Jejak di Tengah Kegelapan

1 1 0
                                    


Setelah situasi di markas aman sedikit mereda, Daniel memulai rapat taktis dengan tim intinya. Layar besar di tengah ruangan menampilkan jaringan luas Arkana, termasuk beberapa fasilitas penting yang menjadi target utama mereka. Semua orang mendengarkan dengan saksama, termasuk Zen, Zea, Nathan, Raka, dan Jeno, yang meskipun baru bergabung, tidak ingin terlihat tidak berguna.

"Operasi kita berikutnya akan fokus pada markas pusat mereka di Singapura," kata Daniel, menunjuk ke salah satu titik merah di layar. "Markas ini adalah pusat logistik mereka. Jika kita menghancurkannya, kita bisa melemahkan operasi mereka di seluruh Asia Tenggara."

Nathan mengangkat tangan, ekspresinya serius. "Tapi kita membutuhkan lebih dari sekadar keberanian untuk menyerang fasilitas sebesar itu. Mereka pasti memiliki sistem keamanan tingkat tinggi."

Daniel mengangguk. "Benar. Karena itu, kita membutuhkan strategi yang lebih matang. Kita tidak bisa hanya mengandalkan serangan frontal."

"Jadi, apa rencananya?" tanya Zea, mencoba memahami skala ancaman yang mereka hadapi.

Daniel mengetik sesuatu di keyboard, lalu layar besar menampilkan blueprint markas Arkana. "Tim utama akan menyusup melalui jalur air di sebelah utara. Itu adalah titik terlemah mereka, berdasarkan data yang Nathan ambil tadi. Sementara itu, tim kedua akan membuat pengalihan di sisi selatan untuk menarik perhatian mereka."

Zen melipat tangan di dada, memikirkan rencana itu. "Siapa yang akan menjadi tim utama?"

Daniel menatapnya langsung. "Aku, kamu, Zea, dan Nathan. Raka dan Jeno akan bergabung dengan tim pengalih untuk memberi kami waktu."

Raka dan Jeno saling melirik. Wajah mereka sempat tegang, tapi Jeno, seperti biasa, mencoba membuat suasana lebih santai. "Hei, jadi kami jadi umpan, ya? Kedengarannya seru."

Raka mengangguk dengan senyum tipis, meski ada kekhawatiran di matanya. "Selama itu membantu kalian, kami akan melakukannya."

Zea, yang tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya, berkata dengan nada tegas, "Kalian harus berhati-hati. Jangan terlalu mengambil risiko."

Jeno melambaikan tangan dengan santai. "Tenang saja, Zea. Aku terlalu tampan untuk mati."

Meskipun Zea ingin marah, dia tidak bisa menahan senyum tipis mendengar candaan Jeno. Namun, di dalam hatinya, ia bertekad untuk melindungi semua orang, apa pun yang terjadi.

Malam itu, semua orang bersiap dengan cara masing-masing. Zen duduk sendirian di sudut ruangan, membersihkan senjatanya sambil memikirkan apa yang akan terjadi. Zea mendekatinya perlahan, membawa dua cangkir kopi.

"Kau kelihatan tegang," kata Zea, menyerahkan salah satu cangkir kepada Zen.

Zen mengangkat bahu, menyesap kopinya perlahan. "Ini bukan pertama kalinya aku berada dalam situasi seperti ini. Tapi... entah kenapa, kali ini terasa berbeda."

Zea duduk di sebelahnya, menatapnya dengan serius. "Mungkin karena kau tahu orang-orang di sekitarmu adalah mereka yang kau pedulikan. Tidak mudah bertanggung jawab atas nyawa mereka."

Zen tersenyum tipis. "Kau selalu tahu apa yang harus dikatakan, ya?"

Zea tertawa kecil. "Seseorang harus membuatmu tetap waras."

Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan malam. Namun, Zea akhirnya memecahkan suasana dengan pertanyaan yang telah mengganggunya sejak awal.

"Zen, menurutmu kita benar-benar bisa menang melawan Arkana?"

Zen menatapnya lama, lalu menjawab dengan suara pelan namun penuh keyakinan. "Aku tidak tahu. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan menyerah, selama kita masih punya harapan."

zea milik si berandalan[THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang