Bab 1 - Gerbang Perunggu

124 10 3
                                    

Sepuluh tahun.

Di balik gerbang perunggu, waktu terasa seperti ilusi, kadang berjalan begitu lambat hingga nyaris membeku, kadang berlalu cepat seperti angin yang sulit disentuh. Zhang Qiling hampir merasa seperti kehilangan dirinya lagi, terjebak dalam kesunyian yang seolah selama-lamanya, terombang-ambil diantara kehidupan dan kematian yang tak berujung, selangkah lagi mungkin tak mengingat siapa dirinya sendiri. Di lain waktu, dia merasa baru sehari yang lalu meninggalkan Wu Xie di sumber air panas, mengingat dengan jelas kilasan yang melintas di wajah polos dan suci Wu Xie.

Seumur hidupku, sebagai ganti sepuluh tahun kepolosan dan kemurnian

Itu adalah kata terakhir, yang tidak hanya berarti sebuah tekad, tapi juga pengorbanan yang tak pernah diucapkannya keras-keras.

Satu dekade sudah Ia serahkan, bukan untuk menebus masa lalu, tapi juga demi seseorang yang telah memberikan arti dari sebuah rumah yang bukan sekedar tempat berlindung, tapi seseorang yang membuat dunianya terasa utuh.

Dalam hidupnya yang panjang, Zhang Qiling belum pernah memahami makna kata itu. Ia hanya tahu, bahwa itu adalah sebuah tempat kembali, tempat yang aman. Namun setelah Wu Xie datang, kata itu tak lagi hanya sekedar tempat kembali—seseorang yang dirindukan.

Zhang Qiling masih ingat dengan jelas bagaimana Wi Xie sering berkata Aku harus menyelamatkan Xiaoge! sebuah tekad yang terulang begitu banyak hingga menjadi lelucon di pikirannya. Awalnya itu bahkan terdengar tak masuk akal, Wu Xie sama sekali tidak mengerti bahwa dirinyalah yang selalu harus diselamatkan.

Tapi justru dari binar matanya saat mengatakan itu, ketulusan yang jernih terpancar.  Ketulusan yang selalu membuat Zhang Qiling tetap terhubung dengan dunia luar. Wu Xie adalah satu-satunya alasan bagi dirinya untuk kembali.

Harapannya sederhana. Ia membayangkan Wu Xie di sana, menunggunya dengan sabar, mungkin dengan mata berkaca-kaca atau bahkan tidur bersandar di batu dengan sisa nyala api unggun yang menghangatkan tubuhnya. Bayangan Wu Xie membuat hatinya terasa lebih ringan, memberinya kekuatan untu terus maju.

Namun, ketika kedua pintu bergerak perlahan dengan kabut putih yang membatasi jarak pandang mulai menghilang, dan Ia melangkah keluar dari gerbang, Ia tidak disambut oleh satupun pemandangan tersebut. 

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Zhang Qiling merasakan dingin yang amat sangat, lebih dingin dari apapun yang pernah Ia rasakan selama sepuluh tahun terakhir. Tidak ada Wu Xie.

Dan di sana, di depan Gerbang Perunggu yang megah itu, Zhang Qiling berdiri sendirian, seperti bayangan yang tersesat, menatap kehampaan yang seolah tak akan pernah terisi. Ia menatap menembus kabut dan tempat yang gelap, seakan berharap Wu Xie tiba-tiba muncul. Namun tak ada setitikpun jejaknya.

Wu Xie bukan orang yang suka ingkar janji, dia seharusnya datang. Atau Mungkin Ia telah melupakan Zhang Qiling? atau Ia hanya merasa tak perlu menemuinya di depan gerbang perunggu?

Zhang Qiling memalingkan pandangannya dari kabut tipis yang menyelimuti tempat di hadapannya, ia mulai berjalan menjauh. Ia telah merasakan banyak kesedihan dalam hidupnya, hal-hal yang lebih mengecewakan dari ini, tapi Ia tak bisa berbohong walau dalam keheningannya, seolah kini tak ada yang menjembatani dirinya dengan dunia luar. 

Dengan harapan yang masih berpendar, Zhang Qiling melangkah keluar dari makam yang dalam, melewati labirin dan jebakan dengan jalan kembali yang amat sulit. Hanya Wu Xie yang terus menjadi cahaya dalam hatinya agar dapat segera keluar.

