29. Normalisasi

358 85 37
                                    

Banyak kebetulan yang ternyata mengelilingiku dan Albi selama ini tanpa disadari. Kami dulu pernah ikut kompetisi yang sama saat SMA-paduan suara tingkat internasional di Macau mewakili sekolah kami masing-masing.

Lalu, pernah ikut pesiar ke Karibia Timur dengan kapal yang sama sepuluh tahun lalu. Kami masih kecil waktu itu, dan harus nurut pada orangtua untuk ikut liburan keluarga. Semua itu baru kuketahui setelah melihat beberapa koleksi foto yang tersimpan rapi di album milik Albi.

Saat ini, aku sedang main ke apartemennya sebentar. Albi memasakkan pasta carbonara untuk makan malam cepat, sebelum kami manggung di resto bar yang ada di seberang apartemennya.

Setelah makan, ternyata masih ada sisa waktu tiga puluh menitan. Kami manfaatkan untuk berpelukan sambil mengobrol soal masa kecil.

"Be, dulu kamu pernah ikut Cantata Macau juga pas SMA? demi apa aku juga ikutan ini." Aku langsung antusias begitu melihat foto Albi dengan timnya, di atas panggung yang nggak asing bagiku. Kucari arsip foto lama di facebook yang membuktikan bahwa kami permah ada di satu occasion yang sama, jauh sebelum saling mengenal dan dekat seperti sekarang.

Albi tertawa senang dan nggak melepaskan pandangannya padaku. Aku lanjut menelusuri foto-foto lain dan kembali berteriak heboh. "Be, kamu pernah ikut cruise tour sama Celebrity Ascent? Aku juga."

"Ternyata kita udah jalan di garis yang sama ya dari dulu?" Albi mengelus kepalaku lalu menciumnya sekilas. Aku tersenyum dengan hati tenang entah kenapa, merasa bahwa sudah berhasil memecahkan misteri jodoh dari Tuhan?

Ponsel Albi lalu berbunyi, menampilkan nama Mama di sana. "Ya Ma? lagi di apartemen sama cewekku." Aku mengeplak tangannya saat mendengar kalimat yang diucapkan dengan begitu santai itu.

"Nggak bakal macem-macem, kami cuma mampir bentar. Ada manggung nanti habis isya'. Ya Mama sama Papa kapan ada waktu longgar, nanti aku ajak cewekku dinner bareng. Oh, masih sibuk nyiapin munas KADIN? yaudah gampang, nanti kabarin aja ya Ma. Doain kali ini langgeng mangkanya."

Aku terus menyimak obrolan Albi dan Mamanya, di akhir sempat ada yang mendebarkanku. Benar saja, saat panggilan berakhir aku langsung mengonfirmasi Albi, dan dijawab dengan anggukan.

"Be, orang tuamu aktif di Kadin? Papa Mamaku soalnya juga ikutan itu." Aku menyebutkan salah satu organisasi pengusaha di Indonesia, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

Albi mengangguk, lalu tertawa usil setelahnya. "Be, jadi ini mau langsung pertemuan keluarga aja habis ini? nikah kita? Kayaknya orangtua kita udah saling tahu deh, karena se organisasi."

"Jangan sembarangan ya. Karier kita gimana? go public pacaran aja susah, apalagi ngumumin tiba-tiba nikah." Aku mendumel, meski sebenarnya dalam hati merasa berkali lipat senang.

"Be, i love you." Albi nggak berhenti mengucapkan itu, setelah memintaku secara resmi jadi kekasihnya beberapa hari lalu. Dia menyewa Aula Simfonia Jakarta hanya untuk kami berdua, lalu memainkan lagu yang ia ciptakan untukku berjudul 'Mon amour' sebelum berlutut dan meminta hatiku. Can I be your man? Can I be your side? Can I be your everything. Kalimat manis dan romantis itu kubalas dengan anggukan dan pelukan erat.

Kini aku masih melihat binar mata yang sama, yang menatapku penuh kebahagiaan. "I know, kamu nggak berhenti ngomong gitu dari kemaren-kemaren," ucapku setengah menyembunyikan ketersipuan.

"Aku pengen kamu selalu tahu Be. I do love you."

Aku mencium pipi Albi dan mengelusnya penuh sayang. Dia berhasil menghujaniku dengan semua cinta dan kasih sayang yang selama ini aku tunggu.

