Sabila menghidangkan lauk terakhir di atas meja makan. Sheila melebarkan cuping hidungnya. “Wangi banget, Ma. Bikin tambah laper…!”
“Ah, adek mah laper muluk!” potong Dirga, sang kakak yang duduk di seberangnya.
Sheila menjulurkan lidahnya. “Biarin, yang penting kan tetep kurus!”
“Cacingan ya?” ledek Dirga lagi.
Baru saja Sheila mau membuka mulut, ayahnya bergabung di meja makan. Otomatis kedua anak itu terdiam dan menegakkan badannya.
“Berantem mulu, deh. Heran.” ucap Renner seraya mengambil duduk. Ia mendengar perdebatan kecil itu dari ruang tengah.
“Kalo jauh kangen. Kalo deket gelut. Emang, deh.” balas Sabila.
Kakak beradik itu hanya saling pandang. Kalau tak ada Renner, sudah pasti adu mulut itu akan berlanjut.
Keluarga Simanjuntak menikmati makan malam mereka dengan hangat. Momen ini kian jarang karena Dirga sudah mulai bekerja di Polsek. Sebagai perwira baru, ia seringkali pulang larut. Sheila sudah mulai skripsi, juga sering mengurung diri di kamar dan makan sesempatnya.
Mereka bertukar cakap. Sabila masih menjalani profesinya sebagai dokter IGD. Dan Renner sudah resmi bergabung dengan Interpol yang bercabang di Indonesia.
Saat keluarganya senyap, sibuk dengan makanan masing-masing, Dirga melirik kanan dan kiri. Lalu ia menatap ke piringnya lagi. Sabila memperhatikan hal ini.
“Kenapa, Mas? Masakan Mama nggak enak ya?” tanya Sabila.
“Eh? Bukan, Ma. Mana mungkin masakan Mama nggak enak. Ini.. ehm-” Dirga terbata.
Renner menatapnya tajam. “Ngomong apa sih? Yang tegas gitu loh kalo jawab.” ucapnya setengah kesal. Ia khawatir Dirga akan berlaku demikian di kantor. Sungguh sangat tidak mencerminkan seorang perwira.
Ditantang seperti itu, Dirga jadi menoleh ke ayahnya. Menatapnya tak kalah tajam.
“Dirga mau ngelamar Ayla, Yah.”
Uhuk!! Uhuk!! Gompryang!!
Sabila terbatuk, Sheila menjatuhkan sendok dari tangannya, sementara mata Renner membulat—tak berbicara apapun dari bibirnya tapi sorotnya menghujam netra Dirga.
Sheila membantu ibunya untuk minum agar tak lanjut tersedak. Beragam pertanyaan muncul di benaknya. Tapi ia tahu untuk tidak memotong ayahnya.
Renner berusaha tenang, menjaga wibawanya, tapi dalam hati ia tak sabar ingin menampar anak sulungnya itu.
“Dirga mau Ayla jadi istri Dirga.” ucapnya lagi.
“Kenapa?”
Dirga terdiam. Sebenarnya, ia baru menerima surat penugasan luar kota. Ia akan ditempatkan di sebuah Polsek di Kota Solo. Tertanggal tiga bulan lagi, selama enam bulan hingga satu tahun.
“Dirga mau ditugasin, Yah. Di Solo.”
Sorot Renner makin tajam. “Bukan itu maksud ayah.”
“Kenapa kamu yakin kamu udah bisa jadi suami?”
Dirga terdiam lagi.
Setahu Renner, mereka tak memiliki hubungan khusus, selain keluarga mereka yang dekat. Entah sejak kapan putranya itu menaruh perasaan kepada Ayla.
“Kamu itu baru 24 tahun. Masih perwira muda.
Ayla juga masih sisa setahun kuliah.”Sabila pun menahan emosi. Entah putranya ini dapat ide dari mana. Menikah tiba-tiba?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
Fiksi UmumOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.