selamat datang dan selamat membaca semua! semoga suka❤️
───
HAPPY READING
───
44. TITIK BALIK
•••
H-3 sebelum acara penyambutan.
Langit sore kelabu yang menciptakan sentuhan melankolis pada taman kota dengan nuansa yang hampir magis. Awan-awan bergerak lambat, seakan enggan melepas keindahan hari yang mulai pudar. Udara hangat mengalir pelan, membawa semilir angin yang menari-nari di antara daun-daun pohon, ikut merasa kesedihan yang menggantung udara.
Hari ini adalah hari terakhir sebelum Rana pindah. Menjalani hidup baru bersama keluarga kandungnya. Rana memutuskan untuk menghabiskan waktu seharian bersama Camilla dan Elvano, meskipun kesedihan menyelinap di setiap langkahnya. Hatinya terasa semakin berat seiring berjalannya waktu.
Setiap detik terasa seperti emas yang semakin habis. Setiap tawa mereka yang begitu berharga, meski di balik senyuman itu ada kesedihan yang tak terucapkan.
Mereka menyusuri jalan setapak di taman kota, seakan menikmati setiap inci dari kebersamaan yang masih tersisa. Anak-anak berlarian dengan tawa yang ceria, memecah keheningan sore yang tenang. Pasangan muda yang duduk berdampingan di bangku kayu berbicara dengan riang, tangan mereka saling menggenggam erat, berbagi kebahagiaan yang sederhana namun hangat.
Sejauh mata memandang terdengar suara ombak yang menghantam pasir, menciptakan irama yang menenangkan hati, sementara matahari yang mulai merunduk dengan cahaya keemasan. Seolah dunia berhenti sejenak, memberikan mereka ruang untuk menikmati kebahagiaan yang begitu rapuh.
Kaki Rana melangkah kecil, sesekali menendang kerikil yang tergeletak di jalan. Matanya mencuri pandang ke arah Camilla, mencoba membaca perasaan wanita itu yang sudah lama menjadi sosok ibunya. Di sisi lain, Elvano berusaha mencairkan suasana dengan candaan kecil, tapi senyumannya tidak sepenuhnya menyembunyikan beban yang sedang dia rasakan.
"Kamu tau nggak," Elvano tiba-tiba berbicara dengan suaranya yang sedikit lebih ceria dari biasanya. "Waktu pertama kali kita bawa kamu kesini, kamu nangis gara-gara nggak mau turun dari stroller," Elvano mulai bercerita tentang masa kecil gadis itu.
Rana tersenyum kecil, meski tawanya terdengar samar terhalang oleh rasa yang bergemuruh di dada. "Iya, soalnya Ayah nggak mau beliin aku balon," balas Rana sambil memutar matanya dengan pura-pura kesal.
"Jadi kamu masih ingat itu juga?" tanya Elvano tertawa, meskipun matanya memancarkan kerinduan yang tak terucapkan. "Waktu itu Bunda sampai harus beli dua balon sekaligus buat nenangin kamu."
"Balon pink sama biru, kan?" Rana menatap Camilla dan wanita itu mengangguk sambil tersenyum tipis yang terlihat menyimpan banyak kenangan.
"Iya, terus kamu pilih balon biru, tapi akhirnya nangis lagi karena terbang ke langit," tukas Camilla tertawa pelan, tapi matanya menyiratkan nostalgia yang begitu dalam. Seolah mengenang masa-masa indah yang tidak akan kembali lagi.
Elvano menunjuk sebuah kedai es krim di ujung jalan. Wajahnya kembali ceria, mengalihkan perasaan berat yang menggelayuti hati mereka. "Oke, sebelum kamu cerita tentang balon lagi, gimana kalau kita beli es krim dulu?" tanya Elvano.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SIXTH
Teen FictionKisah ini menceritakan tentang murid-murid genius yang memiliki privilege di sekolah : 1. Sadewa Bagaskara, peringkat pertama. Sang pemilik nilai sempurna. Dingin, tidak tersentuh, misterius dan jenius. Jangan meragukan IQ seorang Sadewa. Tapi, jang...