat Yojun memeriksanya dan melihat nama sang kekasih, ia justru mematikan ponselnya dan menyimpannya kembali.
...
Ketika sampai di depan ruang rawat sang ibu, Yojun menghela nafas dan tak henti-hentinya berdo'a. Sedangkan Bevan, ia tampak bersemangat hendak bertemu dengan Jena. Di kursi tunggu, terlihat Nindi yang sedari tadi hanya duduk diam dan menunduk. Yojun segera menghampiri adik perempuannya itu, diikuti Bevan dan duduk di samping mereka.
Nindi yang menyadari kehadiran Yojun dan Bevan, mengangkat kepalanya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Ibu ..."
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Yojun segera memeluk tubuh kecil Nindi. Mendapat perlakuan seperti itu, tangis Nindi kembali pecah. Dua kakak beradik yang sedang berpelukan itu sama-sama mengkhawatirkan ibu mereka. Do'a terus teucap di hati mereka.
Bevan mulai merasa tidak tenang saat melihat wajah Yojun yang terlihat tegang dan Nindi yang menangis. Dia dengan perlahan berjalan ke arah pintu dan membukanya sedikit. Bevan mengintip dari luar, dia melihat sang ayah yang terus memegang tangan Jena yang terbaring tak sadarkan diri. Ada seorang dokter dan suster juga di sana, yang tampak sibuk dengan alat-alat medis mereka.
Bunyi yang tidak dikenali pun terdengar seisi ruangan. Seketika itu juga Pratama menangis sejadi-jadinya. Sang dokter dan suster menghela nafas, ada banyak kekecewaan di wajahnya karena telah gagal menyelamatkan pasiennya ini. Yang mereka berdua lakukan saat ini hanya meminta maaf dan memberikan semangat pada Pratama.
Bevan segera membuka lebar-lebar pintu ruangan itu. Berlari ke arah sang ibu sambil berderai air mata. Dia memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu dan terus memanggilnya.
Yojun dan Nindi saling bertatapan sebelum mereka ikut berlari masuk ke dalam. Yojun berdiri di ambang pintu, tatapannya lurus menatap tubuh Jena yang terbaring dengan selang infus dan oksigen yang mulai dilepaskan oleh suster.
Pratama berusaha terlihat tegar di depan ketiga anaknya. Dia mengelus pundak Bevan dan Nindi untuk menguatkan mereka. Pratama menoleh dan melihat Yojun yang hanya mampu berdiri di ambang pintu tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Yojun masih tidak percaya, hal buruk ini benar-benar terjadi.
Pratama merentangkan tangannya. Dengan cepat, Yojun berlari dan memeluk tubuh sang Ayah sambil menangis dengan keras. Yojun tidak mampu menatap Jena lebih dekat. Ia masih tidak percaya dan menganggap ini hanya mimpi.