25. Just One Day

147 16 2
                                    

Langit Seoul pagi itu tampak lebih cerah dari biasanya. Sowon tidak pernah menyangka bahwa hari yang dimulai dengan rutinitas biasa akan berubah menjadi salah satu hari paling berkesan dalam hidupnya. Telepon dari Jeonghan datang tiba-tiba—tanpa basa-basi, tanpa peringatan. “Aku akan menjemputmu dalam lima belas menit,” katanya dengan suara tenang yang sudah biasa Sowon dengar. Ia tidak bertanya apa pun. Ada rasa senang dan gugup yang bercampur di dadanya, membuatnya hanya sempat mengenakan gaun santai yang longgar dan sepatu sandal seadanya sebelum Jeonghan benar-benar tiba di depan pintu.

Di dalam mobil, Jeonghan tidak banyak bicara, seperti biasa. Sowon, di sisi lain, memandangi jendela, berusaha menebak tujuan mereka. Jalanan yang mereka tempuh perlahan berubah; gedung-gedung tinggi berganti menjadi rumah-rumah kecil dengan pekarangan sederhana, dan suara kota digantikan oleh desiran angin. Ketika aroma asin laut mulai tercium, Sowon tidak bisa menahan senyumnya.

“Pantai?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri. Jeonghan, yang masih fokus pada kemudi, meliriknya sekilas. “Kau pernah bilang kau menyukainya,” ujarnya sederhana.

Sowon tertawa kecil. “Itu dulu sekali. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ke pantai. Tapi… kenapa sekarang?”

Jeonghan tidak menjawab langsung. Hanya ada senyum tipis yang terlihat di wajahnya, samar dan sulit ditebak. “Kadang, kita perlu melakukan sesuatu tanpa alasan.”

Ketika mereka sampai, pantai tampak sepi. Angin laut bertiup lembut, membawa aroma asin yang menyegarkan. Pasir putih terbentang luas, dan ombak kecil menggulung pelan di tepi pantai. Sowon melepas sandalnya dan berjalan ke arah air, membiarkan kakinya tenggelam di pasir yang hangat. Jeonghan mengikutinya dari belakang, langkahnya lebih lambat, matanya memperhatikan setiap gerakan Sowon.

“Kau tahu,” kata Sowon sambil memutar tubuh, “ini seperti mimpi. Aku merasa seperti kembali ke masa kecil.”

Jeonghan menyelipkan tangan ke saku celananya, matanya yang tajam tapi tenang menatap Sowon. “Mungkin kita perlu lebih sering bermimpi,” katanya, nadanya lebih pelan dari biasanya.

Sowon tertawa lagi, tawa yang ceria dan ringan, membuat Jeonghan merasa sedikit lebih tenang. Ia memandang Sowon berlari kecil di sepanjang pantai, memungut kerang, menertawakan dirinya sendiri saat ombak menyentuh kakinya. Ada cahaya di wajah Sowon yang sulit diabaikan.

“Apa yang kau lakukan di sana, hanya berdiri seperti patung?” seru Sowon sambil melambai ke arahnya. “Ayo, Jeonghan. Kau harus mencuci kakimu di air, setidaknya.”

Jeonghan berjalan mendekat, mengangkat sedikit ujung celananya agar tidak basah. Ia berdiri di tepi air, membiarkan ombak menyentuh kakinya. Sowon, yang berdiri di sebelahnya, menatap ke arah cakrawala.

“Menurutmu,” katanya tiba-tiba, “apa yang akan anak kita pikirkan tentang tempat ini? Apakah dia akan menyukainya?”

Jeonghan menoleh padanya, melihat Sowon dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia ingin berkata bahwa anak itu pasti akan mencintai laut seperti ibunya, tetapi ada sesuatu yang menghentikannya. Sebagai gantinya, ia hanya berkata, “Aku yakin dia akan sangat bersemangat.”

Sowon tersenyum, menggenggam tangan Jeonghan tanpa ragu. “Aku ingin dia tumbuh dengan banyak kebahagiaan. Tidak peduli seberapa keras hidup, aku ingin dia tahu bahwa dia selalu punya tempat untuk kembali. Tempat yang aman.”

Jeonghan diam. Suara ombak dan angin mengisi keheningan di antara mereka. Sowon tidak mempermasalahkan itu. Ia merasa cukup hanya dengan keberadaan Jeonghan di sisinya.

Hari itu mereka menghabiskan waktu tanpa memikirkan apa pun. Mereka berjalan jauh menyusuri pantai, berbagi cerita kecil yang terkadang diiringi tawa Sowon yang jernih. Sowon berbicara tentang mimpi-mimpinya: rumah kecil di dekat laut, halaman yang dipenuhi bunga liar, suara anak-anak bermain di pasir. Jeonghan mendengarkan dengan tenang, terkadang menyisipkan komentar pendek yang membuat Sowon tertawa.

The Heirs : Quiet Flames [Jeongcheol]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang