Naura duduk di depan meja kerjanya, mencoba menumpahkan ide-ide ke layar laptop. Namun, pikirannya terus melayang ke pertemuan tak terduga dengan Sakha di toko buku dua hari lalu. Dia mendesah panjang, menyandarkan punggung ke kursi sambil memijat pelipisnya.
Sakha. Nama itu kini berputar-putar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti diputar ulang. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba mengabaikan perasaan yang membuncah, bayangan tatapan Sakha—tatapan yang dulu ia cintai dan kini penuh tanya—terus menghantuinya.
***
Sementara itu, di tempat lain, Sakha menatap kosong ke bola yang ada di kakinya. Stadion tempat ia biasa berlatih terasa begitu hampa meski penuh suara rekan-rekannya. Pertemuan dengan Naura telah mengguncang konsentrasinya, membawa kembali semua kenangan yang ia pikir telah ia kubur dalam-dalam.
"Hey, Sakha, fokus!" teriak pelatihnya dari sisi lapangan, memaksanya keluar dari lamunannya.
Sakha mengangguk, mencoba fokus kembali. Namun, hatinya terusik. Pertanyaan yang ia tahan selama ini kembali mengusik. Apa aku sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki semuanya?
****
Hari-hari berlalu, tetapi emosi yang terpendam tidak juga mereda. Naura mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Novel barunya hampir selesai, tetapi setiap kali ia membaca ulang tulisannya, ia merasa ada sesuatu yang kurang—sebuah kejujuran yang enggan ia tuliskan.
"Naura, kau melamun lagi?" suara Mira, sahabat sekaligus editornya, memecah keheningan.
Naura tersentak, menutup laptopnya dengan cepat.
"Tidak, aku hanya... mencoba mencari ide untuk bagian terakhir."
Mira memicingkan mata, lalu duduk di kursi di depan Naura.
"Kau belum pernah seperti ini sebelumnya. Ada apa?"
Naura ragu sejenak sebelum akhirnya menghela napas. "Aku bertemu Sakha lagi."
"Benarkah?" Mira mengangkat alis, ekspresinya berubah serius. "Dan bagaimana rasanya?"
"Berantakan," jawab Naura jujur.
"Aku pikir aku sudah melupakan semuanya. Tapi melihat dia lagi... rasanya seperti membuka luka lama yang belum benar-benar sembuh."
Mira tersenyum tipis. "Mungkin karena luka itu belum pernah benar-benar kau sembuh. Kau hanya menutupinya dengan pekerjaan, novel, dan segalanya. Tapi perasaan tidak bisa dihapus begitu saja, Naura."
Naura terdiam. Kata-kata Mira menamparnya dengan keras.
****
Sementara itu, Sakha memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Malam itu, ia menatap layar ponselnya, mencari nama Naura di daftar kontaknya. Jemarinya ragu, tetapi akhirnya ia mengetik pesan:
“Bisakah kita bertemu? Ada hal yang ingin ku katakan”
Sakha menatap pesan itu lama sebelum akhirnya menekan tombol kirim.
Beberapa jam berlalu tanpa ada balasan. Rasa gelisah semakin menguasainya, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.
****
Tiga hari setelah pesan itu, Naura akhirnya membalas setelah ia lama merenung.
“Aku tidak yakin kita punya sesuatu hal lagi untuk di bicarakan”
Namun, setelah berkali-kali membaca balasan itu, ia memutuskan untuk menambahkan.
“Jam 4 sore di tempat biasa, lewat dari itu jangan pernah menghubungi ku lagi.”
Ketika Sakha membaca pesan itu, senyum tipis menghiasi wajahnya. Itu bukan undangan hangat, tetapi itu cukup baginya.
***
Esoknya, mereka bertemu di kafe kecil yang pernah menjadi tempat favorit mereka saat masih bersama. Naura tiba lebih dulu, memilih meja di sudut yang agak sepi. Dia memainkan cangkir kopinya, mencoba menenangkan perasaannya yang campur aduk.
Ketika Sakha tiba, ia terlihat berbeda dari yang Naura bayangkan. Matanya memancarkan kelelahan, tetapi ada tekad yang kuat dalam tatapannya.
"Terima kasih sudah mau datang" kata Sakha, suaranya pelan tetapi penuh makna.
Naura mengangguk singkat, mencoba menjaga jarak emosional. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"
Sakha terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin meminta maaf, Naura. Untuk semua yang terjadi antara kita. Aku sadar... aku terlalu keras kepala, terlalu sibuk dengan diriku sendiri, dan tidak cukup mendengarkanmu."
Kata-kata itu mengejutkan Naura. Dia menatap Sakha dengan mata yang penuh tanya. "Kenapa sekarang?"
"Karena aku tidak ingin menyisakan penyesalan lagi. Aku tahu mungkin aku tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua, tapi aku ingin kau tahu... aku menyesal telah menyakitimu."
Naura merasa hatinya mencelos. Ada bagian dari dirinya yang ingin memaafkan, tetapi ada juga bagian yang takut terluka lagi.
"Aku tidak bisa, Sakha" ujarnya akhirnya, suaranya bergetar.
Sakha mengangguk pelan. "Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku akan menunggu. Selama yang kau butuhkan."
Mereka berdua terdiam, duduk dalam keheningan yang penuh dengan kata-kata yang belum diucapkan. Namun, di balik keheningan itu, ada secercah harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka bisa menemukan jalan kembali satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Words, His Game
FanfictionNaura Lenne, seorang penulis novel berbakat, hidup dalam dunia yang tenang, dipenuhi dengan tinta, buku, dan imajinasinya yang tak terbatas. Ia percaya bahwa cinta sejati adalah sesuatu yang sederhana-tanpa sorotan kamera, tanpa gemerlap, dan tanpa...