SEORANG ANAK LELAKI YANG TAK PERNAH TERSENYUM

200 58 18
                                    

Setelah beberapa waktu, aku melihat anak itu lagi. Kemarin dia berjanji untuk kembali dengan jawabannya, dan sesuai dengan kata-katanya, dia ada di sini sekarang. Dia berdiri di depanku, masih terlihat ragu, tapi lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

"Aku sudah memikirkan tawaranmu," katanya, suaranya tenang namun lembut. "Jika tawaran itu masih berlaku, aku ingin bekerja untukmu."

Ito, yang berdiri tak jauh, menghela napas frustrasi. "Nona, Anda tidak seharusnya mempercayai pencuri," gumamnya.

Aku mengabaikannya dan menoleh ke arah anak itu. "Aku menghargai kejujuranmu, Lucas. Mari kita lupakan masa lalu. Jika kau bekerja keras, aku yakin ini akan menjadi pengaturan yang baik untuk kita berdua."

Ella, yang berdiri di samping, terlihat senang. "Ide yang bagus, Nona," katanya. "Rumah ini terlalu besar untuk Anda kelola sendiri, dan memiliki seseorang yang tinggal di sini akan membuat saya lebih tenang."

Lucas mengangguk, melepas topinya. Rambut hitam berantakannya jatuh ke wajahnya, tapi kali ini dia terlihat lebih bersih. Pakaian yang dikenakannya masih lusuh, dengan banyak tambalan di sana-sini. Dia berusaha tampil rapi, tapi penampilannya menunjukkan perjuangan hidupnya.

"Baiklah," kataku sambil memandanginya. "Apa kau siap untuk mulai bekerja?"

"Aku siap," jawabnya. "Aku akan membantu dan bekerja untukmu, Nona," katanya dengan sedikit ragu.

"Maylily Valarie," jawabku. "Kau bisa memanggilku May."

Ibuku memberiku nama itu bahkan sebelum aku lahir. Dia mencintai bunga lily of the valley yang tumbuh di taman lama kami. Taman itu, seperti dirinya, sekarang hanya ada di ingatanku.

"Nona May," kata anak itu pelan, seolah sedang menguji nama itu.

Aku memperhatikan sesuatu tentangnya saat itu—Lucas tidak pernah tersenyum. Tidak sekalipun. Ada keseriusan yang tenang dalam dirinya, membuatku bertanya-tanya apa yang dibutuhkan untuk mengubah itu.

"Baiklah," kataku. "Kau akan bekerja sebagai asistenku. Itu berarti membantu pekerjaanku, menemaniku, dan jika perlu, melindungiku. Aku akan membayarmu dengan baik, dan... maaf kalau ini kasar, tapi aku rasa kau hidup di jalanan, benar?"

Anak itu mendengarkan dengan hati-hati sebelum menjawab pertanyaanku yang blak-blakan.

"Benar, Nona. Aku tidak punya rumah lagi. Aku meninggalkan panti asuhan karena tidak tahan di sana. Tapi aku bukan pengemis. Itulah sebabnya aku mulai mencuri bunga-bungamu."

Aku mengangguk. "Baiklah. Aku tak akan bertanya lebih jauh. Kau bisa pindah hari ini. Tugas pertamamu adalah membiarkan Ella mendandanimu dengan pantas. Aku ingin asistenku tampil rapi."

Lucas berkedip, memandang pakaiannya dengan sedikit malu. "Aku mengerti. Terima kasih atas kesempatan ini, Nona."

Mrs. Ella melangkah maju, mengambil alih. "Ayo, anak muda. Kita bersihkan dirimu."

Sebelum Lucas bisa protes, dia membawanya pergi, meninggalkanku untuk kembali pada sketsaku.

. . .

Ketika Lucas kembali malam itu, aku mengangkat pandanganku dari meja dan tersenyum.

"Oh? Lihat dirimu. Tampan sekali," kataku sambil memperhatikan penampilannya yang baru.

Dia berdiri di sana dengan kemeja putih bersih dan celana hitam. Meski rambutnya masih berantakan alami, kini terlihat seperti gaya yang disengaja, seolah itu memang cocok dengannya. Transformasinya sederhana tapi mengesankan.

"Terima kasih, Nona May," katanya pelan, pipinya memerah.

Aku mengangguk. "Kau akan terbiasa. Mulai sekarang, kau mewakiliku, jadi penting untuk tampil pantas."

Lucas mengangguk, masih malu-malu tapi bersyukur. Dalam beberapa minggu berikutnya, aku mengajarinya segala hal yang perlu dia tahu. Dia belajar dengan cepat dan bekerja lebih keras daripada siapa pun yang pernah kukenal. Perlahan, dia mulai terasa seperti bagian dari mansion ini, seperti dia memang seharusnya berada di sini.

Dua tahun berlalu. Lucas genap berusia dua puluh satu, dan dia telah tumbuh menjadi pemuda yang cekatan. Dia bukan hanya asistenku saja—dia adalah seseorang yang sepenuhnya kupercayai. Bahkan, dia sering membantuku dengan desain-desainku, memberikan saran yang sering menjadi karya paling populerku.

Namun, seberapa pun Lucas berkembang, bayangan Malaikat Kematian tak pernah meninggalkannya. Aku sering melihatnya, berdiri di belakang Lucas seperti hantu yang diam, selalu mengawasi. Malaikat itu tak pernah bicara kecuali aku yang memulai percakapan, tapi kehadirannya adalah pengingat bahwa hidup Lucas begitu rapuh.

Aku sering bertanya-tanya tentang Malaikat Kematian yang selalu mengikutinya. Kenapa ia belum mengambil nyawanya? Dan akhirnya, aku tak bisa berpura-pura lagi.

Suatu malam, dua tahun lalu, saat Lucas sedang tidur, aku memutuskan untuk langsung menghadapi Malaikat Kematian.

"Kenapa kau mengikutinya?" tanyaku.

Malaikat itu, dengan topeng dan jubah gelapnya, tertawa kecil.

"Aku lihat kau benar-benar bisa melihatku, gadis kecil. Menarik sekali. Aku penasaran apa maksud Tuhan memberimu penglihatan ini."

"Itu bukan pertanyaan yang kutanyakan," jawabku tegas.

"Langsung ke intinya, ya? Baiklah. Anak itu seharusnya tidak berada di sini. Dia seharusnya mati tak lama setelah ibunya. Hidupnya sekarang adalah waktu pinjaman, hasil dari doa terakhir ibunya sebelum meninggal. Dia memohon kepada Tuhan agar anaknya diberi kesempatan untuk hidup lebih lama, meskipun hanya sebentar. Maka di sinilah aku, terikat padanya sampai doanya memudar. Tak lama lagi, hanya beberapa tahun lagi, paling lama. Kecuali..."

Kata-kata Malaikat itu menggantung di udara, dan aku benci mengakui bahwa aku merasa lega mendapat penjelasan. Anak itu kehilangan orang tuanya, dan doa terakhir ibunya memberinya waktu tambahan. Ini adalah kisah yang manis tapi pahit. Namun, aku tak bisa berhenti memikirkan kata terakhir Malaikat itu.

"Kecuali apa?" tanyaku.

"Tidak ada! Aku hanya berharap aku bisa bebas darinya. Aku membenci anak ini dan beban yang ia wakili. Tapi aku tak bisa menentang rencana Tuhan untuknya," kata Malaikat itu dengan tawa dingin.

Sebelum aku bisa menjawab, Lucas bergerak dalam tidurnya. Malaikat itu menghilang, meninggalkanku sendirian dengan pikiranku.

Meski dua tahun telah berlalu sejak malam itu, aku sempat berpikir bahwa Lucas tidak akan bertahan, tapi dia masih di sini, masih hidup dan bernapas.

Rasanya seperti kehancuran selalu mengintainya, namun keajaiban dan keberuntungan selalu mendampinginya. Aku sering bertanya-tanya mana yang akan menang pada akhirnya—takdirnya atau keberuntungannya. Sepertinya hanya waktu yang bisa menjawab.

———

Author's Note:
Sedikit penjelasan, sebenarnya cerita ini terinspirasi dari mimpi saya!
Apakah plotnya menarik?
Tapi ini baru chapter 2, jadi sepertinya belum banyak yang bisa dikatakan ya,
tolong nantikan chapter-chapter berikutnya!

In the Footsteps of Time: May the Flower BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang