Pagi yang cerah membawa hawa yang segar, namun Kawaki merasa seolah dunia yang ada di sekitarnya terlalu berat untuk dijalani. Semalam, pikirannya berputar tanpa henti. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi keduanya—Sumire dengan kelembutannya yang membuatnya merasa damai, dan Eida dengan daya tarik yang memaksanya untuk memilih antara kenyamanan atau tantangan.
Kawaki memutuskan untuk pergi lebih awal ke sekolah pagi ini, berharap udara segar bisa membantunya menemukan jawaban. Namun, meskipun ia berusaha menyendiri, rasa bingung itu tetap menghantuinya.
Di sekolah, suasana terasa lebih ramai daripada biasanya. Festival yang sedang berlangsung memberikan warna baru pada hari-hari mereka, namun bagi Kawaki, semuanya terasa seperti rutinitas yang tidak berarti. Bahkan senyum Sumire yang ia temui di koridor pagi ini terasa pudar, meskipun gadis itu tetap berusaha tersenyum kepadanya.
Sumire menghampirinya dengan langkah hati-hati, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang mengganjal. "Kawaki-kun, bagaimana tidurmu tadi malam?" tanyanya lembut.
Kawaki memaksakan senyum. "Aku tidur cukup. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Sumire menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia elakkan. "Kawaki-kun... aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bisa merasakannya."
Kawaki menundukkan kepalanya, merasa sesak di dada. "Sumire, aku... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Sumire hanya terdiam, memberi ruang bagi Kawaki untuk berbicara lebih lanjut. Tetapi Kawaki merasa terlalu bingung dan tertekan untuk menjelaskan perasaannya.
"Apakah kau ingin berbicara lebih lanjut?" Sumire menawarkan, suara lembutnya penuh pengertian.
Kawaki menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin menyakitimu, Sumire."
Sumire mengangguk pelan, meskipun ada kesedihan yang jelas di matanya. "Kawaki-kun, aku hanya ingin kau bahagia. Apapun yang terjadi, aku ingin kau menjadi dirimu sendiri."
Kawaki merasa hatinya semakin berat. Kata-kata Sumire menyentuhnya, tetapi semakin dalam perasaan itu, semakin besar kebingungannya.
---
Setelah pelajaran selesai, Kawaki mendapati dirinya berjalan ke arah taman sekolah, mencari tempat yang tenang untuk berpikir. Tetapi, sekali lagi, perasaan itu mengikutinya—sebuah keputusan yang harus ia ambil, meskipun ia tidak siap untuk itu.
Ketika ia melangkah ke taman, ia melihat Eida berdiri di bawah pohon, menunggu seperti sudah tahu ia akan datang. Eida menatapnya dengan senyuman yang sulit diartikan, seolah mengerti betul apa yang sedang terjadi dalam pikiran Kawaki.
"Kau datang juga," kata Eida, nadanya penuh tantangan, tetapi juga penuh rasa ingin tahu.
Kawaki menatapnya dengan tatapan kosong. "Aku tidak tahu harus bagaimana, Eida. Aku tidak ingin ini terus berlanjut."
Eida mendekat, dengan senyum tipis yang penuh arti. "Apa yang kau takutkan, Kawaki? Aku bukan orang yang mudah ditakuti."
Kawaki menatap Eida, merasa gelisah. "Ini bukan soal takut. Ini tentang memilih siapa yang benar-benar kuinginkan. Aku tidak ingin menghancurkan semuanya."
Eida tertawa rendah, seolah ia sudah mengetahui arah percakapan ini. "Kau masih bingung, ya? Kau pikir kau bisa terus menghindar dari perasaanmu?"
Kawaki menggigit bibirnya, merasa semakin kesulitan. "Aku tidak ingin melukai siapa pun, Eida. Aku tahu bagaimana perasaan Sumire terhadapku, dan aku tidak ingin membuatnya terluka."
Eida melangkah lebih dekat, dan ada keseriusan di matanya yang jarang ia tunjukkan. "Kawaki, hidup itu tidak selalu tentang tidak melukai orang lain. Kadang, kita harus memilih untuk mengikuti apa yang benar-benar kita inginkan. Kau tahu itu, kan?"
Kawaki terdiam, perasaannya terombang-ambing di antara keduanya. Eida benar—ia harus memilih, meskipun memilih berarti melukai hati seseorang.
Sebelum Kawaki bisa mengatakan apa pun, suara langkah kaki mendekat, dan mereka berdua menoleh. Sumire berdiri di sana, dengan senyum tipis yang tidak bisa menutupi kegelisahannya.
"Sumire..." Kawaki menyapa dengan suara yang pelan, tetapi jelas ada rasa bersalah di dalamnya.
Sumire memandang mereka berdua dengan tatapan yang tenang, meskipun ada kegelapan yang tersembunyi di balik matanya. "Aku melihat kalian berdua di sini. Aku rasa ada sesuatu yang harus kita bicarakan."
Eida menatap Sumire dengan senyuman yang tidak terlalu ramah. "Oh, jadi kamu tahu, ya?"
Sumire mengangguk, tidak merasa terkejut. "Aku tahu. Kawaki-kun, kita harus membicarakan ini. Aku tidak ingin ada yang terlukai lebih jauh."
Kawaki merasa hatinya semakin berat. Ia tahu ini adalah saat yang tak terhindarkan—saat ia harus memilih.
"Sumire," kata Kawaki, akhirnya menemukan kata-kata yang ia cari, "Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya, tetapi aku merasa aku harus mengatakan ini. Aku... aku ingin bersama denganmu."
Sumire menatapnya dengan mata yang hampir tidak percaya, namun di dalam hatinya, ia merasa seperti ada sebuah harapan yang tumbuh kembali. "Kawaki-kun..."
Namun, Eida tidak tampak terkejut. "Jadi, kamu memilih Sumire, ya?" Suaranya datar, namun ada sedikit nada kecewa di sana. "Aku kira, kita sudah sampai pada titik ini."
Sumire menatap Eida dengan rasa cemas, tetapi juga penuh pemahaman. "Eida, aku tahu kau sangat berani, dan aku tahu kau bisa menarik perhatian siapa pun. Tapi jika kau benar-benar peduli pada Kawaki, aku harap kau bisa memberinya ruang untuk memilih."
Eida tidak menjawab seketika. Ia hanya menatap Kawaki dengan intensitas yang hampir mematikan, seolah menunggu reaksi lebih lanjut. Akhirnya, Eida menarik napas panjang dan tersenyum sinis.
"Baiklah," kata Eida, suaranya lembut namun tajam, "aku akan memberimu ruang, Kawaki. Tapi ingat, jangan pernah lupakan siapa yang telah ada untukmu."
Dengan langkah tegap, Eida berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Kawaki dan Sumire yang hanya bisa saling memandang, perasaan mereka bercampur aduk.
---
Sore itu, langit mulai meredup, berubah menjadi jingga yang indah, seakan menyaksikan keputusan yang telah diambil. Kawaki duduk bersama Sumire di taman, terdiam dalam keheningan yang nyaman, meskipun ada perasaan campur aduk di dalam hati mereka berdua.
"Kawaki-kun," kata Sumire akhirnya, suaranya lembut namun penuh pengertian, "aku tidak ingin kau merasa tertekan. Aku hanya ingin kau bahagia."
Kawaki menatapnya, merasa seolah beban yang berat mulai sedikit menghilang. "Terima kasih, Sumire. Aku tahu, aku sudah memilih... dan itu karena kau membuatku merasa seperti rumah."
Sumire tersenyum, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. "Aku akan selalu ada untukmu, Kawaki-kun. Apapun yang terjadi."
Di langit senja yang indah itu, mereka duduk bersama, berdua di bawah langit yang semakin gelap, berharap bahwa keputusan ini membawa kedamaian bagi mereka berdua—meskipun tak ada yang bisa meramalkan masa depan yang akan datang.
------------------------------------------------------------
Jangan lupa di votee dan komen yaa teman teman. Sampai ketemu di bab selanjutnya 👋👋

KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Titik di Langit Senja
RomanceKawaki, seorang pemuda pendiam dengan masa lalu kelam, hidup di bawah bayang-bayang takdir yang membebaninya. Ia percaya bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa ia miliki-hingga ia bertemu dengan Sumire, seorang gadis ceria yang membawa kehangatan se...