"Perasaan bersalah adalah sebuah bentuk peringatan keras yang bisa diberikan tubuh kepada dirinya sendiri. Sebuah raga akan selalu jujur, tak peduli apa yang sedang dibela, tak peduli apa yang sedang diperjuangkan, perasaan itu akan tetap mendarah. Menusuk tajam hati manusia yang keras, berusaha menyadarkan mereka akan kesalahan fatal yang sedang dibuat, yang mungkin sampai fatalnya, akan menjadi tidak termaafkan."
Senandung Semu
10. Perasaan yang Mendarah
Sudah setengah perjalanan. Bharata memutuskan untuk membawa mobilnya sendiri, tanpa Kapten Theo atau supir pribadi yang biasa menemani pria itu. Bukan tanpa pertimbangan, Bharata sempat menanyakan pendapat Harum akan akan rencananya itu, namun Harum mengerti benar bahwa Bharata pasti telah memutuskan rencananya sendiri dengan matang dan penuh pertimbangan. Jadi ia menyetujuinya tanpa banyak bertanya, memberikan pria itu kepercayaan penuh.
Juga, bagi Harum ini cukup menguntungkan, mengingat akhir-akhir ini ia tidak cukup sering menemui Bharata sebab jam lembur pria itu yang tak kunjung habis, berduaan saja dengan suaminya selama perjalanan terdengar cukup menyenangkan. Ia bisa menagih quality time mereka yang sering sekali tertunda selama beberapa minggu ke belakang ini.
Melirik ke arah Bharata yang masih fokus menyetir, Harum mengamati pria itu dalam diam. Penampilan Bharata yang sekarang, tampak lebih manusiawi baginya. Jauh berbeda dari pakaian dinas sehari-hari yang terkesan kaku dan formal, kaus pendek berkerah berwarna green army dengan logo olahraga kuda itu bak memperhalus aura otoriter yang kerap mendominasi suaminya itu. Bharata mengenakan celana kain berwarna cream dengan sabuk di pinggang. Tak lupa, potongan buzz cut yang biasanya tertutupi topi itu kini, terlihat begitu jelas, memperjelas tulang wajah Bharata yang tegas.
Mengerutkan keningnya sendiri, Harum menatap heran potongan rambut yang menurutnya agak berbeda dari biasanya itu. Terlalu pendek. Bahkan kalau seandainya dicukur sedikit lagi, Harum bisa tertawa seharian membayangkan kepala Bharata yang akan terlihat semakin terlihat botak.
Tapi bukankah hampir semua anggota militer seperti itu? Rambut mereka tidak pernah dibiarkan panjang melebihi telinga.
"Pusing?" Bharata yang masih menatap lurus ke depan, tiba-tiba saja bertanya.
Menggeleng pelan, Harum mengelak "Eh? ndak kok Mas, kenapa?"
"Kamu ngeliatin Saya sedari tadi. Kenapa? Pusing? mau berhenti sebentar di rest area?" Pria itu menawarkan.
Tersenyum kecil, Harum menggeleng pelan, "Aku ngeliatin rambut Mas Bhara, lucu." Lanjutnya.
"Lucu? Bagian mana yang lucu? Ini potongan saya yang biasanya." Ujarnya kala melepas satu tangannya dari setir sambil mengusap-usap rambut bagian atas.
"Enggak Mas, ini bukan yang biasanya. Sebelumnya rambut Mas Bhara ndak pernah sependek ini. Bagian belakangnya juga masih ada yang panjang, ngga rapih. Kemarin siapa sih yang nyukur?" Harum sudah tidak bisa menahan tawanya lagi, menatap geli ke arah Bharata yang masih fokus menyetir.
"Ck! orang kantor yang biasa potong rambut di pangkalan kebetulan lagi cuti, jadi saya suruh Kapten Theo cepat-cepat cari appointment di tempat lain. Saya tidak mengira kalau hasilnya bisa keliatan sejelek ini,"
Mengangguk pelan, Harum mengiyakan.
"Udah ndak apa-apa, nanti aku bantu benerin kalau udah sampai rumah ya," ujarnya sembari mengelus pelan lengan atas Bharata, menenangkan.
"Masih lama banget kah Mas perjalanannya?"
Melirik plang petunjuk yang memisahkan beberapa jalur di dalam tol itu, Bharata menggeleng singkat, "Kurang lebih empat jam lagi," Ujarnya sembari menyempatkan diri untuk menoleh kepada Harum sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Semu
RomancePertunangannya dibatalkan. Harum Cendani menerima informasi itu langsung dari kakaknya sendiri pagi tadi. Alasannya sederhana. Bapak perdana menteri telah meminta Kolonel Karna, mantan tunangan Harum itu untuk menikahi putri tunggalnya. Karena terl...