Bab 14: Sekilas Kerentanan

2 1 0
                                    

Cahaya lembut matahari sore masuk ke ruang belajar pribadi Seojin. Yura berdiri di ambang pintu, dipanggil oleh undangan langka. Jantungnya berdebar kencang karena penasaran dan gelisah saat Seojin memberi isyarat agar dia masuk. Posturnya tetap formal seperti biasa, tetapi ekspresinya menunjukkan sedikit keraguan.

Seojin : (dengan tenang) Kau terus berusaha keras untuk memahamiku, Nona Yura. Mungkin... kau harus melihat sesuatu.

Yura melangkah hati-hati ke dalam ruangan, tangannya terlipat gugup di depannya. Seojin menunjuk ke arah lemari kayu yang terselip di sudut. Permukaannya yang mengilap berkilau samar, dan tampak tidak pada tempatnya di antara dekorasi ruangan yang mencolok.

Yura : (lembut) Apa ini, Yang Mulia?

Seojin : (dengan pelan) Koleksi. Kenangan dari masa yang jarang aku ceritakan.

Napas Yura tercekat saat membuka lemari, ketegangan dalam gerakannya menunjukkan keengganannya. Perlahan, ia membuka pintu, memperlihatkan berbagai macam barang yang tersusun rapi—kuda kayu berukir, setumpuk buku usang, dan jepit rambut giok yang cantik. Setiap benda tampak dipenuhi makna yang tak terucapkan.

Yura melangkah mendekat, tatapannya tertuju pada koleksi tersebut. Kuda yang diukir menarik perhatiannya terlebih dahulu. Permukaannya kasar, kayunya tergores dan usang seolah-olah sudah sering dimainkan.

Yura : (penasaran) Apakah kamu... yang membuat ini?

Seojin mengangguk, suaranya lebih pelan dari biasanya.

Seojin : (dengan lembut) Ibu saya mengajari saya cara mengukir. Dia bilang itu akan membantu saya fokus, untuk membentuk sesuatu dari kekacauan. Itu adalah... hal terakhir yang kami lakukan bersama sebelum dia pergi.

Hati Yura menegang mendengar kata-katanya, lalu dia dengan lembut menggendong kuda kecil itu, menggerakkan jari-jarinya di atas permukaannya yang usang.

Yura : (berpikir) Pasti itu sangat berharga bagimu. Kau menyimpannya, bahkan setelah sekian lama.

Seojin tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengambil salah satu buku usang, jemarinya masih berada di tepi buku yang sudah usang itu.

Seojin : (berpikir) Ini milik ayahku. Dia memintaku untuk membacanya dari awal sampai akhir sebelum aku berusia sepuluh tahun. Dia bilang itu akan membuatku kuat, mengajariku disiplin. Tapi yang kuingat hanyalah betapa berat rasanya... seperti beban yang tidak bisa kulepaskan.

Yura memperhatikannya dengan saksama, dadanya terasa sakit saat ia mulai menyatukan kembali bocah lelaki kesepian yang tersembunyi di balik lelaki yang berdiri di hadapannya. Pandangannya jatuh pada jepit rambut giok, lekukannya yang halus berkilauan dalam cahaya.

Yura : (ragu-ragu) Dan ini?

Seojin ragu-ragu, rahangnya sedikit menegang sebelum dia menjawab.

Seojin : (dengan pelan) Itu milik ibuku. Dia meninggalkannya... sengaja, kurasa. Seolah-olah itu berarti sesuatu. Tapi itu hanya pengingat bahwa dia tidak pernah kembali.

Yura meletakkan kuda kayu itu dengan hati-hati, tangannya sedikit gemetar. Ia menoleh ke arah Seojin, suaranya lembut namun mantap.

Yura : (dengan lembut) Benda-benda ini... lebih dari sekadar objek. Benda-benda ini mengandung begitu banyak jati dirimu. Apa yang telah kamu alami.

Tatapan mata Seojin bertemu dengan tatapan mata Yura, dan untuk pertama kalinya, Yura melihat kerentanan dalam tatapan mata Seojin. Tatapan itu sekilas, tetapi ada di sana—retakan di dinding yang dibangunnya dengan sangat hati-hati.

Seojin : (dengan lembut) Kamu gigih, Yura. Selalu mencoba melihat apa yang lebih baik aku sembunyikan. Kenapa?

Yura menarik napas dalam-dalam, suaranya tegas meskipun emosi berputar-putar dalam dirinya.

Yura : (dengan sungguh-sungguh) Karena aku bisa melihat bahwa kau bukanlah pria yang dingin dan tidak berperasaan seperti yang kau pura-purakan. Kau telah terluka, sangat dalam... tetapi itu tidak berarti kau harus menghadapinya sendirian.

Ekspresi Seojin berubah, topeng ketidakpeduliannya yang biasa terlihat sesaat. Dia berbalik, bahunya menegang saat berbicara.

Seojin : (dengan pelan) Sendirian adalah satu-satunya hal yang pernah kukenal. Lebih aman seperti itu.

Yura melangkah mendekat, suaranya melembut saat dia menjawab.

Yura : (dengan lembut) Mungkin... tapi lebih aman bukan berarti lebih baik. Terkadang, membiarkan seseorang masuk tidak membuatmu lebih lemah. Itu membuatmu lebih kuat.

Seojin meliriknya, tatapannya mencari-cari ke arah Seojin seolah mencoba memastikan ketulusan kata-katanya. Seojin tidak menjawab, tetapi keheningan di antara mereka terasa tidak lagi jauh seperti sebelumnya.

Saat Seojin mengunci lemari, ruangan kembali sunyi. Yura memperhatikannya, hatinya dipenuhi simpati. Dia merasakan beratnya rasa sakit yang tak terucapkan, dan untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa dalam rasa sakit itu telah membentuknya.

Narasi (Pikiran Yura) : (reflektif) Dia menjalani seluruh hidupnya seperti ini—berhati-hati, terkendali, selalu menjaga jarak dengan orang lain. Namun di balik semua itu, dia tetaplah anak laki-laki itu, yang mendambakan sesuatu yang terlalu takut untuk diakuinya.

Dia melangkah maju, suaranya lembut namun penuh tekad.

Yura : (dengan lembut) Terima kasih, Yang Mulia... karena telah menunjukkan bagian dari diri Anda ini. Saya tahu itu tidak mudah.

Bibir Seojin terkatup rapat menjadi garis tipis, ekspresinya tak terbaca saat dia mengangguk singkat.

Seojin : (dengan kasar) Jangan terlalu memikirkannya. Itu tidak mengubah apa pun.

Senyum Yura tipis namun tulus saat dia menjawab.

Yura : (diam-diam) Perubahannya lebih dari yang kau kira.

Saat Seojin meninggalkan ruangan, Yura berdiri sendirian, tatapannya tertuju pada lemari yang tertutup. Simpatinya terhadap Seojin semakin dalam, dan dengan itu, tekadnya untuk menghubungi pria di balik baju besi yang dikenakannya dengan sangat hati-hati.

Narasi (Pikiran Yura) : (bertekad) Dia pikir dia bisa menanggung semuanya sendirian, tetapi dia tidak harus melakukannya. Aku akan menemukan cara untuk menunjukkannya padanya... bahkan jika itu membutuhkan semua yang kumiliki.

Cahaya terakhir senja memudar, meninggalkan ruangan dalam bayangan lembut saat Yura berbalik dan berjalan keluar, hatinya berat tetapi teguh.

Tawanan Pangeran DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang