Naura baru saja keluar dari kantor nya, tempat di mana ia mencurahkan seluruh isi hatinya ke dalam tulisan.
Senja mulai memerah di langit, memberikan nuansa keemasan pada kota. Dengan langkah tenang namun terlihat letih, ia menuju mobilnya di tempat parkir. Ia tidak menyadari bahwa sebuah mobil hitam telah terparkir di kejauhan, dengan Sakha duduk di kursi pengemudi, mengamati setiap gerak-geriknya.
Sakha mengencangkan cengkeramannya pada kemudi, hatinya dipenuhi keberanian yang bercampur dengan keraguan. Sudah berminggu-minggu ia menahan diri untuk tidak mendatangi Naura, tetapi perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Tanpa pikir panjang, ia menyalakan mesin dan mulai mengikuti Naura yang meluncur menuju apartemennya.
Setelah tiba, Sakha memarkirkan mobilnya tidak jauh dari tempat Naura berhenti. Ia mengamati gadis itu dari jauh, melihat bagaimana ia dengan cepat masuk ke gedung apartemen tanpa menoleh ke belakang. Sakha keluar dari mobil dan dengan langkah pasti, mengikuti Naura hingga ke pintu apartemennya. Saat Naura membuka pintu dan hendak menutupnya, Sakha dengan cepat melangkah masuk sebelum pintu tertutup rapat.
"Naura, tunggu!" katanya cepat, membuat Naura terkejut dan menoleh tajam ke arahnya.
"Sakha? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya datar, jelas tidak senang dengan kehadiran pria itu yang tiba-tiba.
Sakha mengabaikan nada dingin Naura. "Kita perlu bicara" ucapnya, suaranya serius namun penuh dengan berbagai emosi. Ia berdiri di belakang pintu, memastikan Naura tidak bisa menghindarinya begitu saja.
Naura menghela napas panjang, berusaha tetap tenang meski hatinya bergemuruh. Ia menutup pintu dengan perlahan dan berjalan ke ruang tamu tanpa mengundang Sakha untuk duduk. "Kalau ini tentang masa lalu, aku tidak tertarik" katanya sambil melepas tas kerjanya dan meletakkannya di meja.
Sakha mengikutinya, tidak peduli dengan sikap dingin itu. "Aku tahu aku sudah banyak salah" katanya, nadanya mulai melembut. "Aku tahu aku sangat egois kala itu, dan aku... aku menyesal. Tapi aku tidak bisa terus begini, Naura. Aku harus bicara denganmu."
Naura tidak menoleh. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air, meneguknya perlahan seolah ingin memberikan jeda waktu untuk menenangkan diri. Setelah itu, ia berbalik, menatap Sakha dengan tatapan datar.
"Bicara soal apa, Sakha? Tentang bagaimana kau tidak pernah benar-benar ada untukku? Atau tentang gosip dengan wanita yang selalu kau diamkan hingga semua orang percaya itu benar?"
Sakha terkejut mendengar kata-kata itu. "Gosip? Kamu tahu itu tidak benar, kan? Aku tidak pernah peduli dengan gosip. Aku bahkan tidak ada hubungan apapun dengan Lara."
Naura tertawa kecil, sebuah tawa yang lebih terdengar seperti ejekan. "Tidak peduli? Jadi, membiarkan orang lain mengira kau punya hubungan dengannya itu bentuk tidak peduli? Kau tahu apa yang aku rasakan saat mendengar semua itu, Sakha?"
Sakha mendekat, suaranya semakin memohon. "Naura, dengar... itu hanya pekerjaan. Aku tidak pernah sekalipun berniat membuatmu merasa seperti itu. Aku tidak peduli apa yang orang lain katakan, aku hanya peduli tentang kamu."
Naura mengangkat tangan, menyela sebelum Sakha bisa melanjutkan. "Sudah cukup, Sakha. Kau bilang peduli tentangku, tapi semuanya tidak pernah terasa seperti itu. Bahkan saat aku ada di titik terendahku, aku selalu merasa sendirian, meski aku bersamamu."
Kata-kata Naura membuat Sakha terdiam. Ia menatap gadis itu dengan mata yang mulai memerah, merasa terluka oleh kebenaran yang tak pernah ia sadari sepenuhnya.
Naura menatapnya dengan dingin, meski hatinya bergetar. "Aku lelah, Sakha. Aku sudah cukup menunggu, cukup kecewa, dan cukup merasa tidak penting dalam hidupmu. Jadi, jika kau ke sini untuk meminta aku kembali, jawabanku tetap sama—tidak."
Tanpa menunggu balasan, Naura berbalik dan berjalan ke kamarnya, meninggalkan Sakha yang berdiri diam di dapur. Pintu kamar tertutup dengan pelan, tetapi suara itu terasa seperti pukulan keras di hati Sakha.
Sakha duduk di sofa, menundukkan kepala, menyadari bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang tak tergantikan. Tapi di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia belum siap menyerah—belum sekarang.
****
Di dalam kamar, Naura duduk di tepi tempat tidurnya sambil menatap layar ponsel. Setelah beberapa saat ragu, ia mengirim pesan pada Mira, berharap sedikit percakapan bisa mengalihkan pikirannya dari kekacauan emosional yang baru saja terjadi.
"Mira, kapan cetakan novelnya selesai? Aku ingin memastikan semuanya siap untuk peluncuran di awal bulan."
Tak butuh waktu lama, balasan Mira muncul.
"Tenang, Naura. Sudah mulai dicetak hari ini, dan sesuai permintaanmu, hanya 50 buah untuk edisi perdana. Semuanya akan siap sebelum peluncuran."
Naura membaca pesan itu dengan lega, namun hatinya tetap terasa kosong. Meskipun ia berhasil mencurahkan emosinya melalui novel itu, rasa sakit dan kebingungan tentang hubungannya dengan Sakha masih menghantui. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah fase yang harus ia lalui, bahwa waktu akan membantu menyembuhkan.
Sementara itu, Sakha meninggalkan apartemen Naura dengan langkah berat. Ia tahu Naura tidak akan keluar dari kamarnya, dan ia tidak ingin memaksa lebih jauh malam itu. Setelah memastikan pintu apartemen Naura terkunci, ia melangkah ke mobilnya dan melajukannya dengan pikiran yang kacau.
Ia memutuskan untuk pergi ke rumah manajernya. Sesampainya di sana, ia langsung mengutarakan niatnya untuk mengklarifikasi rumor tentang hubungannya dengan Lara.
"Aku tidak bisa terus membiarkan ini. Aku harus bilang ke media bahwa aku dan Lara tidak ada hubungan apa-apa," katanya tegas.
Namun, respons manajernya justru membuatnya semakin bimbang.
"Sakha, kamu harus mengerti. Ayah Lara adalah donatur besar untuk klub kita. Kalau kamu klarifikasi sekarang, itu bisa merusak hubungan kita dengan mereka. Untuk sementara, lebih baik kita biarkan saja gosip ini mengalir. Lagipula, itu menguntungkan buat karirmu. Popularitasmu makin naik."
Sakha terdiam mendengar penjelasan itu. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak memberinya pilihan.
"Jadi aku harus berbohong terus? Membiarkan semua orang, termasuk Naura, berpikir aku memang punya hubungan dengan Lara?"
Manajernya menepuk bahunya dengan senyum tipis. "Sakha, ini dunia yang kita jalani. Kadang kita harus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang lebih besar."
Sakha tidak menjawab, hanya menunduk dalam kebisuan. Ia tahu ini bukan pertama kalinya ia harus mengorbankan sesuatu demi karirnya, tetapi kali ini, beban itu terasa jauh lebih berat. Dengan hati yang penuh konflik, ia meninggalkan rumah manajernya, kembali ke mobilnya, dan duduk di sana dalam keheningan.
Di dalam benaknya, wajah Naura terus terbayang. Rasa sesal yang selama ini ia tahan perlahan berubah menjadi tekad. Ia tahu bahwa jika ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka, ia harus mengambil langkah besar, bahkan jika itu berarti melawan arus. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa memikirkan bagaimana caranya menjelaskan semuanya pada Naura tanpa menambah luka yang sudah terlalu dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Words, His Game
Fiksi PenggemarNaura Lenne, seorang penulis novel berbakat, hidup dalam dunia yang tenang, dipenuhi dengan tinta, buku, dan imajinasinya yang tak terbatas. Ia percaya bahwa cinta sejati adalah sesuatu yang sederhana-tanpa sorotan kamera, tanpa gemerlap, dan tanpa...