***

Bila adalah orang pertama yang tahu aku dan Albi berpacaran. Selanjutnya berita itu tersebar ke circle pertemananku, lanjut jadi gosip di kalangan manajer-manajer kami. Hingga terus menyebar sebagai informasi yang harus dijaga oleh semua staff karyawan label Arseri.

Miska, Gina, Ivone, sempat mencibir status kami awalnya, tapi ujungnya mereka juga turut mendukung. Begitu pula yang terjadi di kalangan staff terdekat kami. Walau ada yang merasa kurang suka, tapi toh mereka saling bahu membahu menutupi fakta ini agar nggak tercium media ataupun fanbase.

Mereka semua melindungi privasi kami, dan mengupayakan agar kami bisa leluasa hidup selayaknya orang normal. Merasakan pahit manisnya kehidupan percintaan seperti kebanyakan orang.

"Ati-ati kalau pacaran, di apartemen emang aman dari cidukan media atau fans. Tapi nggak aman dari godaan setan." Bang Sabda menekankan pesan itu pada Albi.

"Siap Bang."

"Titah itu queen of drama, pas tahu Irzha mau nikah aja, dia galau semalaman. Jadi sabar-sabar aja ya kalau dia lagi ribet dan emosional." Bang Sabda menepuk pundak Albi dan mengarang cerita soal aku.

"Mana ada aku galau karena Irzha mau nikah! Itu spekulasi Bang Sabda sendiri! Aku ngambek waktu itu karena gagal nge job bareng Irzha, karena dia keburu rehat lama buat persiapan married," bantahku berapi-api. Bang Sabda balas mendengus kasar.

Melihat interaksiku yang jarang akur dengan manajer sendiri itu, mengundang tawa pacarku. Albi mengelus gemas kepalaku sambil menenangkanku. "Be, nggak papa. Kenapa harus malu ngefans sama Irzha. Aku juga ngefans kok, kapan-kapan kita nonton konsernya bareng ya, kalau dia udah balik manggung lagi."

"Aku nggak drama queen Be, ya kan?" Kucari kalimat pembenaran dari Albi untuk melawan pendapat Bang Sabda. 

"Iya sayang, kamu nggak drama queen kok."

Ruangan studio lantai dua arseri yang ramai orang, bagaikan milik kami berdua. Tapi selintas, dari ekor mata aku menyadari Bang Sabda bangkit membawa sekotak rokoknya keluar.

"Bang Sabda itu sayang sama kamu. Jangan lah kamu kasar gitu Be, kalau ngomong sama Bang Sab."

"Aku nggak kasar!"

"Nah, itu ngomongnya nyolot pakai nada tinggi."

Aku cuma diam, malas kalau harus bertengkar dengan pacarku hanya karena Bang Sabda.

***

Sebulan, Dua bulan, Tiga bulan, waktu berlalu cepat karena aku begitu menikmati hari-hariku yang kini diisi sosok Albi. Meski kami nggak punya terlalu banyak waktu berduaan, karena kesibukan masing-masing. Namun, setiap ada kesempatan bersama, kami selalu menghabiskannya dengan kegiatan yang berkualitas.

Belajar bareng, bukan melulu soal musik. Belakangan kami tertarik mengulik perihal saham. Aku dan Albi duduk diam memerhatikan presentasi teman Albi yang sudah pro di bidang itu setiap malam selasa di apartemen Albi.

Selain itu, kalau sedang kangen-kangennya, biasanya sepulang dari event luar kota. Kami cuma akan dinner di balkon apartemen. Setelahnya, Albi memainkan gitar dan aku menyanyi sesuka hati. Beberapa kali, musik spontanitas itu kami susun jadi lagu.

Aku sampai takut, apa yang berputar di duniaku saat ini terlampau normal. Aku menjadi terbiasa dengan hal-hal baik, yang membuatku malas bersiap untuk hal-hal sebaliknya di kemudian hari.

"Be, aku takut sama kamu yang terlalu sabar dan pengertian. Sama hubungan kita yang terlalu baik-baik saja. What if?" Aku membisikkan kalimat itu saat kami sedang berpelukan nyaman.

"Bisa nggak kamu berpikiran sederhana dan menikmati momen hari ini Be. Hidup untuk hari ini dulu aja." Ucapan lembut dari Albi, ditambah usapan tangannya di punggungku, membuaiku.

***

Nggak akan kubiarkan Sabda memenuhi hal-hal cringe yang diidamkan Titah.

Mohon maaf banget nih 🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SABDA TITAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang