Chapter 66

108 15 9
                                    

Ada suara gemericik air di dalam. Carel reflek merogoh saku, membuka ponselnya. Seketika nyala terang yang sedikit silau menerpa wajahnya. Biasa. Carel selalu menyetel pencerahan di ponselnya lebih terang. Sudah seperti emak-emak saja. Tapi biarlah. SSC saja. Suka-suka Carel.

Kerutan nampak jelas di keningnya. Mata Carel beralih pada pintu, kemudian tampilan angka yang menunjukkan waktu hampir tengah malam di layar ponselnya. Cowok yang sekarang melepas piercing di telinganya itu seketika berdecak heboh.

"Nih si Dhava kesambet apa, dah. Mandi tengah malem. Nih orang kadang-kadang kayak orang nggak bener, anjir. Padahal muka udah kayak orang bener."

Tangan Carel melayang di udara sebelum sempat mengetuk pintu. Cowok itu mendekatkan sebelah telinga, benar-benar menempel di pintu. Suara perempuan di dalam membuat bulu kuduk Carel mendadak langsung merinding.

Carel bergidik. "Setan? Apa, Dhava pelihara kunti, ya? Duh! Jangan sampe, deh. Ini harus gue basmi yang kayak gini, nih. Gunanya pelihara kunti buat apa? Kalo tuyul mah, ada gunanya. Lah ini?"

Carel mengedarkan pandang. Sebuah sapu dengan gagang sedikit lebih panjang sudah siap di genggaman tangannya. Gagang pintu diputar dengan perlahan, waspada jika Dhava akan mendengar. Bisa gawat rencana Carel yang ingin mengusir kunti itu dari hidup abangnya.

"Lah?" Carel memukul jidat. "Bego, lo, El! Mana bisa dibuka kalo nggak ada kuncinya?"

Carel berdecak. Kunci cadangan memang ada. Tersimpan rapi di laci nakas kamar. Dan tidak mungkin jika dia kembali ke sana lagi, 'kan? Jiken pasti sudah bangun sekarang. Sedang marah-marah tidak jelas karena dirinya tinggal.

"Tapi kalo diem di sini, tuh kunti makin ngelunjak entar. Ah, bodo, lah! Jiken sekalian gue seret aja ke sini, bantuin gue."

Jiken sendiri memang sudah bangun. Jika bukan karena guling yang saat dia peluk terasa empuk, mungkin saja sampai besok pun Jiken tidak akan bangun. Dan sekarang, cowok tinggi itu berdiri di depan pintu yang tertutup rapat.

Jiken tidak akan marah. Sungguh. Mungkin dia memang sudah keterlaluan. Kasihan juga kalau kucing manisnya dikurung di sini. Jiken pun sebenarnya tidak tega. Tapi demi keselamatan Carel, Jiken sampai harus melakukan hal ini.

Karena tidak ada kunci cadangan-alias benda itu tersimpan rapi di tangan Sakya, mau tidak mau Jiken harus mendobrak ini pintu. Setidaknya, sampai tiba-tiba ada yang membukanya dari luar. Dan spontan Jiken langsung menarik tubuh mungil itu ke dekapan yang paling hangat.

"Lo ninggalin gue? Kenapa? Gue takut lo bakal pergi jauh, Rel."

Carel menonjok perut rata Jiken. Lumayan juga, sampai dengan terpaksa cowok tinggi itu melerai pelukan. Ganti mengusap perutnya, sementara Carel berlari ke arah nakas. Mengambil kunci cadangan dan kembali lagi ke Jiken.

"Ini bukan saatnya untuk saling melepas rindu. Alay banget, sumpah. Mending lo ikut gue berburu!"

Kening Jiken berkerut. Sayangnya, raut kebingungan itu tidak digubris. Daripada menjelaskan, Carel lebih memilih langsung menarik lengan Jiken. Membawanya ke depan pintu Dhava.

"Ngapain?"

Carel berdecak. "Dhava pelihara kunti. Sumpah, serem banget."

Alih-alih ikut memeluk kedua lengan sama seperti Carel, Jiken lebih memilih menyenderkan punggung ke dinding dekat pintu. Keningnya masih berkerut.

"Kunti? Yang bener aja. Lo halu, pasti."

Carel mendelik. "Beneran, anjing! Gue denger suara perempuan di dalem. Suaranya itu-"

Suara Carel kicep langsung begitu Jiken membekapnya dengan tangan besar itu. Suara perempuan itu lagi-lagi ada, dan terdengar menjijikkan. Itu suara desahan perempuan, bebarengan dengan suara kecipak air.

"Lo, yakin mau masuk?"

Carel mendelik sambil mencakar punggung tangan Jiken. Ini lagi-lagi terasa sakit. Tidak. Lebih tepatnya perih dan sakit. Dan Carel malah sibuk memasukkan kunci ke lubang pintu sambil terus berceloteh dengan nada sarkas.

"Lo takut apa gimana? Masa badam segede gaban, setinggi menara masih takut sama hantu. Ngaca, anjing!"

Sambil mengusap bekas cakarannya, Jiken menghela napas pelan. Jemarinya terangkat untuk memberikan usapan lembut di puncak kepala Carel. "Iya. Gue ngalah."

Carel kembali menarik lengan Jiken. Sekarang, suara itu semakin jelas. Memang ada di kamar mandi, bersama dengan suara kecipak dan gemericik air. Jiken spontan langsung menutup kedua telinga Carel. Rahangnya langsung mengeras dengan sorot mata tajam.

"Ji, lo ngapain? Gue nggak bisa denger suara itu, anjing!"

Jiken menggeleng. "Jangan dengerin. Mending kita balik aja, ya? Ini udah malem. Lo harus tidur."

Carel menggeleng kuat. Jiken menarik napas pelan, sulit juga menghentikan kucing manisnya ini. Bahkan, dia tak bisa menghentikan Carel yang langsung berlari ke pintu. Jiken di belakang hanya mengekor dengan tangan terkepal kuat.

"Awas aja lo, Dhava!" Itu bisikan Jiken yang bercampur dengan amarah.

Begitu pintu terbuka, dapat Jiken saksikan tubuh Carel yang sudah seperti patung. Membeku di tempat tanpa adanya gerakan sedikit pun. Ini sudah pasti terjadi, Jiken memang sudah akan menebak Carel akan memberikan reaksi seperti ini.

Memang, reaksi apa yang pas untuk Carel saat menangkap basah abangnya sedang melakukan sex dengan seorang gadis? Dan perempuan itu, nampak tidak asing di mata Carel. Itu, Xena. Astaga! Ini cukup gila. Melakukan sex di kamar mandi? Gila juga!

Jiken langsung menarik tubuh Carel ke belakang, menabrak dada bidangnya. "Udah gue bilang. Jangan lihat. Kenapa batu banget, sih?"

Pandangan Jiken fokus ke kamar mandi. Tubuh telanjang Xena, atau bahkan mata melotot Dhava tidak membuatnya goyah. Cowok tinggi itu dengan sebelah tangan masuk saku celana mendekat, kemudian langsung melayangkan tinju tepat ke hidung Dhava.

Pandangan Jiken menggelap. Tidak peduli walau air shower mengguyur tubuh tegapnya. Cowok itu langsung menarik leher Dhava dan membenturkannya ke dinding.

"Bastard! Gue nggak akan ikut campur, nggak bakal keberatan lo lakuin hal ini. Tapi, karena kelakuan jijik lo ini udah diliat Carel. Itu yang bikin gue emosi. Kalo mau lakuin ini di hotel atau nggak kuburan, jangan di mansion! Inget! Carel ada di mansionn ini. Dan gue nggak mau dia liat hal kayak gini di sini! Tapi lo!"

Jiken kembali memukul Dhava, bahkan lebih membabi-buta. Xena hanya bisa berusaha menggapai bahu Jiken. Tapi si jangkung lebih dulu mendorong Xena, hingga gadis itu terjatuh ke lantai. Bagaimana dengan Carel?

Cowok itu bukannya terkejut karena baru pertama kali lihat yang beginian. Carel beberapa kali melihat sepupunya melakukan hal ini. Hanya saja, dia terlalu terkejut, jika Dhava having sex dengan Xena? Carel pikir, abangnya ini orang baik-baik.

Carel geleng-geleng kepala. "Gue sampe beku, anjir. Kayaknya, gue mau tinggal sama Grandpa aja, deh. Lebih aman di sana kayaknya."

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang