11. Something Beautiful

15 5 1
                                    

Satu Minggu kemudian.

Kejadian dimana Chenle dibawa ke ruang sakit bagai angin lalu. Sejak itu ia berfikir bahwa dirinya tidak akan lagi dibully.

Tapi harapan itu pupus karena Jeno dan yang lain masih tetap saja membully Chenle. Malahan makin parah. Murid lainnya pun ikut ikutan mengatai Chenle.

Otak nya acak acakan memikirkan hal itu. Sampai tidak selera makan. Selama seminggu ini Chenle sungguh seperti mayat berjalan.

Badannya semakin kurus. Pipinya tirus. Kantong mata hitam yang semakin jelas. Dan ditambah dia yang sering mual dan mimisan.

Kakinya terasa berat untuk melangkah. Dan rasanya, dia ingin jatuh saja daripada harus berjalan di koridor.

Para murid yang melihat nya bukan iba melainkan jijik. Segala kalimat negatif pun terdengar.

Chenle merasa dirinya memang pantas mendapatkan hal itu karena kondisi nya yang sekarang.

Yuta memang sudah melarang nya untuk tidak sekolah. Namun Chenle tetap memaksa karena jika dia tidak sekolah, maka Jeno dan yang lain akan menghajar nya habis habisan.

Masih baik dirinya yang dimintai uang jajan.

"Eh, kok bau?"

"Mayat berjalan"

"Kulit nya makin putih aja tuh"

"Bukan putih, tapi pucat"

"Ih, jijik banget gua pas liat"

"Mana kulit nya makin lembek"

"Huekkk, ga tahan gua co hueakkk"

"Bau banget, ga mandi apa gimana tu orang"

Telinga Chenle panas saat mendengar bisikan bisikan itu.

Beberapa ada yang menutup hidung.

Padahal jika dicium, gak terlalu bau tuh. Mereka saja yang berlebihan karena ingin membully Chenle.


















































Di dalam kelas. Mata Chenle terasa berat untuk dibuka. Bahkan dirinya tidak bisa melihat dengan jelas apa huruf yang tertulis di papan sana.

Matanya memburam. Tak di sangka, tiba tiba saja satu tetes darah keluar dari hidung nya.

Buru buru Chenle mengambil tisu yang memang diletakkan di atas meja. Berjaga jaga takut hal ini akan terjadi, lagi.

Yah karena selepas dari rumah sakit, dia jadi sering mimisan.

"Chenle, kamu sakit?" Tanya sang guru mapel yang sudah ada di depan meja Chenle.

Pertanyaan itu sontak membuat beberapa murid menoleh ke arah Chenle. Bukan tatapan iba, melainkan tatapan yang mengejek.

"E-enggak, pak" jawab Chenle sedikit kesusahan karena harus menahan pendarahan di hidung nya.

"Itu kamu mimisan, ayo bapak anter untuk istirahat di UKS"

Belum sempat sang guru memegang tangan Chenle. Chenle nya sudah kabur duluan. Perutnya tiba tiba terasa dikocok dan dirinya mual.

Si guru yang merasa kasihan pun menyusul Chenle. Takut ada apa apa dengan murid nya itu.

"Huekk" didalam toilet, Chenle berusaha untuk mengeluarkan apa yang dirasa mengganjal di dalam sana. Namun nihil. Tak ada apapun.

"Kamu enggak baik baik aja, Chenle"

"Ayo ke rumah sakit"

Chenle menolak keras. Dia berfikir ini hanya efek karena dirinya yang jarang mengonsumsi makanan akhir akhir ini.

Segala paksaan pun didapatkan nya. Namun Chenle tetap menolak apapun yang akan ia dapatkan jika ingin ke rumah sakit.

Seperti.

"Bapak akan ngasi kamu nilai bagus jika kamu nurut"

Chenle menolak. Toh sebentar juga dia mati, buat apa dapet nilai bagus?

Eh? Gaboleh gitu Chenle.

"Kalo gitu, bapak akan---"

"Enggak usah, pak. Saya baik baik aja kok"

Pada akhirnya pun si guru kalah. Dia hanya dapat memberikan sebuah obat vitamin pada Chenle dan beberapa roti untuk anak didiknya itu konsumsi.























































"Si b*ti kemana euy?" Tanya Jeno saat jam istirahat tiba.

Setelah Chenle yang berlari keluar kelas. Pemuda itu tidak kembali lagi ke sana.

"Tadi pak guru ngambil tas nya. Mungkin Chenle disuruh pulang" jawab Renjun.

"Yah, ga ada uang jajan dong hari ini" Haechan menunduk.

Omong omong, mereka lagi di belakang sekolah.

Tempat dimana mereka selalu menjadikan Chenle samsak tinju.

"Kalo tu anak mati begimana?" Celetuk Jaemin tiba tiba. Ketiganya pun menoleh.

"Ya gimana ya, bukan salah kita sih" kata Jeno.

"Dah lah, jan bahas itu" kata Renjun yang nampak tak ingin membahas nya. Jaemin sedikit merenggut kesal.

"Gue denger denger, adek lo bakal dateng ke sini, Chan"

"Kesini? Kesekolah? Ngapain tu anak ke sekolah gue?" Balas Haechan tak mengerti.

"Ke rumah lo maksod gue, tokek!" Sembur Jeno.

Renjun sedikit terkekeh. Beda hal nya dengan Jaemin yang sudah tertawa kencang.

"Iya sih, tapi masih beberapa bulan lagi"



























































Sore menjelang malam. Chenle menikmati cahaya matahari yang hampir tenggelam.

Dia tidak pulang. Dan lebih memilih untuk menikmati sunset di tepi pantai. Indah aja gitu katanya.

Karena matahari tenggelam tepat di tengah tengah pantai. Banyak orang yang datang hanya karena ingin menangkap momen itu.

Dan di samping kanan kiri Chenle pun di tempati oleh orang yang asik berfoto.

"Terkadang, aku selalu berfikir ingin mati karena perlakuan orang orang jahat itu. Namun, disisi lain, aku merasa ingin tetap hidup kala melihat perlakuan alam padaku"

"Seperti langit yang indah, pantai yang damai dengan suara ombak yang saling bersahutan dan angin yang sejuk. Itu semua membuat ku ingin selalu tetap hidup dan menikmati nya"

"Tapi, jika bisa, maka aku akan lebih memilih untuk menjadi hal indah itu daripada melihat nya. Karena aku yang akan dilihat, semua orang akan merasa tenang kala melihat hal indah itu"

"Dan juga aku akan merasa senang karena bisa membuat suasana hati orang lain menjadi baik"

Angin menyapu surai hitam milik Chenle. Matanya terpejam bibirnya terangkat membentuk senyuman.

Dia sangat menikmati moment indah ini.

Moment yang selalu ingin Chenle lakukan berkali kali. Sekaligus moment terakhir nya melihat sang Surya tenggelam.











































Double upp

Outhor sengaja enggak upp🤭

Soalnya dah mau END

'✓Pleace, Stop [Chenle]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang