Jeffrey berakhir ikut menginap di vila. Meski Joanna sudah melarang karena tidak enak pada teman-temannya. Namun justru mereka yang meminta agar Jeffrey tetap tinggal saja. Mengingat masih ada banyak kamar di sana."Butuh apa lagi sekarang?" tanya Joanna saat Jeffrey keluar dari kamar mandi. Dia sudah memakai baju ganti. Karena di mobil selalu ada pakaian dan alat mandi. Mengingat dia kerap ke luar kota mendadak seperti ini.
"Butuh kamu. Kenapa tidak tidur di sini saja?"
"Sejak awal kamu tahu kalau tema acara kali ini bukan liburan dengan pasangan. Beruntung mereka tidak marah. Kalau iya, kamu juga akan kena!"
"Ya, maaf. Habisnya aku kangen berat. Sehari saja tidak bertemu denganmu rasanya mau gila. Apalagi ditambah kamu tidak memberi kabar seharian. Jelas khawatir aku. Takut kamu kenapa-kenapa. Mana aku tidak punya kontak mereka." Jeffrey mendekati Joanna. Mengusap pipi wanita itu dengan kedua tangan. Lalu mengecup bibirnya berulang.
"Kemarin sebelum Hpku rusak, Mama sempat telepon. Katanya kamu dapat proyek dari pemerintah untuk membangun jembatan di Papua. Itu benar?"
Jeffrey diam sejenak sebelum menjawab. Wajahnya mulai dijauhkan. Dengan tangan yang masih membelai pipi istrinya.
"Iya. Aku berniat memberi tahu kalau kamu pulang. Aku—"
"Aku ikut juga? Kamu pasti lama di sana."
Jeffrey tersenyum singkat. Lalu membawa Joanna duduk di tepi ranjang. Berhadapan dan dengan kedua tangan yang mulai bertautan.
"Tidak perlu ikut. Hanya satu minggu aku di sana. Sisanya hanya sebulan sekali visit saja. Karena proyek ini bisa dipantau lewat jarak jauh juga. Lagi pula, aku masih ada banyak pekerjaan di sini. Bagaimana nasib mereka kalau aku lama-lama pergi?"
Joanna tampak lega. Karena mengira jika Jeffrey akan ke Papua sampai berbulan-bulan. Karena kemarin dia diminta Jessica ikut serta.
"Syukurlah kalau tidak lama. Mama sempat khawatir kemarin, dia minta aku ikut kamu nanti."
Jeffrey terkekeh pelan. Lalu mengecup tangan istrinya. Karena senang saat melihat wanita itu khawatir padanya. Khawatir berjauhan darinya.
"Tapi kamu mau?"
"Mau, lah! Apalagi aku suka traveling, Papua sudah masuk wishlist."
"Kalau begitu kapan-kapan aku ajak kesana untuk visit."
"Yeay! Thank you, Sayang."
Joanna memeluk leher Jeffrey. Membuat si pria mengangguk kecil. Lalu melingkarkan tangan tangan pada pinggang wanita ini. Sebelum mereka berpisah malam ini. Karena Joanna akan tidur bersama teman-temannya nanti.
———
Beberapa bulan berlalu. Proyek jembatan Jeffrey sudah berjalan. Joanna juga baru saja dibawa visit ke sana sesuai dengan janji si pria. Membuat Joanna begitu senang meski saat di sana kerap menangis juga. Karena merasa kasihan pada kehidupan sebagaian orang di sana yang masih belum sejahtera.
"Aku kepikiran untuk membuat panti asuhan. Sebenarnya ini salah satu mimpi lamaku dulu. Sebelum bertemu kamu." ucap Joanna tiba-tiba. Saat mereka berada di atas ranjang. Setelah pulang dari Papua.
Jeffrey yang akan memejamkan mata mulai menatap Joanna. Dengan tatapan cemas. Karena apa yang ingin diucapkan mungkin akan mengecewakan istrinya.
"Aku bisa mewujudkan itu. Tapi apa kamu mau mewujudkan salah satu mimpiku?" Joanna yang sebelumnya menatap langit-langit kamar, kini beralih menatap suaminya yang kini sudah tidur miring di sampingnya.
"Apa? Punya anak?"
Jeffrey mengangguk singkat. Membuat Joanna Mulai tersenyum getir sekarang. Matanya berkaca-kaca, seolah permintaan Jeffrey adalah hal yang sangat mustahil diwujudkan.
"Aku mulai terpengaruh saat melihat mereka. Apalagi saat melihat anak-anak yang tampak bahagia bersama orang tuanya meski hidup di dalam keterbatasan. Aku juga sempat ngobrol dengan mereka, karena penasaran dengan apa yang mereka rasakan." Jeffrey menjeda ucapan. Karena takut akan membuat Joanna semakin kecewa.
"Mereka hidup bahagia karena orang tuanya saling cinta. Sama seperti orang tuaku dan kita juga."
Jeffrey mulai mengusap pipi Joanna. Lalu naik ke ujung mata. Sebab tahu jika air mata si wanita sedang menggenang di sana.
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu merasa belum siap menjadi ibu, tapi aku rasa bisa memaklumi itu, asal kamu mau bercerita padaku akan apa yang menjadi alasan di balik itu."
Jeffrey berusaha mengorek informasi lebih dalam tentang si istri. Sebab selama ini, mereka memang belum berbicara banyak tentang hal ini. Tentang apa yang telah melatarbelakangi ketakutan Joanna untuk memiliki bayi.
"Aku merasa belum siap, Jeff. Aku tahu aku sudah tidak muda lagi. Tapi aku merasa masih kecil, aku belum siap mengurus bayi. Aku belum bisa mendidik seorang manusia kecil supaya bisa tumbuh menjadi anak baik. Aku takut sekali. Takut jika anakku mirip denganku. Aku tidak mau anakku merasakan apa yang kurasakan sebagai anak orang tuaku. Karena aku memang tidak sebaik itu. Aku seorang anak yang buruk. Kamu tahu sendiri bagaimana kepribadianku saat awal dulu." Joanna meluruhkan air mata. Dia menangis sekarang. Sebelum lanjut bicara.
"Aku tumbuh dalam keluarga disfungsi. Bapak yang seharusnya menjadi kepala keluarga justru tidak berperan sama sekali. Sehingga Ibu yang take over semua kebutuhan rumah selama ini. Imbasnya? Mereka sering bertengkar setiap hari. Aku juga bermusuhan dengan anak-adikku hingga sekarang. Karena pembagian pekerjaan rumah tidak dibagi secara adil sebelumnya. Sehingga aku harus menanggung semuanya sendirian, sedangkan mereka hanya ongkang-ongkang kaki saja mau semarah apa aku pada mereka. Orang tuaku juga tidak bisa diandalkan untuk hal ini. Aku merasa, hanya aku satu-satunya yang waras di rumah. Saat aku meledak dan meminta mereka untuk akur dan memperbaiki hubungan, mereka justru menyalahkanku. Mengatakan aku tidak bersyukur. Mengatakan aku akan bunuh diri jika dalam posisi menjadi mereka. Saat itu, aku bahkan sudah tidak memiliki tujuan hidup. Aku merasa tidak diinginkan siapapun, karena orang tuaku justru tega berkata seperti itu. Menyesali pernikahan, apalagi memiliki anak. Aku—aku belum bisa Jeffrey, aku belum siap memiliki anak. Aku merasa masih belum bisa berdamai dengan semuanya. Aku takut menjadi ibu yang buruk bagi anakku kelak. Jeffrey, aku minta maaf jika kehadiranku justru menghambat mimpimu untuk menjadi seorang ayah."
Joanna bangkit dari ranjang. Dia bergegas pergi dari sana. Meninggalkan Jeffrey yang kini masih mencerna ucapan. Karena jujur, dia baru tahu jika keadaan keluarga istrinya begitu berantakan. Padahal setahunya, mereka adalah keluarga yang harmonis dan hangat. Sesuai perkataan ibunya.
Tbc…
KAMU SEDANG MEMBACA
GET TO KNOW BETTER
RomanceJoanna dan Jeffrey menikah karena perjodohan. Kisah klise yang sering berakhir menyedihkan. Namun Joanna berusaha menolak segala penderitaan. Sebab tidak ingin berakhir menyedihkan karena menikahi pria yang masih belum selesai dengan masa lalunya.