Chapter 21

6 0 0
                                    

●●●

Tok.. tok.. tok..

Sudah ketukan ketiga namun Eyra tak kunjung membuka pintu kamarnya. Razril pun memilih untuk menghampiri Velyn.

"Eyra di kamar mah?" Velyn menanggapi dengan anggukan, tangannya tetap fokus mengiris perbawangan.

"Tidur?"

"Samperin aja bang."

"Sudah, tetapi tidak ada sahutan."

"Berarti masih tidur."

"Dia tidak kuliah? Aku tidak melihatnya dari kemarin sore."

"Apakah anak itu tidak makan malam?" Velyn bertanya, sebab dirinya baru saja pulang pagi tadi. Kemarin ia menemani Hika menginap di salah satu villa, yaitu acara ulang tahun teman sekolahnya.

Velyn sontak melepas pisau ditangannya, pikirannya melayang pada kejadian 3 tahun silam. Sedangkan gadis yang tengah mereka perbincangkan itu tengah menggenggam erat kota hitam berpadukan biru.

Kotak yang ia temukan saat pertama kali matanya terbuka bersamaan dengan lenyapnya semua ingatan. Eyra kembali menatap tumpukan polaroid yang menampilkan sosok orang-orang tak dikenali, dibalik foto-foto itu akan selalu ditemukan sebuah note yang ditulis dengan tinta merah.

Eyra mengambil salah satu polaroid yang menampilkan foto keluarganya. Eyra membalikkan polaroid itu.

-Terdapat bibir bergetar yang harus dipaksakan untuk selalu tersenyum-

Kemudian tangannya meraih polaroid yang lain, menampilkan 2 bayangan hitam panjang di jalanan aspal yang rata. Bayangan itu jelas menggambarkan sileut seorang pria dan wanita. Ia pun membalikkan polaroidnya.

-Ini teman pertamaku-

●●●

Cklek~

Eyra membuka pintu kamarnya setelah merapihkan isi kotak yang ia berantaki sendiri, gadis itu terkejut dalam diamnya melihat kedatangan Gara yang sangat mendadak ini, terlebih Gara adalah pria paruh baya dengan tingkat kegengsiannya setinggi gunung himalaya. Eyra masih mengingat bagaimana pertama kali ia melihat sosok Gara ketika dirinya tidak mengingat apapun.

-Drama apa lagi yang kau mainkan?-

-Ck! Norak!-

Eyra menggeleng cepat, mengusir suara-suara yang menghantuinya. Kalau Eyra yang dahulu mungkin akan memandang Gara benci, karena tidak pernah memercayai anaknya sendiri, namun Eyra yang sekarang telah berubah, karena perubahan Gara yang Eyra rasakan dua tahun belakangan ini, meski terasa sangat kaku.

Papah jadi lebih sering berkunjung ke kamar ku sekarang.

"Sejak kapan papah pulang?"

"Baru saja, mengapa tidak makan? Semua orang menunggumu dibawah."

"Sepertinya aku tidak akan makan, aku masih kenyang.."

"Memangnya kapan terakhir kali kau makan?"

Eyra menyengir, "baru saja kok pah sebelum papah tiba."

"Baiklah kalau begitu, papah ke bawah dulu yah, selamat istirahat sayang~" Gara mengelus tulus puncak kepala Eyra lalu pergi.

Perasaan ini sangat asing untukku. Batinnya.

"Rupanya sekarang kau pandai sekali berbohong," Eyra sontak menoleh, menatap kehadiran Razril yang berdiri di dekat tangga seraya bersikedap, tangan disilangkan erat di depan dada, seolah memberikan rasa yang tidak bisa Eyra baca.

Eyra pun memilih untuk menutup pintu,  tak berniat membalas ucapan Razril, namun pria itu dengan cepat menahannya.

"Kau menghindariku?" tanya Razril telak, membuat Eyra mematung. Eyra semakin menekan pintu kamarnya, namun Razril lagi-lagi berhasil menahan.

"Aku membuat salah?" Eyra menggeleng masih dengan posisi yang sama.

"Lalu?"

"Aku mengantuk, lebih baik kau kembali saja," Razril menangkap rasa dingin dari perkataan Eyra, sekilas mengingatkan Razril pada dirinya dulu sering melakukan ini pada Eyra. 

Apa tiba-tiba ingatan gadis  itu telah kembali, makanya ia tampak aneh. Pikir Razril. Tidak, tidak mungkin. Bagaimana jika dirinya dibenci, lagi. Razril belum sempat mengambil hati Eyra. 

"Bukankah kau memiliki urusan yang lebih urgent selain mengurusi urusanku, Bang?"

"Maksudmu?"

"Pikir saja sendiri."

Klak~

Meninggalkan Razril dengan segala pikiran yang berkecambuk.

●●●

"Minum," Razril menyerahkan segelas air putih yang tadi diambilnya dari dapur. Retta menenggaknya dengan rakus lalu meletakkan gelasnya diatas meja. Razril datang tepat setelah ia menyelesaikan kegiatan bersih-bersih.

Terlihat dari tetesan air yang jatuh dari ujung rambut yang sudah memanjang. Wajah segar yang dahulu selalu membuat Razril terkagum-kagum tanpa polesan make up sedikitpun.

"Tumben sekali kau benar-benar datang." Razril tidak menjawab, ia mengambil handuk kecil ditangan Retta, lalu membantu mengeringkan rambut gadis itu.

"Kenapa baru mandi jam segini?" setelah perbincangan yang menggantung didepan kamar Eyra, Razril mendapatkan panggilan telepon dari Retta, namun ia tak mendengar suara gadis itu, yang ia dengar hanya suara barang-barang yang dibanting dengan keras, serta erangan Retta yang sangat Razril kenali.

"Ingin saja," terlihat mata yang sedikit sembab, dan goresan luka-luka kecil di telapak tangan Retta.

"Sudah cek up?" tanya Razril.

"Ck, kemana saja kau kemarin-kemarin? Ku hubungi saja tidak bisa, dan baru sekarang kau menanyai tentang itu."

"Maaf.. Bagaimana hasilnya? Ada kemajuan?"

"Mau ada atau pun tidak ada, kau pun sudah tidak peduli, Zril." Razril masih setia mengeringi rambut Retta. Keduanya tampak saling diam.

"Sejak kapan kau berpikir seperti itu?"

"Sejak kau berubah," Retta terdiam, lalu terlihat dari bahu gadis itu yang mulai bergetar lagi, posisinya kini tengah membelakangi Razril. Pria itu melihatnya, lalu tangannya meletakkan handuk kecil dan beralih menyentuh kedua bahu Retta.

"Hei, kenapa?" Retta menepis tangan Razril.

"Ta.." terdengar isak tangis samar-samar, Razril langsung membalikkan tubuh gadis itu.

"Hei.. Aku menyakitimu? Maaf.." lagi-lagi hanya itu yang bisa Razril berikan, ia pun mendekap hangat Retta dalam pelukannya.

"A-a-kuu merindukan kel-luargaku.."

"Aku juga keluargamu, ta."

Retta menggeleng pelan, Razril merasakan itu, hatinya semakin berdesir.

"Aku obati luka mu dulu yah," Razril mengelus pelan luka-luka kecil di tangan Retta.

Apa langkahku benar-benar salah? Apakah tidak bisa jika aku ingin menjaga dia dan adikku bersamaan? Mengapa semua ini terasa lebih sulit daripada menhadapi kasus pembunuhan sekalipun.

Next~

ResetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang