Kota Illumia adalah rumah bagi banyak hal: gedung-gedung pencakar langit, pasar malam yang ramai, dan, tentu saja, para pahlawan super yang menjadi pelindungnya.
Namun bagi Seonghwa, kehidupan sehari-hari di kota ini hanyalah rutinitas biasa. Ia bekerja sebagai desainer grafis lepas, menghabiskan waktu di apartemen kecilnya sambil menonton drama atau mencoba resep-resep masakan yang sering berakhir dengan bencana.
Ia tidak pernah berpikir hidupnya akan menjadi istimewa—sampai suatu malam, ketika suara ledakan mengguncang jendela apartemennya.
Seonghwa mengintip dari balik tirai jendelanya. Di jalan di bawah, pertarungan besar sedang terjadi. Sebuah van lapis baja melaju dengan kecepatan tinggi, diikuti oleh seorang pria tinggi dengan jubah hitam yang berkibar di udara. Dengan hanya satu lompatan, pria itu mendarat di depan van, menghentikannya seketika.
“Titan!” suara orang-orang di jalan bergemuruh, menyebut nama pahlawan super yang terkenal dengan kekuatannya yang luar biasa.
Seonghwa mengerutkan dahi. Ia pernah mendengar tentang Titan di berita—pahlawan misterius yang muncul entah dari mana setahun lalu. Tetapi melihatnya langsung seperti ini adalah pengalaman yang berbeda.
Titan memukul sisi van, membuat pintu belakang terbuka, dan menangkap para penjahat yang berusaha kabur. Tetapi ketika salah satu dari mereka menembakkan senjata laser, sesuatu yang aneh terjadi. Seonghwa menyaksikan dengan mata terbuka lebar saat Titan terhuyung dan terjatuh, seolah-olah terkena pukulan berat.
Pria setinggi gunung itu terjatuh di depan toko roti di bawah apartemen Seonghwa.
“Ya Tuhan,” gumam Seonghwa, panik. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuruni tangga dan keluar ke jalan, berusaha menerobos kerumunan orang yang mulai berkumpul.
Titan mencoba berdiri, tetapi gagal. Seonghwa mendekatinya, hatinya berdebar-debar. “Kau… butuh bantuan?” tanyanya, suaranya hampir tenggelam oleh keramaian.
Pria itu mengangkat wajahnya, dan Seonghwa terkejut. Di balik topengnya, ia melihat mata cokelat hangat yang terlihat lebih manusiawi daripada yang ia bayangkan.
“Tidak apa-apa,” kata Titan, meskipun wajahnya pucat.
“Tidak, kau tidak terlihat baik-baik saja,” balas Seonghwa dengan nada tegas yang mengejutkannya sendiri. “Ikut aku. Kau butuh tempat berlindung.”
Seonghwa hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi beberapa menit kemudian. Titan—seorang pahlawan super terkenal—sekarang duduk di sofanya, memegang kantong es di kepalanya.
“Jadi… apa yang sebenarnya terjadi di sana?” tanya Seonghwa, mencoba mengisi keheningan canggung.
Titan, yang sekarang melepaskan topengnya, mengungkapkan wajah tampan yang tidak ia duga. “Mereka menggunakan senjata energi yang bisa menembus perisai pelindungku,” jawabnya sambil menghela napas. “Aku tidak menyangka itu akan membuatku kehilangan keseimbangan.”
Seonghwa mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya mengerti. Ia tidak bisa berhenti memperhatikan bagaimana pria itu, meskipun terlihat kuat, memiliki sisi yang terlihat rapuh sekarang.
“Namamu siapa?” Seonghwa akhirnya bertanya.
Pria itu tersenyum kecil. “Mingi. Tapi kau bisa tetap memanggilku Titan kalau lebih nyaman.”
“Baiklah, Mingi,” kata Seonghwa dengan senyum kecil. “Aku Seonghwa. Dan aku tidak akan menghakimimu kalau kau makan terlalu banyak ramen instan. Itu yang ada sekarang di dapurku.”
Mingi tertawa, suara dalamnya menggema di ruangan kecil itu. “Ramen terdengar sempurna. Terima kasih.”
Beberapa minggu berikutnya adalah pengalaman paling aneh dalam hidup Seonghwa. Setelah malam itu, Mingi sering muncul di apartemennya—kadang-kadang dengan baju pahlawannya, kadang dengan pakaian biasa. Ia datang untuk bersembunyi setelah misi berat atau hanya untuk istirahat dari sorotan publik.
“Kenapa kau selalu datang ke sini?” tanya Seonghwa suatu malam saat mereka duduk bersama di sofa, menonton film lama.
“Karena kau tidak memperlakukanku seperti Titan,” jawab Mingi dengan jujur. “Di sini, aku bisa menjadi diriku sendiri.”
Jawaban itu membuat hati Seonghwa bergetar, meskipun ia tidak tahu bagaimana harus meresponsnya.
Suatu malam, ketika Seonghwa sedang merapikan meja makan, Mingi berdiri di dapur, mengenakan kaus sederhana dan celana panjang yang tidak mencerminkan statusnya sebagai pahlawan.
“Kau tahu,” kata Mingi tiba-tiba, “kau adalah satu-satunya orang yang tidak pernah bertanya tentang kekuatanku.”
Seonghwa menatapnya dari meja, terkejut. “Aku pikir itu bukan urusanku.”
Mingi tersenyum, tetapi ada kesedihan di balik matanya. “Semua orang selalu ingin tahu. Mereka ingin tahu seberapa kuat aku, seberapa cepat aku, atau seberapa banyak aku bisa melindungi mereka. Tapi tidak ada yang pernah bertanya apa yang aku inginkan.”
“Apa yang kau inginkan?” Seonghwa bertanya pelan.
Mingi menatapnya dalam-dalam, dan untuk sesaat, ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya. “Aku ingin hidupku terasa nyata. Dan aku rasa aku menemukannya di sini, denganmu.”
Seonghwa merasa wajahnya memanas, tetapi sebelum ia bisa merespons, alarm ponsel Mingi berbunyi.
“Ada masalah di pusat kota,” kata Mingi sambil berdiri.
Seonghwa mengangguk, menahan rasa kecewanya. “Hati-hati, ya.”
Malam itu, Seonghwa menonton berita tentang Titan yang berhasil menghentikan penjahat besar lainnya. Tetapi ketika ia melihat kamera menangkap sekilas Mingi yang lelah tetapi tersenyum, ia tidak bisa menahan rasa bangga yang muncul di dadanya.
Ia menyadari bahwa Mingi tidak hanya melindungi kota, tetapi juga telah menjadi bagian dari dunianya sendiri—dunia kecil yang mulai ia hargai lebih dari apa pun.
Dan ketika Mingi mengetuk pintu apartemennya beberapa jam kemudian, dengan senyum lelah tetapi hangat, Seonghwa tahu bahwa ia akan selalu ada di sana untuk menyambutnya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exquisite Episode • All × Seonghwa
Hayran Kurgubottom!Seonghwa / Seonghwa centric ©2023, yongoroku456