Tempat pertama yang terlintas dipikirannya adalah Hangzhou Toko Wushan, seharusnya Wu Xie ada disana, bersama Pangzi dan Wang Meng. Sejak terakhir bertemu, disanalah Wu Xie tinggal dan belum berencana untuk pindah kemana-mana, mungkin dia berada disana, menunggu Zhang Qiling, mungkin Ia tengah demam atau sakit dan Pangzi menjaganya, mengesampingkan janji untuk bertemu di gerbang perunggu.

Setidaknya ada dua hal yang paling ditakuti Zhang Qiling, bahwa memorinya akan selalu terhapus setelah 10 tahun. Kali ini, sudah bertahan beberapa tahun lebih lama, tapi Ia tak pernah tahu sampai kapan keberuntungannya akan bertahan. Ia tak ingin dirinya sendiri lupa pada Wu Xie dan persahabatannya dengan Pangzi, juga tak ingin dilupakan. Kesendiriannya berpuluh-puluh tahun ini telah runtuh dengan hanya Wu Xie, membuatnya terasa seperti luka yang tak akan pernah kering.

Maka dari itu, kali ini Ia harus menemukan Wu Xie atau Pangzi dengan cepat. Meminimalisir kemungkinan lebih buruk terjadi.

Ketika Zhang Qiling tiba di Hangzhou, suasana juga sudah berbeda, waktu memang berjalan begitu cepat. Wu Xie juga mungkin telah menua. Ia berjalan dengan tujuan yang jelas, Toko Wushan. Tapi yang tampak dihadapannya bukan sebuah gerbang berwarna putih dengan kusen dan pintu cokelat dengan plakat nama 'Toko Wushan keluarga Wu', melainkan adalah sebuah lahan pekarangan yang penuh reruntuhan batu dan bekas kebakaran. Toko Wushan telah luluh lantak, rata dengan tanah, tak tersisa apapun kecuali arang dan abu yang telah dingin.

Zhang Qiling terpaku di hadapan kehancuran yang menyapa pandangnya. Hatinya seperti terhantam badai, tak terperi. Toko Wushan, tempat yang pernah menjadi tempat tinggal Wu Xie dan memori-memorinya, kini hanya meninggalkan puing-puing yang merintih dalam kesunyian. Semua yang pernah ada disana terasa sejauh mimpi.

Langkahnya yang awalanya penuh harap, kini terhuyung, seolah bumi di bawahnya begitu goyah, seolah Ia sedang berjalan di tepi jurang waktu yang tak terlihat.

"Wu Xie.." nama itu terucap lirih dengan getar keperihan.

Zhang Qiling menginjakkan kaki di antara reruntuhan, setiap langkahnya seolah membawa sisa harapan yang semakin pudar menunggu lenyap. Batu-batu itu seperti meremukkan setiap memori beserta dengan orang-orang di dalamnyam seperti dirinya yang perlahan tercerabut dari segala yang Ia kenal. Mungkin Wu Xie telah pergi. Dia tidak mungkin mati.

Tak ada satupun benda yang tersisa, kertas-kertas, porselen, segel, besi atau apapun yang bisa memberinya petunjuk tentang apa yang telah terjadi atau kemana Wu Xie pergi.

Zhang Qiling hanya berdiri diam di tengah reruntuhan, seperti rusa yang putus asa. Udara Hangzhou yang dingin menusuk kulitnya, salju mulai turun. Wu Xie seharusnya berada disini, Toka Wushan seharusnya masih ada, bukan berakhir dengan arang dan abu.

"Wu Xie, kau dimana?" ucap Zhang Qiling kepada angin yang langsung menghantamnya dengan dingin dan kesunyian.

Sekilas, pandangannya tertumbuk pada sebuah potongan kayu hangus yang masih tersisa, dengan ukiran samar. Ia meraih potongan itu, membersihkan debu dan abu yang menempel. Itu bukan jejak dari Wu Xie, hanya sebuah pot kayu dengan kata 'Xie'

Xie adalah sebuah nama. Walaupun hampir tak terbaca, Xie pastilah nama teman kecil Wu Xie, pot bunga dengan kayu dan ukiran khusus, walau hanya tinggal sepotong. Model seperti itu adalah gaya keluarga Xie. Seperti pot yang ditinggalkan Xie Lianhuan di rumah Wu Sanxing.

---

Sound of the EmptinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang