Pagi yang cerah membawa semangat baru bagi Sumire. Ia berjalan menuju sekolah dengan langkah ringan, meski bayang-bayang kekhawatiran tetap menghantuinya. Sejak pertemuannya dengan Kawaki semalam, ia merasa ada jarak yang semakin lebar antara mereka. Kawaki tampaknya tidak bisa melepaskan diri dari kebingungannya, dan Sumire tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membantu.
Hari ini, festival sekolah masih berlangsung. Banyak kegiatan yang direncanakan, dan semuanya tampaknya penuh dengan keceriaan—kecuali bagi Sumire yang merasa hatinya masih berat.
Sumire menatap langit biru yang tak bercelah, merasa seperti satu titik di bawah langit yang luas. Ia mencoba mengabaikan kerisauan yang ada di dadanya, tetapi perasaan itu semakin menghantuinya setiap kali ia melihat Kawaki atau Eida.
Saat ia tiba di sekolah, ia tidak melihat Kawaki di mana pun. Mungkin ia datang terlambat, pikirnya. Namun, ia segera menemukan sosok Kawaki di lapangan olahraga, duduk di bangku yang sama di bawah pohon besar, seperti biasanya.
Sumire menghampirinya dengan hati-hati, tidak ingin mengganggu. "Kawaki-kun," panggilnya pelan, dan Kawaki menoleh.
"Oh, Sumire," Kawaki menjawab dengan suara yang agak datar. "Kau datang lebih cepat dari yang kupikirkan."
Sumire tersenyum kecil, tetapi ada sedikit kesedihan di matanya. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kita belum sempat berbicara semalam."
Kawaki mengangguk, namun ia tidak tampak seperti ingin melanjutkan pembicaraan lebih jauh. "Tidak ada yang perlu dibicarakan, Sumire."
Sumire merasa ada tembok tak terlihat yang menghalangi antara mereka. "Aku tahu kau sedang bingung, Kawaki-kun. Aku hanya ingin kau tahu, aku ada untukmu."
Kawaki menatapnya sejenak, lalu menarik napas panjang. "Aku tahu. Tapi..." Ia terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak ingin menyakitimu, Sumire."
Sumire merasakan hatinya teriris. "Kawaki-kun, kau tidak perlu khawatir soal itu. Aku hanya ingin kau bahagia, apapun pilihanmu."
Kawaki memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa. Di saat itu, Eida muncul di belakang mereka, berdiri dengan sikap yang biasa—menawan dan penuh percaya diri.
"Eida-san," Sumire menyapa dengan canggung, menyadari ada ketegangan yang mulai tumbuh di antara mereka bertiga.
Eida tersenyum dan melangkah mendekat. "Aku pikir kalian sedang berbicara penting. Maaf kalau aku mengganggu," katanya, meskipun senyum di wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
Kawaki terlihat tidak nyaman, tetapi ia mencoba tetap tenang. "Tidak ada yang penting, Eida."
Eida mengangkat alis, memandang Sumire dan Kawaki bergantian. "Oh, begitu? Kalau begitu, aku ingin ajak kalian ke salah satu permainan di festival. Ayo, jangan terlalu serius. Terkadang, kita butuh sedikit keceriaan."
Sumire merasa ada yang tidak beres, namun ia memutuskan untuk mengikuti. "Baiklah, mari kita pergi," jawabnya pelan.
Mereka bertiga berjalan bersama ke area festival, namun ada sesuatu yang membuat suasana tidak nyaman. Eida selalu tampak lebih dekat dengan Kawaki, sementara Sumire tetap terpisah, meskipun mereka berjalan berdua. Kawaki terlihat semakin terpojok, bingung antara memilih untuk bertahan atau melepaskan diri dari kedua gadis ini.
---
Sore hari menjelang malam, festival semakin meriah. Kawaki, Eida, dan Sumire akhirnya menemukan diri mereka di depan panggung utama, tempat pertunjukan tarian dan musik dimulai. Namun, meskipun keramaian itu hadir, Kawaki merasa hatinya semakin kesepian.
Sumire berbicara dengan teman-temannya, sementara Eida mendekat ke Kawaki, menatapnya dengan tatapan yang tajam. "Kau tahu, Kawaki," kata Eida sambil tersenyum, "kita bisa lebih dari sekadar teman. Aku tahu itu."
Kawaki menoleh, merasa gelisah. "Eida, aku tidak ingin bermain-main dengan perasaan siapa pun."
Eida tertawa rendah, tetapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. "Siapa yang bermain-main? Aku hanya ingin kau melihat dirimu yang sebenarnya. Aku tahu kau bisa lebih dari ini. Kau terlalu mengunci dirimu sendiri."
Kawaki menggigit bibirnya, merasa tertekan. "Aku tidak ingin terjebak dalam permainanmu, Eida."
"Jadi, kau memilih Sumire?" Eida bertanya, suaranya berubah tajam. "Kau benar-benar yakin itu yang terbaik?"
Kawaki merasa seolah-olah dunia berhenti berputar. Tatapan Eida sangat menusuk, memaksanya untuk melihat kenyataan yang sulit dihadapi. "Aku..." Ia terdiam, tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Pada saat itulah, Sumire datang kembali, dengan senyum yang tampaknya tak terpengaruh dengan percakapan antara Kawaki dan Eida. Namun, Sumire bisa merasakan ketegangan di antara mereka.
"Sumire," kata Eida, menyapanya dengan suara yang sangat manis. "Kawaki dan aku baru saja berbicara tentang beberapa hal. Kami hanya ingin tahu apa yang kau rasakan."
Sumire menatap Eida dengan kerutan di dahinya. "Apa maksudmu?"
Eida tersenyum lebar, tapi senyum itu terasa lebih seperti tantangan daripada kehangatan. "Kau tahu, Sumire, aku hanya ingin melihat bagaimana kalian berdua menangani ini. Cinta itu rumit, kan?"
Sumire menatap Kawaki, yang terlihat bingung, dan hatinya terasa semakin berat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Kawaki, aku hanya ingin kau bahagia," katanya dengan suara pelan, namun tegas. "Aku ingin kau memilih jalan yang terbaik untuk dirimu."
Kawaki merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Sumire. Ia tahu bahwa tidak peduli apa yang ia pilih, ada yang akan terluka. Tetapi ia tidak bisa terus hidup dalam kebingungannya.
---
Malam itu, langit yang gelap dihiasi oleh bintang-bintang yang mulai bermunculan, seolah menyaksikan keputusan yang harus Kawaki buat. Ketika ia duduk sendirian di balkon rumah, pikirannya kembali mengingatkan pada percakapan antara Eida dan Sumire. Keduanya menawarkan sesuatu yang berbeda—Sumire dengan ketenangan dan kasih sayangnya, sementara Eida dengan tantangannya yang memikat.
Kawaki tahu ia harus membuat pilihan. Namun, semakin lama ia menunda, semakin besar luka yang ia timbulkan. Ia tidak bisa terus berlarian dari perasaannya sendiri.
Di bawah langit yang penuh bintang, Kawaki merasa seolah tiga titik itu semakin dekat—tapi apakah ia siap untuk menyatukan mereka, atau justru akan ada satu titik yang hancur?
------------------------------------------------------------
Jangan lupa di votee dan komen yaa teman teman. Sampai ketemu di bab selanjutnya 👋👋

KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Titik di Langit Senja
RomanceKawaki, seorang pemuda pendiam dengan masa lalu kelam, hidup di bawah bayang-bayang takdir yang membebaninya. Ia percaya bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa ia miliki-hingga ia bertemu dengan Sumire, seorang gadis ceria yang membawa kehangatan se...