🦊

15 4 0
                                    

Musim panas di kota kecil tepi pantai selalu ramai dengan turis. 

Anak-anak berlarian di sepanjang jalan berbatu, toko-toko kecil menjajakan kerajinan tangan, dan aroma wafel segar bercampur dengan bau asin laut memenuhi udara. Namun bagi Seonghwa, musim panas selalu identik dengan satu hal: bekerja di kios es krim keluarganya.

Kios kecil itu, yang dicat dengan warna putih dan biru laut, berdiri di sudut dermaga. Papan bertuliskan “Sunny Scoops” tergantung di atas jendela tempat Seonghwa melayani pelanggan. Ia sudah terbiasa dengan antrian panjang, anak-anak yang berteriak meminta es krim rasa cokelat, atau pasangan muda yang memilih rasa stroberi sambil bergandengan tangan.

Namun, hari itu berbeda.

Seonghwa sedang sibuk merapikan kerucut wafer di rak ketika suara rendah dan tegas mengalihkan perhatiannya.

“Apakah kau punya rasa vanilla?”

Seonghwa mendongak, dan di depannya berdiri seorang pria dengan tubuh tegap, rambut hitam yang sedikit berantakan, dan mata tajam yang terkesan dingin. Pria itu mengenakan kaus putih polos dan celana pendek hitam, namun auranya memancarkan sesuatu yang membuat Seonghwa terpaku sesaat.

“Vanilla?” ulang Seonghwa, mencoba mengingat kembali pertanyaan pria itu.

Pria itu mengangguk. “Ya, tapi bukan yang terlalu manis. Sesuatu yang… klasik.”

Seonghwa berusaha menahan senyum. “Vanilla memang klasik.”

Pria itu tidak tertawa, hanya mengangkat alis seolah menunggu jawaban lebih lanjut.

“Ada,” Seonghwa akhirnya menjawab sambil mengambil sendok es krim. “Cone atau cup?”

“Cone.”

Seonghwa dengan cepat menyendokkan es krim ke dalam cone dan menyerahkannya. Pria itu menerima es krim tersebut, tetapi bukannya pergi seperti pelanggan lain, ia tetap berdiri di depan kios, menatap Seonghwa.

“Apakah ada masalah?” tanya Seonghwa, bingung dengan tatapan pria itu.

Pria itu menggeleng. “Hanya saja, kau terlihat seperti orang yang lebih cocok di galeri seni daripada di kios es krim.”

Seonghwa terkejut mendengar komentar itu. “Maaf, apa?”

“Matamu,” kata pria itu singkat, kemudian menjilat es krimnya. “Kau punya tatapan seperti seseorang yang menyukai hal-hal indah.”

Seonghwa merasa wajahnya memanas. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa. “Itu… um, terima kasih?”

“Jongho,” kata pria itu tiba-tiba, menyebutkan namanya seolah memperkenalkan diri di tengah percakapan yang sama sekali tidak logis.

“Aku… Seonghwa,” jawabnya ragu.

Jongho mengangguk kecil, seolah menghafal nama itu, lalu berjalan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

---

Jongho mulai datang setiap hari.

Kadang ia membeli es krim rasa cokelat, kadang mint choco, tetapi lebih sering vanilla. Ia tidak pernah tinggal lama, hanya mengucapkan beberapa komentar acak yang membuat Seonghwa bingung sebelum pergi lagi.

“Kenapa kau terus datang?” tanya Seonghwa suatu sore, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Jongho, yang baru saja membeli es krim rasa pistachio, tersenyum kecil. “Karena aku penasaran.”

“Penasaran dengan apa?”

“Kenapa seseorang yang terlihat seperti lukisan renaisans memilih menghabiskan waktu di kios es krim.”

Seonghwa mendesah, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di wajahnya. “Kios ini milik keluargaku. Tentu saja aku di sini.”

“Bukan itu yang kumaksud,” balas Jongho, matanya memperhatikan Seonghwa dengan seksama. “Kau punya mimpi lain, bukan?”

Kata-kata itu membuat Seonghwa terdiam. Ia tidak tahu bagaimana pria ini bisa melihat sesuatu yang bahkan teman-temannya tidak pernah tanyakan.

“Aku…” Seonghwa memulai, tetapi ragu untuk melanjutkan.

“Jangan khawatir,” potong Jongho sambil mengangkat tangannya. “Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku hanya penasaran.”

---

Hari-hari berlalu, dan interaksi mereka semakin panjang.

Jongho tidak lagi hanya membeli es krim, tetapi juga mulai duduk di bangku dekat kios, kadang membantu Seonghwa melayani pelanggan saat kios sedang sibuk.

“Kenapa kau membantu?” tanya Seonghwa suatu hari, merasa aneh dengan kebaikan pria itu.

“Karena aku tidak punya hal lain yang lebih baik untuk dilakukan,” jawab Jongho dengan nada santai. “Dan, aku suka melihatmu tersenyum.”

Seonghwa merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mencoba mengabaikan komentar itu, tetapi Jongho selalu tahu cara membuatnya salah tingkah.

Ketika kios sudah tutup dan kota diterangi cahaya lampu jalan, Jongho duduk di dermaga bersama Seonghwa. Mereka menikmati angin laut yang lembut sambil membiarkan keheningan berbicara di antara mereka.

“Apa mimpimu, Seonghwa?” tanya Jongho tiba-tiba, suaranya lembut namun tegas.

Seonghwa terdiam, memandang laut yang gelap. “Aku ingin membuka kafe kecil,” katanya akhirnya. “Tempat di mana orang bisa menikmati makanan manis sambil membaca buku atau berbicara tentang hal-hal sederhana.”

“Itu terdengar indah,” kata Jongho dengan senyuman kecil. “Kenapa kau tidak mencobanya?”

Seonghwa tertawa kecil, tetapi ada nada pahit di suaranya. “Membuka kafe butuh uang. Dan aku punya tanggung jawab di sini.”

Jongho menatapnya, matanya menyiratkan sesuatu yang dalam. “Kau tidak perlu meninggalkan tanggung jawabmu untuk mengejar mimpimu. Kadang, kau hanya perlu keberanian untuk memulainya.”

Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Seonghwa merenung lebih lama daripada yang seharusnya.

---

Musim panas mulai berlalu, tetapi kehadiran Jongho tidak pernah berubah.

Ia menjadi bagian dari rutinitas Seonghwa, seseorang yang membuat hari-hari di kios es krim terasa lebih ringan.

Dan suatu hari, ketika Jongho datang dengan membawa kotak kecil di tangannya, Seonghwa tidak bisa menahan rasa penasaran.

“Apa itu?” tanyanya.

Jongho membuka kotak itu, memperlihatkan kertas kecil yang berisi desain logo. “Untuk kafe impianmu,” katanya sambil tersenyum.

Seonghwa tertegun, matanya berkaca-kaca. “Kenapa kau melakukan ini?”

“Karena aku percaya padamu,” jawab Jongho tanpa ragu. “Dan karena aku ingin menjadi bagian dari sesuatu yang indah.”

Seonghwa merasa hatinya hangat, lebih hangat daripada teriknya matahari musim panas. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mimpinya bukanlah sesuatu yang mustahil.

Dengan es krim vanilla di tangan mereka, Seonghwa menyadari bahwa Jongho adalah orang yang mampu membuka pintu ke dunia yang selama ini ia takuti untuk masuki—dunia di mana mimpinya bisa menjadi kenyataan.

Exquisite Episode • All × SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang