Sore itu, ruang kerja Naura terasa sunyi. Hanya suara jemari yang menari di atas keyboard laptopnya yang terdengar. Ia menatap layar, mencoba merangkai kalimat terakhir untuk novel yang telah menjadi bagian dari jiwanya selama berbulan-bulan. Namun, setiap kali ia mengetik bagian akhir itu, matanya selalu berkaca-kaca. Napasnya berat, hatinya terasa penuh, tetapi ia tahu ini harus selesai.
Tokoh dalam novelnya, seorang penulis wanita bernama Alina dan seorang atlet sepak bola bernama Reza, telah ia bentuk dari kenangan, cinta, dan luka yang pernah ia alami. Naura menuliskan akhir yang pahit untuk keduanya—sebuah perpisahan yang tidak diinginkan tetapi terpaksa terjadi karena ego, kesalahpahaman, dan keadaan yang tidak memihak.
Di bagian akhir novelnya, Naura mengetikkan kalimat yang telah ia pikirkan sejak lama:
"Mungkin waktu akan menjadi satu-satunya penawar. Aku tidak menyalahkanmu atas apa yang terjadi, seperti aku berharap kau tidak menyalahkanku. Kita adalah dua dunia yang mencoba bersatu, tetapi terlalu berbeda untuk menjadi satu. Jika suatu hari kita bertemu lagi, aku berharap kita telah sembuh, meski tak lagi bersama."
Setetes air mata jatuh di pipinya ketika ia menekan tombol terakhir.
Saat itu, pintu ruangannya terbuka pelan. Mira, sahabat sekaligus editornya, melangkah masuk dengan hati-hati. Wanita itu membawa secangkir teh hangat di tangannya. Melihat Naura yang terlihat rapuh, Mira tidak berkata apa-apa. Ia hanya meletakkan teh itu di meja, lalu mendekati Naura.
“Sudah selesai?” tanya Mira lembut, suaranya hampir seperti bisikan.
Naura mengangguk pelan, tetapi bibirnya bergetar. “Sudah... semuanya sudah selesai” gumamnya.
“Aku menuangkan semuanya di sini, Mira. Semua tentang aku dan Sakha... apa yang aku rasakan... semuanya. Tapi aku tidak tahu, apakah aku benar-benar bisa lega setelah ini.”
Mira menatap layar laptop Naura. Ia tahu cerita dalam novel itu lebih dari sekadar fiksi. Ia tahu bahwa nama Alina dan Reza hanyalah topeng untuk menyembunyikan kisah nyata di baliknya. Mira membaca setiap draft novel itu, menangis di bagian-bagian tertentu, dan memahami rasa sakit yang Naura coba sembunyikan dari dunia.
“Naura” ujar Mira sambil mendekati sahabatnya. Ia memeluknya erat, membiarkan Naura bersandar di bahunya.
“Kau telah mencurahkan semuanya. Semua perasaanmu, semua luka itu... kau telah membaginya dengan dunia. Mungkin tidak semua orang tahu kalau ini adalah kisah nyata, tetapi aku tahu, kau menulis ini bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk dirimu sendiri.”
Naura terisak pelan. “Aku hanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tidak pernah selesai, Mir. Aku ingin dia tahu, bahwa aku mengerti. Bahwa aku tidak pernah membenci dunianya... aku hanya tidak tahu cara berada di dalamnya.”
Mira mengusap punggung Naura lembut. “Kau sudah melakukan yang terbaik, Naura. Novel ini adalah bagian dari penyembuhanmu. Setelah ini, biarkan waktu melakukan sisanya. Kau tidak perlu membawa beban itu sendirian lagi.”
Naura mengangguk kecil, berusaha mempercayai kata-kata Mira.
“Mungkin aku harus melepas semuanya” gumam Naura. “Aku sudah mencurahkan apa yang aku rasakan di sini. Jika dia membaca ini, aku harap dia tahu apa yang aku maksud. Jika tidak... setidaknya aku sudah melakukannya untuk diriku sendiri.”
Mira tersenyum. “Dan itu sudah lebih dari cukup. Kita tunggu saja proses penerbitannya. Aku yakin ini akan menjadi karya terbaikmu, Naura. Bukan hanya karena isinya yang emosional, tetapi karena kejujuranmu yang mendalam.”
Naura memejamkan mata, membiarkan Mira terus memeluknya. Untuk pertama kalinya setelah delapan bulan, ia merasa sedikit lebih ringan. Novel itu telah menjadi tempat ia menuangkan rasa sakit, cinta, dan penyesalannya.
Kini, ia hanya perlu menunggu—menunggu waktu, peluncuran novelnya, dan mungkin, secara diam-diam, menunggu Sakha menemukan apa yang ingin ia sampaikan lewat kisah itu.
****
Sakha duduk di sudut ruang ganti, mengelap peluhnya setelah latihan yang melelahkan. Matanya menatap kosong ke lantai, seakan-akan berpikir tentang sesuatu yang jauh lebih berat daripada latihan atau pertandingan yang baru saja selesai. Teman sekamarnya, Rian, yang juga sahabatnya sejak lama, duduk di sampingnya, memperhatikan Sakha yang tampak tidak fokus.
"Kenapa akhir-akhir ini kau kelihatan tidak fokus, Sakha?" tanya Rian sambil mengangkat alis, penasaran dengan perubahan sikap sahabatnya.
Sakha menghela napas panjang dan menatap Rian sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya ke lantai.
"Aku masih memikirkan Naura," jawabnya pelan, suara penuh kekesalan dan penyesalan yang terpendam.
Rian hanya mengangguk. Ia tahu betul tentang kisah antara Sakha dan Naura, tentang bagaimana hubungan mereka hancur karena ego dan perbedaan yang tak bisa dijembatani.
"Kau tidak akan bisa move on kalau terus memikirkannya seperti ini" ujar Rian, suaranya tegas namun penuh pengertian.
"Kau bilang menyesal, tapi apakah kau benar-benar berusaha? Jika kau ingin memperbaiki semuanya, kau harus lebih keras. Dunia kita tidak akan berubah hanya karena kamu merasa bersalah, Sakha. Kalau kamu ingin dia tahu, kamu harus lebih dari sekadar menyesal."
Sakha terdiam mendengar kata-kata Rian. Ia tahu sahabatnya benar, namun rasanya semakin sulit untuk merubah apa yang sudah terjadi.
"Aku tahu, Rian" jawabnya dengan suara berat. "Tapi dunia kita—dunia bola—terlalu sibuk. Sementara Naura... dia selalu punya dunia lain yang membutuhkan ketenangan, dunia yang mungkin tidak bisa aku pahami."
Rian mengangguk, tapi tak berkata apa-apa. Mereka berdua terdiam, menyadari betapa rumitnya situasi mereka.
Tiba-tiba, suasana yang tadinya tenang itu terganggu oleh suara sorakan tim. Sakha dan Rian berbalik ke arah pintu, dan seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang tergerai masuk ke ruangan mereka. Wanita itu mengenakan pakaian yang terkesan modis namun sporty, dengan senyum manis yang langsung menarik perhatian semua orang.
Wanita itu adalah Lara, partner iklan pakaian bola yang menjadi sorotan publik bersama Sakha. Mereka sering digosipkan menjalin hubungan lebih dari sekadar rekan kerja, dan meskipun berita itu tak pernah diklarifikasi, banyak orang yang percaya bahwa mereka berdua tengah menjalin sesuatu yang lebih dari sekadar kerja sama profesional. Semua itu hanya menambah kerumitan dalam hidup Sakha.
Lara mendekati mereka dengan langkah pasti, membawa sebotol minuman dingin dan mengarahkannya langsung ke Sakha. "Ini, untukmu" katanya dengan suara manja, sambil tersenyum menggoda.
Sakha menatap botol minuman itu sejenak, kemudian dengan tenang, ia mengangkat botol air yang sudah ada di tangannya.
"Terima kasih, tapi ini sudah cukup" jawabnya, suaranya datar dan tidak menunjukkan ketertarikan.
Lara tampaknya sedikit terkejut dengan penolakan itu, tetapi senyumannya tetap terpasang. "Oh, baiklah" katanya, meski nada suaranya sedikit berubah.
"Kalau begitu, jangan lupa minum yang cukup. Besok kita ada syuting lagi, kan?"
Sakha hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa. Lara, yang masih memandangnya dengan senyum tipis, akhirnya berbalik dan kembali ke tim yang menunggu di luar. Sorakan mereka masih terdengar di belakangnya, tetapi Sakha hanya fokus pada pikirannya sendiri.
Rian mengangkat alis, mengamati Sakha yang tampak kehilangan arah setelah pertemuan singkat itu. "Kamu tidak tertarik sama dia?" tanyanya, menggoda.
Sakha menggelengkan kepala, matanya kembali kosong. "Tidak... aku nggak bisa fokus ke apapun selain dia" jawabnya, suaranya jauh lebih lembut, seperti mengakui sesuatu yang sangat dalam.
Rian hanya menghela napas. "Kau harus keluar dari lingkaran ini, Sakha. Kalau tidak, kau tidak akan pernah bisa maju."
Sakha hanya diam, membiarkan kata-kata sahabatnya mengisi ruang kosong di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Words, His Game
FanfictionNaura Lenne, seorang penulis novel berbakat, hidup dalam dunia yang tenang, dipenuhi dengan tinta, buku, dan imajinasinya yang tak terbatas. Ia percaya bahwa cinta sejati adalah sesuatu yang sederhana-tanpa sorotan kamera, tanpa gemerlap, dan tanpa...