Bagian #3

1 1 0
                                    










Langit malam yang dihiasi bintang-bintang terlihat begitu kontras dengan suasana mewah di dalam ballroom hotel. Para tamu dengan gaun dan jas terbaiknya saling berinteraksi dalam percakapan yang sopan, sementara alunan musik klasik lembut mengisi ruangan. Di salah satu sudut, Naura berdiri dengan segelas mocktail di tangannya, mengamati acara amal yang diadakan sahabatnya, Mira.

Ia tidak pernah menyukai acara seperti ini. Baginya, tempat ini penuh dengan basa-basi dan wajah-wajah yang berpura-pura peduli. Tapi, karena Mira, ia rela melangkahkan kaki ke sini.

"Terima kasih sudah datang, Naura" Mira muncul di sampingnya dengan senyum hangat. "Aku tahu ini bukan tempat favoritmu, tapi aku benar-benar butuh dukunganmu malam ini."

Naura tersenyum tipis. "Aku di sini, kan? Jangan khawatir, aku tidak akan kabur."

Namun, keyakinannya goyah ketika pandangannya tiba-tiba tertuju pada sosok yang berdiri di pintu masuk ballroom. Sakha Fenric. Dengan jas hitam sempurna dan postur percaya diri yang sulit diabaikan, dia melangkah masuk bersama manajernya. Setelah penolakan nya terakhir kali itu dia langsung memblokir nomor Sakha karna tidak ingin kembali lemah. Dia sudah memutuskan untuk menghindari pria itu apapun yang akan Sakha lakukan.

Jantung Naura seolah berhenti berdetak sejenak. Kenapa dia di sini? pikirnya panik.

"Naura?" Mira menatapnya heran. "Kau baik-baik saja?"

Naura cepat-cepat mengalihkan pandangannya, mencoba tersenyum. "Ya, aku hanya butuh udara sebentar."

Mira tampak ragu, tetapi membiarkannya pergi. Naura berjalan ke arah balkon, berharap bisa menjauh dari keramaian—dan terutama dari Sakha.

Namun, harapannya pupus ketika suara berat itu kembali mengusik ketenangannya.

"Selalu menghindar, ya?"

Naura memutar tubuhnya perlahan. Sakha berdiri di belakangnya, dengan ekspresi datar tetapi matanya penuh arti.

"Aku hanya mencari udara segar" jawab Naura singkat, suaranya dingin.

Sakha menyandarkan tubuhnya pada dinding, menatapnya lekat. "Lucu sekali, karena kau selalu berusaha lari setiap kali kita bertemu."

Naura menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Apa kau pikir aku punya alasan untuk tetap tinggal setiap kali melihatmu?" tanyanya, nadanya sarkastis.

Sakha tersenyum kecil, tetapi ada kepedihan di balik senyumnya. "Kau selalu pandai menyerangku dengan kata-katamu, Naura. Itu salah satu hal yang aku rindukan darimu."

Naura tertawa pendek, tanpa humor. "Kau benar-benar tahu cara membuat segalanya lebih rumit, Sakha."

"Dan kau tahu cara membuat segalanya lebih dingin" balas Sakha. "Apa kau akan terus seperti ini? Membuat tembok setinggi mungkin hanya agar aku tidak bisa mendekat lagi?"

"Benar sekali." jawab Naura tajam. "Karena aku tahu apa yang terjadi jika aku membiarkanmu masuk lagi. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama dua kali."

Sakha terdiam. Kata-kata Naura seperti pisau yang menusuk, tetapi ia tahu itu adalah akibat dari kesalahannya sendiri di masa lalu.

"Aku tahu aku sangat menyakitimu" katanya akhirnya, suaranya pelan tetapi serius. "Tapi kau tidak bisa terus menahanku di tempat yang sama selamanya, Naura. Kau juga berhak untuk bahagia."

Naura menatapnya tajam, matanya memancarkan kemarahan yang terpendam.

"Dan kau pikir kebahagiaan itu datang dengan melihatmu lagi? Tidak, Sakha. Kehadiranmu hanya mengingatkan aku pada semua hal yang gagal."

Malam yang dingin semakin terasa menusuk, tetapi di antara mereka, ada panas emosi yang tak terlihat. Naura mengambil langkah mundur, berniat mengakhiri percakapan ini.

"Selamat bersenang-senang dengan duniamu, Sakha" katanya sebelum berbalik pergi, meninggalkan Sakha yang berdiri diam di tempat.

Namun, saat Sakha menatap punggungnya yang menjauh, ia merasa lebih yakin bahwa ia tidak bisa membiarkan semuanya berakhir seperti ini. Ia tahu Naura terluka, dan ia siap melakukan apa saja untuk memperbaikinya—meskipun itu berarti melawan tembok yang telah Naura bangun untuk menjauh darinya.

Her Words, His GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang