Hari sudah pagi. Adzan Subuh baru saja berlalu. Riuh rendah suara orang mengaji masih memenuhi telingaku. Maklum, Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari. Jakarta mulai menggeliat. Kalau boleh memilih, aku lebih baik disini saja, tidak perlu beranjak kemana-mana.
Aku pasti mabuk semalam tadi. Kepalaku berat. Aroma alkohol masih menempel di bibirku. Juga wangi tubuh perempuan itu. Aku benar-benar lelah untuk mengingat kejadian semalam.
Burung-burung berkicau tanda setia pada pagi. Tandanya aku harus segera bersiap untuk terbang ke Singapura sebelum tengah hari nanti. Minggu depan sudah mulai puasa. Aku ingin menemui kekasihku, Alita. Aku ingin menuntaskan rindu ini sembari memastikan Alita akan baik-baik saja selama Ramadhan nanti. Aku ingin Alita tahu bahwa aku masih setia dan selalu ada.
Usai mandi, aku segera menyiapkan oleh-oleh untuk Alita. Tidak banyak, hanya beberapa buku terbaru dari penulis favorit Alita dan beberapa snack kesukaannya. Aku rasa Alita akan senang dan terkejut dengan kedatanganku. Aku tidak pernah memberi tahu Alita soal kedatanganku hari ini. Aku juga tidak pernah bercerita pada orang tua Alita.
"Halo, Gus. Udah bangun?" rupanya Stella.
"Menurut ngana?" jawabku malas.
"How's your morning? After all we did last night."
"Biasa aja. Udah dulu ya, aku mau pergi," aku mengelak.
"Mau kemana? Ada kerjaan lagi di Kalimantan?"
"Bye, Stella."Stella Francisca. Mantan kekasih yang semalam menemaniku pergi ke undangan launching program CSR perusahaanku. Aku tidak tahan untuk datang sendirian malam tadi. Kebetulan, Stella ada waktu sehingga kami bisa pergi berdua. Tidak ada yang tahu bahwa Alita Gita Diana adalah kekasihku yang sebenarnya. Jadi, aku aman.
Sepanjang jalan menuju bandara, aku hanya melihat jejak kenangan. Enam bulan yang lalu aku melewati jalanan ini dengan perasaan yang tercabik-cabik. Aku belum bisa menerima kenyataan bahwa Alita akan pergi meninggalkanku. Alita masih ingin meraih cita-citanya dan memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di Singapura. Tidak jauh memang. Tapi, serapi apapun perpisahan direncanakan tetap selalu mengejutkan saat diputuskan.
Aku juga masih ingat pesan teks dari seorang temanku pagi itu. Real, honest, and complete love requires letting go. Semua itu berpadu dalam larutan kenangan yang mengusik serat-serat hati. Aku tersenyum. Betapa kini pun aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Alita jauh dari sisiku.
Aku berhenti di pintu masuk ruang tunggu. Sejenak, aku mengambil nafas panjang. Aku masih ingat jelas suasana perpisahan dengan Alita. Lalu, aku berjalan menuju tempat paling emosional dimana pelukku berbaur dengan air mata Alita. Aku jadi sentimental. I love you for sentimental reason, Alita.
Panggilan boarding sudah diumumkan. Aku bergegas menuju pesawat. Aku tidak sabar menahan rasa rindu ini. Aku ingin segera berjumpa Alita. I'll be there soon, Alita.
*
Aku sudah tiba di halaman apartemen tempat Alita tinggal. Pemukiman yang tidak terlalu padat. Cenderung nyaman untuk ukuran mahasiswa dan pekerja. Alita pasti betah tinggal disini, pikirku. Aku segera masuk dan menuju lift.Braaak!
Keluar dari lift, seseorang menabrakku di depan pintu lift. Aku kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Begitu juga dengan tas yang berisi oleh-oleh untuk Alita. Pemuda itu segera membantuku berdiri dan mengucap maaf. Rupanya, ia sedang buru-buru. Ah, dialektika hidup di apartemen. Aku berjalan pelan menuju apartemen Alita. Aku tahu Alita tidak punya jadwal siang ini, kecuali bila memang ada sesuatu yang mendadak.
Aku tiba di depan pintu apartemen Alita. Aku mengetuk pelan seraya berusaha untuk tetap tenang dan tidak membuat Alita curiga. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak ada jawaban. Begitu juga dengan bel yang aku tekan berulang kali. Tetap nihil. Aku masih berdiri sambil mencoba menghubungi Alita. Damn! Mailbox. Perasaanku mulai tak tenang. Bila memang Alita sedang tidak ada, aku mungkin akan pergi ke kampusnya sekarang juga.
Aku masih tetap berdiri, hingga seseorang menyapaku. Seorang nenek yang sedang menuntun cucunya.
"Hello, good afternoon. You must be looking for her, don't you?" nenek itu menyapaku.
"Hello, Madam. Yes. I am looking for Alita, the girl who lives here," kataku sambil menunjuk arah apartemen Alita.
"Poor you. Has she told you before?"
"No. She didn't tell me anything. I mean, I also didn't tell her that I will come," perasaanku benar-benar tidak enak.
"She's being hospitalized. It's already two weeks. So, it might be strange for me that she did not inform you. Her man used to come here to clean up the room."Benar saja. Perasaanku jadi semakin tidak jelas. Nenek tadi bilang, "Her man." Ya. "Her man." What did I missed, Alita? Aku mulai curiga dengan Alita. tapi, aku tidak punya waktu untuk berpikir hal lain selain dimana Alita sekarang.
"Do you know where is the hospital? Is it far from here?" aku bertanya dengan khawatir.
"Don't worry, come with me. I want to see her doctor," jawab si nenek sambil tersenyum pada cucunya.
"Oh, thank you."
"No problem, young man. Let's go."*
Nenek Han mengantarku sampai ruang rawat Alita. Aku masih tidak percaya bahwa Alita ada disini. Alita tidak pernah mengeluh apa-apa. Atau memang aku yang tidak pernah tahu apa-apa soal Alita? Aku membuka pintu dan tersentak. Seorang pria duduk disamping Alita yang terbaring lemah sambil memegang tangannya.Dengan perasaan yang campur aduk, aku membuka pintu dan memasuki ruangan tersebut. Sang pria di ruangan itu sedikit kaget dengan kedatanganku karena aku masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia langsung melepaskan perlahan genggaman tangannya pada Alita dan menghampiriku.
"Alita's friend?" tanya pria itu kepadaku.
"Yes, I am Bagus, from Indonesia," jawabku, sambil berjabat tangan dengan pria yang sepertinya wajahnya sempat aku lihat beberapa saat yang lalu. Ah, ya, dia pria yang sempat menabrakku di dekat lift apartemen Alita.
"Saya Raka, dari Indonesia juga, teman kuliah Alita," jawab pria itu.
Tanpa ditanya, Raka langsung bercerita tentang Alita.
"Sudah dua minggu Alita disini, leukemia," jawab Raka, sambil meneruskan cerita detail tentang apa yang terjadi dengan Alita.Sesaat perhatianku teralihkan ke arah sebuah kotak yang berada di meja sebelah tempat tidur Alita. Kotak itu terbuka dan berisi sebuah cincin.
Seolah tahu apa yang sedang aku lihat, tiba-tiba Raka mengalihkan pembicaraan.
"Dan ini sebenarnya cincin yang udah gue siapkan untuk melamar Alita. Awalnya gue mau kasi kejutan buat Alita karena selama ini dia nggak pernah tahu kalau gue suka sama dia."
Deg!
Catatan:
No Me Ames, Jangan Cintai Aku, diadaptasi dari judul lagu yang dinyanyikan oleh Jennifer Lopez dan Marc Anthony.

KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Buat Ninda dan Hal-Hal yang Tak Selesai
RomanceSatu dan beberapa catatan yang terselip untuk Ninda. Lengkap dengan beberapa hal yang tidak pernah selesai