18. Belum Di Terima

5.5K 513 26
                                    

Kepulangannya sore ini, Jordan kembali di sambut dengan mobil milik sang ibu yang sudah terparkir apik tepat di rumahnya. Dengan agak kesusahan pria itu berhasil memasukkan motor miliknya ke dalam garasi.

Jordan mengetuk pintu yang di biarkan terbuka itu beberapa kali sebelum memutuskan untuk masuk. Dirinya seperti mengulang momen saat Jordan membelikan hadiah untuk Lava hari itu. Mata sipitnya kembali mendapati dua orang yang sedang bercengkrama di ruang tamu.

"Papa? Kenapa diam di situ?"

Suara Lava membuat Jordan tersadar jika dirinya sempat mematung tak jauh dari tempat anaknya duduk. Pria itu tersenyum hangat lalu berjalan menuju keluarganya, menyempatkan diri mengecup pelipis Lava sebelum mencium punggung tangan sang ibu.

"Mama udah lama? Kok nggak ngabarin Jo dulu," ucap Jordan sembari mendudukkan diri di sebelah sang anak, menatap Lauren yang berada di sofa tunggal.

Lauren berdecak sebal, "Memangnya harus selalu kasih tau kamu dulu baru Mama boleh dateng?"

"Enggak, Ma. Kalo Mama bilang, siapa tau Jo bisa pulang lebih cepet," balas Jordan cepat, tak mau membuat sang ibu salah paham.

Wanita yang menjadi ibunya itu tidak lagi menjawab. Lauren menatap wajah anaknya lekat sebelum menghela nafas pelan, "Gimana sekolah kamu?"

Ada perasaan aneh tak kala mendengar Lauren menanyakan perihal sekolahnya di umur Jordan yang sudah menginjak kepala dua ini. Pria itu menggaruk tengkuknya pelan sebelum kembali menatap Lauren.

"Lancar, sejauh ini nggak ada halangan, Jo juga ambil kelas online."

Pandangan Lauren jatuh pada Lava yang tengah memainkan jemari Jordan. Wanita itu agak mendengus sebelum mengalihkan pandangannya ke arah pintu rumah.

"Kamu tuh yang bener kalau emang mau ngurus anak. Tadi Mama dateng anakmu ini lari-larian di jalan, pakaiannya kotor, berantakan, kalau ada kendaraan lewat gimana?" Lauren duduk tegap sambil menatap kedua orang ini bergantian, "jangan terlalu manjain dia, kalau dia salah, ya, di tegur."

Lava menunduk dalam, sebab, sebelum sang ayah pulang tadi dirinya sudah mendapatkan omelan dari neneknya ini. Lava tidak marah, mungkin ini adalah bentuk kepedulian dari wanita itu agar dirinya tidak mengalami masalah dan berakhir menyusahkan sang ayah.

Jordan menghela nafas pelan, pria itu mengusap lembut rambut sang anak sebelum berucap, "Jangan main di jalan, Nak. Kan Papa udah bilang, main di rumah Viel atau di rumah kita, kalau emang mau lari-larian, minta anterin Abang Sanja buat main di taman atau di lapangan, ya?"

"Maaf, Papa ... Ava salah, Ava nakal karena enggak dengerin Papa," ucap Lava sembari mendongak, menatap wajah tampan sang ayah. Dirinya tidak lagi mudah menangis sekarang, Kaviel bilang laki-laki tidak boleh sering menangis, jadi, Lava semakin bisa menahan diri.

Pria yang sudah berkepala dua itu mengangguk lalu memandang ibunya yang tampak tidak puas, "Jo juga lagi belajar, Ma, dan buat pakaian yang kotor dan berantakan itu wajar. Lava anak laki-laki, nggak mungkin seharian dia rapih, mainnya pasti ke mana-mana. Jo dulu juga gitu, kan?"

Lauren tidak lagi bisa membantah, wanita itu memilih menganggukkan kepalanya dengan terpaksa. Lauren menepuk dahinya pelan saat mengingat lagi tujuan dirinya datang berkunjung.

"Besok main ke rumah Mama, yuk? Kita jalan-jalan, udah lama kita nggak kumpul-kumpul, kan?" ajak Lauren dengan bersemangat, namun, tak bertahan lama sebab Jordan yang langsung menggeleng cepat.

"Besok Jo udah ada janji buat ajak Lava ke rumah Anye, lain kali aja, ya?" Jordan jelas tak bisa membatalkan janji yang sudah ia buat lebih dulu.

Wanita itu tampak tak senang dengan penuturan Jordan. Lauren menatap malas mereka sembari melipat kedua tangannya di dada, "Kamu lebih pilih dia daripada Mama? Mama juga kangen jalan-jalan sama kamu, Jo. Waktu itu aja kamu cuma duduk sebentar terus pergi sama Papa, kapan kita bisa kumpul kayak dulu lagi?"

BAD PAPA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang