Bab Lima ✦

30 5 2
                                    

Jenan

Jakarta pukul 7 pagi di hari Senin terlihat seperti neraka. Tol dalam kota semakin padat dengan mobil. Di jalan raya utama, jajaran bus di jalur Transjakarta semakin memanjang seperti ulat bulu akibat antrian lampu lalu lintas. Tapi diantara semua moda transportasi ibu kota, KRL tetaplah juara satu dalam menguji kesabaran para pencari nafkah.

Di tiap gerbong nyaris tidak ada ruang untuk bergerak, bahu menempel pada bahu, punggung menempel pada tas penumpang lain, belum lagi kursi prioritas yang harus dikosongkan kalau ada penumpang yang naik membuat penumpang lain harus berdempetan supaya memberi celah—oh iya, tidak lupa drama-drama para penumpang yang merasa didorong oleh penumpang lain.

Jenan berusaha keras berdiri tegak diantara kumpulan penumpang yang berdesakan. Jargonnya sih, kalau masih ada celah, hajar saja. Jenan tidak terbiasa menaiki KRL di jam sibuk, selama ini ia beruntung jalurnya bepergian selalu berlawanan arah dari jalur padat.

Jenan memejamkan mata selama kereta bergerak dari stasiun satu ke stasiun lainnya, sambil berdoa semoga dia tidak terlambat di hari pertamanya bekerja. Ia begitu bahagia saat menerima email dari Marissa. Email itu langsung dibalasnya dalam waktu kurang dari 2 jam. Setelah itu Jenan tak henti-hentinya memikirkan seperti apa suasana bekerja di kantor orang lain.

Sayangnya, usaha Jenan untuk bersabar di dalam kereta harus diuji lagi dengan aroma tidak sedap dari tubuh penumpang di sampingnya.

Aroma itu seperti telur busuk dicampur bau apek pakaian yang sudah tidak dicuci. Jenan tidak mabuk darat tapi aroma itu memicunya jadi mual. Tangannya yang tadi memegang handler terpaksa harus diturunkan demi menutup mulutnya—yah, dia lupa pakai masker saking buru-buru. Tetapi ia sedikit lega karena dia tidak sendirian. Seorang pemuda di sebelah Jenan juga ikut menutup mulutnya walaupun ia sudah menggunakan masker.

Pemuda itu menangkap tatapan Jenan. Mereka saling memberi kode tanda tak nyaman terhadap penumpang bau badan itu. Jenan mengangguk-angguk setuju. Kemudian dia jadi berpikir kalau setiap hari harus berdesakan seperti ini, semangatnya bekerja kian turun.

Hal itu makin dibuktikan ketika Jenan tiba di stasiun tujuan. Tubuhnya yang ringan dengan mudahnya terdorong arus penumpang yang ingin keluar dari kereta. Ada beberapa pria yang marah lantaran Jenan tak kunjung berjalan, ada pula yang menginjak sepatunya sampai Jenan meringis.

Jenan sudah kewalahan, dia tidak siap kalau harus pulang-pergi kerja seperti ini tiap hari. Lutut kakinya mulai nyeri, pinggangnya mulai sakit.

Gampang banget jadi jompo sih kalau gini terus.

Jenan memutuskan untuk memesan taksi online. Seharusnya ia bisa naik Transjakarta supaya lebih dekat dari kantor namun Jenan tidak sanggup melewati kerumunan lagi pagi ini.

"Misi...Mas? Mau nanya dong."

Jenan menoleh ke arah suara yang tertuju padanya. Itu pemuda yang tadi berdiri di sampingnya—yang sama-sama bersabar menahan aroma tak sedap dari penumpang lain. Jenan melihatnya sedang melepaskan masker, pemuda itu punya senyum yang manis seperti buah persik.

"Ya Mas? Mau nanya apa?"

"Aku mau ke PIM 3 naik kendaraan apa ya?"

"Ada tije tuh Mas tapi harus transit dulu ke Juanda."

"Juanda di mana ya? Lama nggak yah? Aku baru banget di sini, anak rantau dari Bandung, first day ngantor takut telat." katanya sambil tertawa pelan.

"Kantornya di PIM 3 Mas?"

"Enggak sih, cuma patokannya deket PIM 3." pemuda itu lalu memeriksa ponselnya. "Di Maven Agency, daerah Metro Alam. Waktu wawancara ke sana, aku dianter tanteku jadi kurang merhatiin jalan deh." sesalnya.

How Long Before We Fall In Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang