Bulan Bermadu (2)

187 44 22
                                    

"Sayang sekali ponselku, Daan,"

Sonya merinding dengan sesuatu yang terasa menggeliat di bawah pantatnya. Nafas hangat Daan yang menyapu di belakang leher, juga punggung yang menempel bercampur busa dan air hangat hanya menambah-nambahi intensitas gelegak syahwat yang mendera. Lutut-lutut bertabrakan, kulit saling menempel tidak terpisahkan. Bathtub itu luas, tapi sang pria menunjukkan kekuasaannya dengan memeluk wanitanya di atas tubuhnya sendiri, merekat erat seolah mereka tak kebagian ruang lagi di dunia ini.

Setelah tragedi tak mengenakkan taik kebo dan kecolongan, mereka memutuskan pulang untuk saling menenangkan diri di hotel mereka yang bernuansa heritage, perabot kayu dimana-mana, sprei bunga kuno macam kamar pengantin Belanda. Jika menyingkap gorden dan menatap luar jendela, yang tersedia di depan mata hanyalah jalan besar yang dikelilingi bukit-bukit nan hijau. Namun, meski begitu, hotel ini tidak membawa aura mistis atau menyimpan arwah jasad tak tenang yang suka menakut-nakuti orang, Hotel Heritage Toraja memang bukan bintang lima, tapi semua fasilitasnya patut diacungi jempol karena terawat dengan baik dan tidak meninggalkan kesan angker barang setitik.

Tangan Daan merambat mulai tidak sopan, telunjuk dan jempolnya membentuk gerakan provokatif pada pucuk dada Sonya. Cubitan, sentilan, sedikit tarikan yang terasa enak membuat Sonya melenguh. Rasanya geli, mulutnya terbuka dan matanya tertutup menikmati permainan Daan.

"Nanti aku belikan lagi," jawab Daan dengan suara parau.

"Banyak foto-fotoku yang baru selama aku disini di ponselku," Di antara erangan yang tertahan, Sonya berusaha menjawab dengan sadar.

"Banyak fotomu atau karena kau jadi tak bisa berkabar dengan kekasih gelapmu itu?"

"Kekasih gelap?"

"Ya,"

"Luhut?"

Daan tak menjawab dengan suara, ia membalik tubuh Sonya, membuat keduanya saling berhadapan tapi badan Sonya dibawanya naik ke atas lalu mencicipi bulatan yang ada di dada wanita itu. Sonya menarik rambut Daan, punggungnya melengkung menandakan bahwa ia sangat terangsang.

"Luhut bukan kekasihku, dia temanku."

"Ck. Apa bagusnya punya teman seperti itu."

Sonya menarik tubuhnya sedikit memberi jarak. Menatap Daan yang sedang tak mau membalas tatapannya. Air wajahnya datar tak berekspresi.

"Setidaknya Luhut tak pernah membuatku sakit hati dengan perbuatannya, Daan."

"Apa maksudnya?!"

Sonya terkekeh melihat muka Daan yang langsung berubah seratus delapan puluh derajat.

"Aku ragu orang sepertimu itu punya teman." jujur Sonya. Sikap Daan yang menyebalkan pasti membuat banyak orang tak betah berlama-lama dengan pria itu.

"Memang tidak punya. Teman itu cuma berlaku kalau saling menguntungkan, kalau tidak ada gunanya, buat apa."

Harusnya, manusia penuh keseriusan macam Daan itu kulit wajahnya pasti lekas dihinggapi keriput yang berlipat-lipat, atau mata yang berkantung-kantung karena ia minus hiburan dan kesenangan. Hidupnya tak seru dan tidak akan ada hal menarik yang bisa diceritakan kelak di masa tua.

"Ya, kau benar, teman memang harus saling menguntungkan. Luhut memang menguntungkan bagiku, ia baik, ceria dan selalu membuatku tertawa," Remasan tangan Daan di dadanya membuat Sonya mendesis karena ia merasakan emosi dan nafsu yang beradu di tangan besar pria itu. "Oh iya, satu lagi, Luhut juga tampan jadi aku betah memandanginya lama-lama."

Selanjutnya adalah adegan kecemburuan Daan yang membabi buta. Ia bahkan tak memberi waktu Sonya untuk bernafas. Badannya naik turun membuat air dalam bak mandi meluher kemana-mana saking kasarnya permainan keduanya. Daan ingin Sonya tak lagi menyebut-nyebut nama pria lain di percakapan mereka.

Into You, I MeltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang