"Lily dan Shannon baru aja pergi ke kampus."
Tamara langsung senyum begitu ngelihat gue. Dia nyambut gue di ruang tamu, di depan televisi yang masih dimatikan. Gue menghela nafas selega-leganya, berusaha mengendalikan nafas gue yang udah ngos-ngosan. Gue melihat jam di handphone, yang nunjukin bahwa gue cuma butuh waktu empat menit buat lari maraton balik ke kosan.
Untungnya Tamara kelihatannya baik-baik aja.
"Mbak Mega ... mana?" tanya gue, masih ngos-ngosan.
Tamara mengedipkan kedua matanya berulang kali, lalu nunjuk ke kamar nomor 6. "Istirahat, katanya."
Mbak Mega? Istirahat di kamarnya? Di saat dia hanya berdua dengan mangsa empuk yang tak berdaya? Mencurigakan sekali.
Gue pun ngelirik kotak paket yang ada di atas meja di ruang tamu. Gue angkat buat ngecek penerima paket. Tentu aja bisa ditebak kalau itu paket Kak Shakira. Tanggal pengirimannya juga masih baru. Paket ini baru sampai di kosan barusan.
Jangan bilang ...
"Mbak Mega itu orangnya baik, ya," ucap Tamara tiba-tiba, dengan wajah terkagum-kagum.
"Baik...?" tanya gue dengan nada meragukan.
Hm, sebenarnya kalau dibilang baik sih memang iya. Dia bersedia memberikan kami bertiga kosan harga pelajar yang cukup terjangkau, menyediakan makanan untuk kami dan juga menjaga fasilitas kosan hanya untuk memastikan bahwa kami semua akan betah di kosannya. Dia juga ngasih tempat tinggal sementara buat Tamara, karena ingin 'membantu adik temen'.
Di sisi lain, Mbak Mega ini mesum setengah mampus. Nggak bisa mengendalikan diri kalau udah lihat susu terpampang di depan mata.
"Mbak Mega ngizinin Kak Indah yang nganterin paket ini buat istirahat di kamarnya, karena temannya capek," balas Tamara dengan polos. "Mbak Mega lagi temenin dia tidur di kamar."
Oh, pantas aja.
Ada Mbak Indah, rupanya.
Mbak Mega ini pasti bahagia banget ada satu makhluk kosan macam Kak Shakira. Boros banget suka foya-foya awal bulan, lalu melarat di akhir bulan dan menjadi donatur. Selain itu, foya-foya-nya Kak Shakira mengundang mangsa yang datang secara sukarela dan ikhlas (eh, atau lebih tepatnya mangsa yang memang ingin dilahap). Mungkin aja di dalam hati terdalam Mbak Mega, dia pengen semua anak kosan bisa kayak Kak Shakira.
Gue naikin alis gue. Ini Tamara sama sekali nggak curiga mengapa Mbak Indah harus ditemenin Mbak Mega buat tidur? Rasanya gue pengen banget ngasih tau kalau Mbak Mega bukan nemenin, tapi dinenenin!
Buset dah, ni anak polos banget, ngingetin gue sama Shannon oneng.
"Oh ..."
Gue cuma manggut-manggut pendek, lalu akhirnya naruh barang-barang bawaan gue di kamar, lalu jalan ke dapur buat makan siang. Gila, lari-larian dikit doang, lambungku rasanya udah mau nangis.
Namun saat gue buka tudung saji, ternyata nggak ada satupun lauk yang tersaji di atas meja. Tentu aja gue langsung kecewa berat dan berjalan balik ke ruang tamu, dimana Tamara masih berdiam diri di sana.
"Tamaraaa, ini Mbak Mega belum masak, ya?" tanya gue.
"Belum," jawab Tamara singkat.
"Mbak Indah udah istirahat dari kapan?" tanya gue.
"Dari jam sebelas."
Oh, itu berarti Mbak Mega berhasil masukin Mbak Indah ke dalam kamarnya tanpa sepengetahuan Shannon dan Lily. Gue nggak tau apa yang mereka berdua lakuin, tapi gue bisa tebak kalau mereka pasti berduaan doang di kamar.
Jadi, Tamara daritadi cuma nungguin sendirian tanpa ngelakuin apapun. Dia nggak punya HP buat menghabiskan waktu, dia mungkin juga nggak bisa nyalain smart TV dengan baik buat nyetel youtube. Mendadak, gue jadi kasihan banget sama dia.
"Kamu lapar nggak?" tanya gue.
Tamara hanya ngelihatin gue sebentar, lalu ngasih senyuman tipis. "Dikit ... tapi nggakpapa, nanti laparnya juga hilang kalau dibawa tidur. Kebetulan sekarang aku mulai ngantuk."
Baru ngejawab begitu, gue ngelihat Tamara langsung berdiri dari sofa, bersiap berjalan ke arah kamar Aira, kamar nomor 7.
Otak gue langsung jalan secepat kilat. Kamar nomor enam dan nomor tujuh hanya sebelahan, dan ada lubang buat menghubungkan AC. Kalau Mbak Mega dan Mbak Indah lagi melancarkan aksi mereka dan kedengaran suara-suara yang mencurigakan, otomatis pasti bakalan kedengaran sama Tamara.
Tidak, gue bukan sedang menjaga nama baik Mbak Mega, tapi gue ngejaga kepolosan Tamara.
"Tamara! Mau nyeblak di depan nggak?" Gue langsung menghalangi Tamara agar nggak masuk ke kamar nomor tujuh.
Tapi gara-gara gerakan gue yang tiba-tiba dan Tamara nggak sempat ngerem kakinya, tubuhnya pun nabrak tubuh gue. Untungnya gue bisa nyeimbangin tubuh gue dengan cepat dan berhasil nangkap Tamara juga biar dia nggak jatuh bebas ke lantai. Hasilnya, gue ngerasain sesuatu yang besar dan kenyal di dada gue. Susu kami bersatu, dihalang pakaian. Hangat dan terlalu lembut, gue yakin banget kalau Tamara nggak pakai bra.
Gue buru-buru ngelepasin Tamara. "Sorry!"
Tamara mengabaikan permintaan maaf gue, menatap gue dengan tatapan membinar. "Seblak?" tanyanya.
Gue mengangguk kaku. "Iya, seblak depan gang. Enak, lho."
"Mau, mau!" Tamara mengangguk dengan semangat, tapi tiba-tiba saja dia tampak lesu. "Tapi aku nggak punya uang..."
"Nggak papa, aku traktir," ucap gue, kedengaran kayak pahlawan kesiangan.
Haduh, Aruna, Aruna. Lembek banget emang sama orang. Padahal sendirinya kere, kering tak bersisa. Orang yang berhak dan pantas ngucapin dialog soal traktir-traktir begini ya cuma Shannon sama Nadya. Gue mah miskin.
Tapi ngelihat tatapan Tamara yang berbinar-binar bahagia, gue langsung ngerasa apa yang gue katakan tadi udah benar.
Dan nggak sampai sedetik, gue ngerasain kedua susu Tamara nyatu lagi sama susu gue. Kedua tangannya juga melingkar di bahu gue. Dia emang sudah beberapa kali menunjukkan kebahagiaannya dengan meluk orang. Jadi, gue mencoba untuk maklum dan nggak terlalu menikmati keadaan.
"Ya udah, kita pergi ya, tapi kamu pakai bra dong, takutnya—" Gue langsung menghentikan kata-kata gue.
Mampus, gue kan traktir Tamara biar dia nggak masuk ke kamar. Kalau dia masuk ke kamar Aira buat pakai bra dan mendengar suara 'istirahat' Mbak Mega dan Mbak Indah, bisa gawat.
"Uh ... aku bukannya gamau pakai bra, tapi ..." Tamara ngucapin dengan ragu-ragu. "Tapi semua bra-ku sudah sempit, jadi nggak aku bawa."
Oalaah! Gue pikir Tamara nggak terbiasa makai bra / terlalu santai berkeliaran di kos tanpa bra karena dia lebih nyaman tidak menggunakan bra, tapi ternyata gara-gara dia nggak punya. Gue jadi ngerasa bersalah karena udah ngomong kayak gitu dan pernah berkesimpulan begitu.
Gue pun masuk ke kamar gue, ngambil cardigan cukup tebal, memberikannya kepada Tamara. Ini cardigan yang sama seperti yang pernah gue pinjamin ke Kak Aira karena semua pakaian di lemarinya hanya ada pakaian kurang bahan.
"Sementara pakai ini dulu ya, kalau keluar. Nanti kalau jadwal kuliahku, Shannon dan Lily kosong, kita ke mall buat beli bra," ucapku.
Tamara makai cardigan yang gue kasih. Gue langsung bantuin ngancing cardigannya, biar susunya stay di dalam, nggak kemana-mana. "Terima kasih ya, Aruna."
"Nah, sekarang, yuk kita nyeblak!" ajak gue.
Senyuman Tamara mengembang lagi. Dia ngikutin gue jalan keluar dengan riang. Gue jadi ngerasa kayak bawa seorang anak kecil buat jajan, mana ni anak gampang banget ngikutnya. Tiba-tiba gue paham sama kekhawatiran Lily. Tamara kayaknya bisa dengan gampang banget diculik.
***
Bakalan upload lagi setelah semua chapter punya 1000 votes.
see you!
Chelsea
KAMU SEDANG MEMBACA
KOSAN MEGA [GXG]
Random[WARNING!] Cerita ini mengandung Girl x Girl / Lesbian / Yuri dan 18+! Bagi yang belum cukup umur, jangan baca! *** Aruna siap menghadapi masa-masanya menjadi mahasiswi baru di usianya yang ke 17. Bersama dua sahabatnya-Lily dan Shannon-dia pun men...