34/34

247 34 8
                                    

Keadaan ballroom hotel hening sejenak. Hingga beberapa orang meraih lembaran foto yang jatuh di kaki mereka. Lalu mencerna apa yang terjadi sebenarnya.

"Ini bukannya menantu Sandi dan Jessica?"

"Iya, ini Joanna."

"Jadi, dia selingkuh? Begitu?"

"Kalau iya sih parah. Pantas saja mereka tidak kunjung punya anak."

"Gila! Mereka keluar masuk apartemen yang sama! Kasihan keponakan kita."

"Mereka tinggal bersama?"

"Eh, bukannya ini di Jakarta? Aku merasa familiar dengan bangunan ini."

Komentar orang-orang semakin membuat Joanna panik. Air matanya sudah berada di pelupuk mata saat ini. Membuat Jeffrey yang kini mengamati mulai menatap tajam Kevin dan yang lain. Karena menganggap jika kekacauan ini bersumber karena mereka hadir.

"Ma, Pa. Itu tidak benar! Istriku tidak selingkuh! Itu foto-foto Joanna waktu masih di Jakarta dulu. Saat belum menikah denganku!"

Jeffrey mendekati orang tuanya. Dia juga langsung meraih lembaran foto yang sudah mereka pegang. Karena tidak ingin mereka membenci Joanna dan berakhir memisahkan mereka.

"Tapi mereka pernah tinggal bersama. Wanita itu tidak sebaik itu, Ma, Pa. Joanna pernah tinggal dengan pria lain sebelumnya. Dia tidak pantas menjadi istri anak kalian. Joanna bukan wanita baik-baik seperti apa yang sudah kalian harapkan." Rena mendekati Sandi dan Jessica. Sehingga kini, dia bersampingan dengan Jeffrey yang tengah mengeraskan rahang. Kerena tidak terima Joanna dijelekkan.

"Aku minta maaf. Aku—" ucapan Joanna terjeda saat suara tamparan terdengar. Hingga membuat matanya terpejam. 

PLAK...

Bukan. Ini bukan tamparan yang Joanna dapat. Namun Rena. 

Dia baru saja mendapat tamparan dari Jessica. Membuat Lena dan yang lain terkejut tentu saja. Sebab bukan reaksi seperti ini yang diharapkan.

"Mama—"

Air mata Lena membasahi pipi perlahan. Dia benar-benar merasa kecewa sekarang. Karena Jessica justru menamparnya. Seolah Joanna lebih berharga dari segalanya. Sehingga dia begitu menutup mata akan kesalahan yang telah wanita itu lakukan. Mengingat Rena tahu jika Jessica begitu agamis belakangan. Dia bahkan sudah berhijab dan kerap mengikuti kajian.

Dengan melihat kelakuan Joanna, seharusnya Jessica kecewa. Seharusnya dia marah besar akan apa yang telah dilakukan menantunya. Bukan justru menamparnya.

"Jangan pernah memanggilku Mama! Aku bukan ibumu lagi sejak kamu mengandung dia! Kamu sudah mengecewakanku dan suamiku. Jadi berhenti mengusik keluargaku! Anakku dan menantuku! Kamu sudah tidak memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam keluargaku! Baik sebagai anak maupun menantu!"

Rena menggeleng pelan. Dia berusaha meraih tangan Jessica. Namun tentu segera ditepis saat itu juga.

"Tapi dia sudah—"

"Itu masa lalu Joanna! Apa di sini ada yang hidupnya suci dan tidak pernah berdosa?" Jessica mulai menatap sekitar. Lalu kembali menatap Rena. "Tidak, kan? Kita semua berdosa, pernah khilaf. Sama seperti kamu juga!"

Jessica mendekati Joanna yang sejak tadi diam saja. Namun air matanya sudah membanjiri wajah. Dengan tangan yang sudah saling genggam dengan gemetar.

"Mama tidak kecewa. Mama hanya terkejut. Kamu tidak perlu takut. Kita semua pernah melakukan dosa di masa lalu. Kamu, Jeffrey, Mama dan kita semua tidak ada yang tidak berdosa. Kamu tidak sendirian. Kamu tidak perlu takut, Sayang."

Rena tidak percaya dengan apa yang dilihat. Dia menggeleng cepat. Dengan air mata yang semakin membanjiri wajah.

Jessica memeluk Joanna sekarang. Membuat Jeffrey yang sejak tadi menegang karena ketakutan dan berusaha mencari jalan keluar mulai merasa lega. Dia senang karena ibunya tidak mempermasalahkan. Sama seperti tamu lain yang kini mulai mengumpulkan foto yang sebelumnya dipegang. Lalu diberikan padanya agar diamankan. 

Mereka merasa tertampar mungkin saja. Karena mereka yang datang di sini sudah berumur kebanyakan. Jelas sudah ada banyak hal yang telah mereka lakukan. Baik hal baik maupun bejat. Sehingga kini, mereka bisa merasa maklum akan masa lalu Joanna.

"Namanya juga jiwa muda, wajar kalau sedikit nakal."

"Tidak bisa diwajarkan juga! Tapi ya sudah lah! Dosa masing-masing!"

"Lagi pula itu masa lalu. Bukan sekarang, kan? Kalau selingkuh, baru perlu dihukum dia!"

"Iya. Lagi pula Jeffrey juga tidak sebersih kelihatannya. Di Amerika, dia—"

Jeffrey melirik salah satu sepupunya yang ingin membeberkan aibnya. Membuat pria muda itu bungkam dan tersenyum kecil saja. Karena hampir kelepasan.

"Security, tolong bawa mereka pergi!"

Jeffrey memanggil security yang baru saja datang. Dia melambai pada mereka. Seolah tidak mau peduli lagi pada Rena maupun Kevin. Padahal dulu, dia ingin sekali menjadi bagian dari keluarga kecil ini.

Setelah mereka digiring pergi, Jeffrey mendekati Joanna yang mulai meredakan tangis. Karena dia jelas takut sekali. Takut berpisah dengan Jeffrey. Setelah yakin jika pria itu akan menjadi pelabuhan terakhir.

"Aku minta maaf, Ma, Pa. Karena aku sudah merusak acara kalian. Aku—" Joanna menjeda ucapan. Dia sudah melepas pelukan. Lalu menatap Jeffrey yang kini sudah mengusap kedua pundak dari belakang. Karena menunggu giliran untuk memeluknya.

"Tidak perlu meminta maaf. Papa, Mama dan kami semua juga pernah muda. Itu masa lalumu, dan masa lalu kami juga belum tentu lebih baik darimu. Jadi tidak perlu meminta maaf akan hal itu. Tidak perlu juga merasa bersalah karena kamu merasa sedang merusak acara ini. Karena kamu juga bagian dari kami. Jika ada yang menyakiti, kami juga akan melindungi. Kita keluarga, Nak. Tidak perlu merasa terbebani. Kami tidak masalah sama sekali." Sandi yang selama ini jarang bicara mulai mendekati Joanna. Mengusap kepalanya pelan. Karena sejak tadi Jeffrey sudah menyentuh pundak. Sehingga dia tidak tahu ingin menyentuh bagian mana lagi untuk memberikan dukungan.

"It's okay, Sayang. Kami semua mendukungmu. Tidak perlu takut."

Jeffrey memeluk Joanna dari belakang. Tidak melingkari perut, namun bawah pundak. Sehingga kini tubuh Joanna bagai terbungkus Jeffrey di belakang. Membuat Sandi dan Jessica yang belum pernah melihat kemesraan mereka jelas merasa senang. Merasa jika keputusan untuk menjodohkan mereka memang sangatlah benar.

Tepuk tangan juga mulai terdengar. Dimulai dari sepupu Jeffrey yang sebelumnya akan kelepasan bicara, disusul dengan yang lainnya. Sebab mereka sadar diri juga kalau mereka tidak sempurna, jelas dukungan keluarga seperti ini adalah hal yang mereka harapkan. Jika keburukan mereka terbongkar suatu saat.

Tbc…

GET TO KNOW BETTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang