Mau dikatakan apalagi
Kita tak akan pernah satu
"Good evening, Miss. Coffee or chocolate?"
"Umm.. Hazelnut chocolate, please."
*
This is second call for Malaysia Airlines MH0721 departing Kuala Lumpur for Jakarta...
Aku setengah berlari menuju pintu keberangkatan internasional. Aku terlambat bangun jadi aku sangat terburu-buru untuk mengejar pesawat. Aku tidak tahu apakah aku akan sampai tepat waktu. Kalaupun sudah terlambat tidak masalah. Setidaknya, aku masih bisa menginap semalam lagi.
Aku menambah kecepatanku. Untung saja, dua hari kemarin Renita memaksaku untuk membeli koper beroda. Aku tentu akan mentraktirnya makan malam. Itu janjiku saat aku tiba di tanah air nanti. Aku yakin Renita tidak akan menolak permintaanku. Yang jelas, dengan keadaanku sekarang roda koper ini sangat membantuku. Rasanya, tidak percuma Renita jadi aktivis di Tripadvisor.
Aku masih harus naik kereta yang akan membawaku ke terminal keberangkatan. Antrian sudah menumpuk disana. Aku melihat wajah-wajah resah dan gelisah. Barangkali, mereka senasib denganku. Sementara, di ujung yang lain beberapa pasangan nampak bahagia sekali dengan memeluk orang kesayangan mereka. Ah, bandara selalu menyajikan perpisahan paling indah hingga pertemuan paling membahagiakan sedunia. Untuk itu bandara itu ada.
Aku masih berdiri menunggu sambil memeriksa ponselku. Tidak ada apa-apa. Davina tidak meninggalkan pesan apa-apa. Aku sudah memberi kabar bahwa aku akan kembali sore ini. Aku akan menatap senja yang sama di langit Jakarta. Mungkin, Davina sibuk dengan toko kuenya. Seorang langganan Davina punya anak berumur lima tahun yang minta dibuatkan cupcake untuk pesta ulang tahunnya. Aku tidak pernah tahu. Aku hanya tahu bahwa aku merindukannya saat ini, detik ini juga.
Kereta berbadan merah yang mirip monorel di Kuala Lumpur ini merapat dan segera bergegas kembali menuju terminal keberangkatan internasional. Semoga aku bisa tiba di boarding room sebelum atau tepat pada saat final call.
Usai turun kereta, aku segera mempercepat langkahku. Ah, banyak sekali halangan di depanku. Serombongan murid sekolah mengambil foto bersama di depan sebuah toko cokelat. Seorang ibu muda mendorong kereta bayi dengan langkah yang terlalu pelan. Maaf, aku sedang ada urusan penting. Aku melintasi dan menyusul mereka. Aku sudah bisa melihat pintu terminal ditutup dari kejauhan. Aku berlari menuju kesana.
Aku berhasil mencapai pintu terminal sebelum pesawat berangkat. Aku rindu sekali pulang. Entah Davina atau Renita. Aku yakin salah satu dari mereka menungguku disana.
*
Aku masih disini. Merenung di hadapan coklat panas yang telah kehilangan uap panasnya. Seperti itulah perasaanku padanya. Perasaanku kini tidak ada bedanya dengan secangkir coklat itu. Aku mencoba mengulang kembali semua yang membawaku pada perasaan ini. Aku tidak menyangkal bahwa kesibukan baruku ini akan benar-benar membuyarkan semua yang aku pikirkan tentangnya.
Aku duduk merenung dengan dagu yang termangu pada himpitan jemari. Aku masih tidak habis pikir mengapa aku bisa sampai pada saat seperti ini. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa perasaanku berangsur-angsur lenyap padanya. Aku menatap sebentar pada jendela. Hujan telah turun, Jakarta kembali basah kuyup.
Seminggu yang lalu, aku masih di kedai. Menyiapkan pesanan seorang langganan yang anak perempuannya akan berulang tahun. Aku tahu ini adalah kesempatan pertamaku untuk membuktikan pada Ibu bahwa ide untuk membuka kedai cupcake tidak terlalu salah. Aku menyelesaikan pesanan satu jam sebelum langgananku datang.
Aku melepas lelah dan penat dengan menatapi pesanan kue yang sudah aku selesaikan. Tepatnya, aku dan Lea, partner yang selalu meyakinkanku bahwa aku punya bakat hebat untuk jadi tukang kue. Aku baru saja mengambil nafas panjang ketika Adhi bilang bahwa malam ini ia tidak bisa datang ke kedai. Artinya, Adhi membatalkan makan malam kami yang pertama setelah sebulan pertunangan kami.
Malam itu, aku membereskan meja yang tadinya akan kami gunakan untuk makan malam. Aku selalu suka candle llight dinner. Aku selalu membayangkan makan malam romantis, berdua dengan orang yang kusayangi. Aku selalu ingin melakukannya dengan Adhi. Aku merasa bahagia dengan perlakuannya padaku. He treats me like a queen.
Bayanganku buyar ketika Lea pamit pulang. Lea memelukku erat dan mencium pipiku. Lea mengucapkan terima kasih padaku untuk mengajarinya bersabar dalam menghadapi pesanan besar kami yang pertama. Aku mengantar Lea hingga pintu depan. Andri sudah menunggunya dan melambaikan tangan padaku. Aku segera membalikkan papan tanda kedai ini tutup. Aku menutup tirai lalu kembali ke dapur.
Adhi tidak datang malam ini. Aku tahu itu. Aku juga tahu kenapa ia urung datang.
*
Adhi kini berada disampingku. Nafasnya terasa panjang dan berat. Keringat menetes pelan dari dahinya. Adhi terlelap usai kami melakukan apa yang seharusnya tidak kami lakukan. Aku terlibat dalam sebuah kesalahan terindah.
Aku tidak bisa menahan keinginanku. Aku harus memiliki Adhi sepenuhnya malam ini. Bukan bersama Davina. Aku sudah terlalu lama memendam hasrat ini. Aku tidak mampu menahan lagi perasaan ini. Aku merasa bersalah pada Davina. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja.
Malam ini seharusnya Adhi bersama Davina untuk candle light dinner pertama usai pertunangan mereka sebulan lalu. Malam ini juga seharusnya Adhi duduk berdua dengan Davina, bercerita soal hal-hal kecil atau impian mereka dimasa depan. Mereka bisa membahas nama anak pertama mereka nanti, Jeremy atau Felicia. Seharusnya.
*
"Excuse me. Sorry, Sir? Coffee or..."
"One cup of chocolate please."
Kuala Lumpur, 25 November 2013.

KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Buat Ninda dan Hal-Hal yang Tak Selesai
RomanceSatu dan beberapa catatan yang terselip untuk Ninda. Lengkap dengan beberapa hal yang tidak pernah selesai