10. BINTANG YANG TERSENYUM DI LANGIT SENJA

12 2 0
                                    

Hari-hari yang berlalu membawa perubahan yang tak terhindarkan. Kawaki merasa seolah ia telah melangkah lebih jauh dalam perjalanan hidupnya, meskipun langkahnya tak selalu pasti. Ia telah memilih Sumire, tetapi perasaan terhadap Eida, yang tak pernah sepenuhnya hilang, terus mengingatkannya tentang keputusan yang penuh dengan konsekuensi.

Setelah percakapan terakhir dengan Eida, Kawaki merasa beban di hatinya sedikit terangkat, tetapi di sisi lain, ia juga merasakan ketegangan yang tak kunjung reda. Eida menerima keputusannya dengan cara yang berbeda—lebih tegas, lebih dingin, seolah ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Kawaki tahu, meskipun Eida tak mengungkapkannya, perasaan gadis itu masih ada.

Sumire pun tak lepas dari perubahan suasana. Meskipun mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama, ada sesuatu yang tidak bisa Kawaki hindari: Sumire bisa merasakan perasaan yang masih menggelayuti dirinya. Namun, Sumire tetap sabar, memberikan ruang bagi Kawaki untuk menemukan dirinya sendiri.

Pagi itu, Kawaki berjalan menuju sekolah dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Saat ia tiba di gerbang sekolah, ia melihat Sumire sedang duduk di bangku taman, menikmati udara pagi dengan senyum yang menenangkan. Kawaki menghampirinya dengan langkah perlahan, berharap bisa menenangkan hatinya dengan kehadiran Sumire.

"Sumire," sapanya, suara kawaki rendah dan penuh kehangatan.

Sumire mengangkat kepalanya dan tersenyum begitu melihatnya. "Kawaki-kun, kamu datang juga," katanya lembut, matanya berbinar meski ada sedikit kecemasan di dalamnya.

Kawaki duduk di sampingnya, merasakan kehangatan yang ia cari. "Sumire, aku... aku ingin kamu tahu bahwa aku memilihmu. Aku tahu ini tidak mudah, dan aku ingin kita bisa melewati ini bersama."

Sumire menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. "Kawaki-kun, aku tidak pernah memaksamu untuk memilih. Aku tahu, kau sudah melakukan apa yang menurutmu benar."

Kawaki menatap Sumire, merasa kesulitan untuk mengungkapkan kata-kata yang benar. "Aku merasa... sangat bingung. Eida... dia menerima keputusanku, tapi aku tahu dia terluka. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapinya."

Sumire menaruh tangannya di atas tangan Kawaki, memberikan dukungan yang tidak terucapkan. "Kawaki-kun, aku tahu ini sulit. Tetapi kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Yang terpenting adalah, kita harus tetap berjalan ke depan. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."

Kawaki tersenyum sedikit, merasa sedikit lega dengan kata-kata Sumire. "Aku beruntung memiliki kamu, Sumire."

Sumire membalas senyumnya, tetapi ada sedikit kesedihan yang tidak bisa ia sembunyikan. "Aku juga merasa beruntung. Tapi, jika ada hal yang membuatmu merasa tidak nyaman, jangan ragu untuk mengatakan padaku. Kita harus saling mengerti."

Kawaki mengangguk pelan, berusaha menyelesaikan perasaan yang selama ini mengganggu pikirannya. "Aku akan berusaha, Sumire. Aku berjanji."

Namun, meskipun kata-kata itu mengalir dengan lancar, di dalam hati Kawaki, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Perasaan itu adalah rasa bersalah yang tetap menghinggapi dirinya—rasa bersalah karena telah memilih Sumire dan meninggalkan Eida. Ia ingin memperbaiki semuanya, tetapi ia tahu kadang hidup tidak bisa diselesaikan dengan mudah.

---

Setelah sekolah berakhir, Kawaki memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman sekolah, mencoba menenangkan pikirannya. Saat ia berbelok ke arah jalan setapak, ia melihat seseorang yang sudah sangat dikenalnya—Eida. Gadis itu berdiri di bawah pohon yang rimbun, dengan tatapan kosong yang tajam.

Kawaki terhenti di tempatnya, dan Eida menoleh, menyadari kehadirannya. Wajah Eida tidak menunjukkan emosi, tetapi Kawaki tahu bahwa di balik tatapan itu ada banyak perasaan yang disembunyikan.

"Eida," Kawaki memanggilnya dengan suara yang pelan, tidak ingin menambah ketegangan yang ada.

Eida mengangkat alisnya dan menyeringai kecil. "Kawaki, akhirnya kita bertemu lagi." Suaranya datar, tetapi ada nada kecewa yang samar di sana.

Kawaki merasa cemas, tetapi ia tahu ia harus berbicara. "Aku... aku ingin meminta maaf, Eida. Aku tahu ini sulit untuk kamu. Aku tidak ingin melukaimu, tetapi aku juga tidak bisa memaksakan perasaanku."

Eida menatapnya tanpa berbicara sejenak, lalu perlahan berkata, "Kawaki, tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku sudah menerima kenyataan ini, meskipun itu tidak mudah. Aku tahu aku tidak bisa memaksamu untuk memilihku."

Kawaki terdiam, kata-kata Eida membuat hatinya semakin bimbang. "Aku... aku ingin kamu tahu, Eida, meskipun aku memilih Sumire, itu tidak berarti aku mengabaikanmu."

Eida tertawa kecil, meski itu terdengar pahit. "Kawaki, kita sudah sampai pada titik ini. Aku tidak ingin membuatmu merasa bersalah. Pilihanmu sudah jelas, dan aku akan menjalani hidupku tanpa menunggu."

Kawaki merasa berat mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu bahwa Eida berusaha untuk melepaskannya. "Eida, aku berharap kau bisa bahagia. Aku benar-benar berharap itu."

Eida menatapnya dengan mata yang lebih lembut, meskipun ada kesedihan yang menyelubungi tatapannya. "Kawaki, aku akan baik-baik saja. Percayalah."

Kawaki hanya bisa menatap Eida, merasa seperti ia kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Namun, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari hidup—tentang memilih, tentang berpisah, dan tentang berjalan maju meskipun terkadang perasaan kita terbelah.

"Eida," kata Kawaki pelan, "terima kasih, untuk segalanya."

Eida tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya tersenyum tipis, lalu berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Kawaki yang hanya bisa memandang kepergiannya.

---

Langit senja mulai memerah, dengan warna jingga yang menawan. Kawaki duduk di tepi sebuah bangku taman, merenungkan percakapan terakhirnya dengan Eida. Meskipun ia merasa sedikit lega, ada rasa kehilangan yang tidak bisa ia hilangkan.

Sumire datang menghampirinya dengan langkah ringan, duduk di sampingnya, dan mengamati langit yang memudar perlahan. "Kawaki-kun," suara Sumire lembut, "aku tahu kamu merasa bingung. Tapi percayalah, kita akan berjalan bersama melewati semua ini."

Kawaki memandangnya, merasa sedikit lebih tenang. "Sumire, aku... aku merasa sangat beruntung bisa berada di sini bersama kamu."

Sumire tersenyum lembut, meski ada sedikit kerut di dahinya. "Aku akan selalu ada untukmu, Kawaki-kun. Meski langit senja kadang terlihat gelap, bintang selalu hadir untuk menyinari jalan kita."

Kawaki menatap langit senja, merasa ada kedamaian yang mulai meresap ke dalam hatinya. Ia tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi seperti langit senja yang selalu menawarkan harapan, ia percaya bahwa setiap pilihan yang diambil akan membawa mereka ke tempat yang lebih baik—meskipun ada waktu di mana bintang-bintang itu harus pergi.





------------------------------------------------------------





Jangan lupa di votee dan komen yaa teman teman. Sampai ketemu di bab selanjutnya 👋👋

Tiga Titik di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang