Pagi itu, suasana di ruang rawat inap rumah sakit begitu sunyi. Hanya terdengar suara mesin monitor yang berdetak pelan di samping ranjang tempat Sabila terbaring lemah. Tubuhnya masih terasa berat, tenaganya lemas, dan hatinya hampa. Sabila menatap langit-langit putih di atasnya, air mata jatuh tanpa bisa ia kendalikan.
Renner duduk di kursi di sampingnya, menggenggam erat tangan istrinya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan mata yang menyimpan begitu banyak rasa-kesedihan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Ia merasa tak berdaya melihat Sabila seperti ini.
"Mas..." suara Sabila pelan, hampir seperti bisikan.
Renner mencondongkan tubuhnya, mendekat ke istrinya. "Iya, kenapa, Ca?"
Sabila tak menjawab. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia tak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya. Kehilangan ini begitu besar, begitu menyakitkan.
Ia tahu kehamilannya kali ini cukup rentan. Ia juga sering sakit, sering mual, keinginan ngidamnya juga beragam yang merepotkan suaminya. Tapi kesehatannya selalu ia prioritaskan. Setiap merasa lelah sedikit, Sabila selalu beristirahat. Bahkan shift-shift siang sama sekali tak pernah ia ambil.
Semalam, saat tidur, ia tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa pada kepalanya. Ia lantas terbangun untuk mengambil minum. Baru beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba ia merasa ada yang basah dari bawah sana. Ketika menoleh ke bawah, darah sudah membasahi betisnya. Ia berteriak, menangis terisak. Renner langsung menggendongnya dan mereka bergegas menuju IGD terdekat.
Dokter yang menangani Sabila melarikannya ke ruang operasi, Sabila mengalami pendarahan hebat. Dokter menjelaskan, sang calon bayi sudah tak terselamatkan, dan bahkan nyawa Sabila bisa terancam bila ia tidak mengangkat 20% bagian rahimnya. Tapi yang terpenting, Sabila selamat. Ia hanya butuh memulihkan badannya selama beberapa hari.
"Mas..." Sabila kembali bersuara. Kali ini suaranya lebih parau. "Kamu marah sama aku?"
Renner terkejut, mengerutkan dahinya. Ia menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Marah? Kenapa aku harus marah?"
Sabila menunduk, air matanya mulai jatuh lagi. "Karena aku nggak bisa jaga bayi kita..."
Renner menggeser kursi tempat ia duduk agar lebih dekat lagi dengan ranjang Sabila. Ia melepas genggamannya, lalu mengusap pipi Sabila. "Ca, kan tadi Dokter bilang. Kadang hal-hal kayak gini terjadi tanpa alasan. Dengerin aku ya, ini bukan salah kamu. Nggak ada yang bisa nyalahin kamu, apalagi aku."
"Tapi aku-"
"Cukup, Ca," potong Renner, suaranya tercekat. "Aku nggak mau denger kamu nyalahin diri kamu sendiri. Yang bisa kita lakuin sekarang, berdoa supaya dia masuk surga." Ia lalu mengecup pucuk kepala Sabila dan merengkuh istrinya.
Sabila terisak lagi dalam dekapan Renner. Ia tahu Renner benar, tapi rasa bersalah itu begitu kuat, menghimpitnya dari dalam. Ia merasa gagal sebagai ibu, gagal sebagai istri. Kehilangan ini terasa begitu besar, begitu mendalam, seolah-olah menyisakan kekosongan yang tak bisa diisi.
⏳⏳⏳
Hari-hari setelah itu terasa seperti mimpi buruk yang berkepanjangan. Sabila sulit bangkit dari tempat tidurnya, bukan hanya karena fisiknya yang lemah, tapi juga karena hatinya yang terasa kosong. Sabila jadi banyak diam dan sering melamun.
Renner memang selalu ada di sampingnya, berusaha menghibur dengan kata-kata atau sekadar kehadirannya. Namun, ia tahu bahwa apa pun yang ia lakukan tak bisa sepenuhnya menghapus luka di hati Sabila.
Bahkan Al, yang biasanya selalu bisa menghibur Sabila, tak terlalu banyak membawa senyum. Renner sudah menginstruksikan Al untuk menggambar atau bermain ukulele kecil untuk ibunya, tapi respon Sabila hanya senyum tipis.
Seperti kali ini.
"Mama...! Liat Al gambar apa!!" serunya. Ia menggambar dinosaurus kesayangannya.
Sabila tersenyum, "Bagus, Al. Nanti Mama pasang di kulkas." sahutnya, lalu kembali larut dalam lamunannya. Al menoleh ke ayahnya kecewa.
"Nggak apa-apa, Al. Mama lagi sedih. Kan gambarnya Mas Al tetep bagus." bisik sang ayah. Renner lalu menggendong Al, dan bersama-sama mereka memasang gambar itu dengan magnet kulkas.
Al lalu meronta minta turun dari gendongan Renner. Ia kemudian berlari dan memeluk Sabila tanpa aba-aba. "Mama!!!" teriaknya di telinga Sabila. Mata Sabila sampai membulat kaget, hampir ia berteriak juga dengan nada tinggi, tapi urung karena Al tiba-tiba mencium pipinya, "Al sayang Mama...!" serunya lagi. Sabila sontak menarik Al dalam pelukan, berusaha menahan tangisnya. Ia mengusap punggung putranya itu, "Mama juga sayang sama Al."
Renner hanya bisa menatap kelakuan putranya itu dan tersenyum. Meski baru empat tahun, tapi Al tampak tahu bahwa ibunya butuh dihibur. Bocah itu adalah pengingat bahwa meskipun mereka kehilangan, mereka masih punya sesuatu yang begitu berharga.
⏳⏳⏳
Malam hari, ketika Al sudah terlelap, Renner memaksa Sabila untuk bicara kepadanya. Sudah beberapa hari ini, Sabila tak mau membahas soal kegugurannya.
Ia duduk di tepi tempat tidur, menghadap Sabila yang setengah terduduk. "Ca, kamu harus bicara sama aku."
Sabila menoleh, menatapnya nanar. "Aku nggak tahu harus bilang apa, Mas."
"Apapun yang kamu rasain. Jangan pendam sendiri. Aku di sini, aku suami kamu. Kita jalanin ini bareng-bareng."
Sabila menghela nafas. "Ya aku sedih. Aku kehilangan anak aku. Apa lagi yang harus aku bicarain?" tanyanya. Nadanya setengah frustasi, setengah ketus.
Renner agak tersulut emosi karena reaksi sang istri yang begitu kesal. Padahal, ia bermaksud baik. "Ca. Kamu tuh nggak sendiri. Aku juga kehilangan. Al juga kehilangan. Tapi, kita harus tetep jalan kan, sebagai keluarga?" tanya Renner.
Sekarang Sabila menghindari netranya. Ia melempar pandangannya ke sudut ruangan yang lain. Meski yang Renner katakan benar, sungguh sakit rasanya ketika suami sendiri mengecilkan perasaannya. Emang tidak boleh jika ia berduka lebih lama lagi?
Kini nada Renner berubah lembut, ia mengusap surai Sabila. "Kamu tahu kan, kita ini disebut yatim-piatu karena kehilangan ayah dan ibu?"
"Tapi nggak ada istilah buat orangtua yang kehilangan anaknya. Karena emang itu hal terberat yang ada di dunia ini, Ca."
"Dan terutama kamu. Kamu kehilangan sebagian dari badan kamu sendiri. Aku nggak akan pernah tahu rasanya kayak apa." lanjut Renner lagi.
Dengan rahim Sabila yang terangkat sebagian, artinya peluang kehamilan selanjutnya akan jauh lebih kecil dan penuh risiko. Renner tahu mungkin itu juga yang membuat sang istri jadi makin terpuruk.
Sabila akhirnya menoleh ke Renner. "Aku takut, Mas. Aku takut hamil lagi. Takut kehilangan lagi. Takut nggak bisa jadi ibu yang baik buat Al karena aku bahkan nggak bisa ngejaga janin aku sendiri. Takut ngecewain kamu."
Renner mengernyitkan dahinya, ia menggeleng cepat. "Ca, kamu ibu yang luar biasa buat Al. Dia aja tahu kamu sayang banget sama dia. Dan ngecewain aku kayak gimana sih? Aku nggak pernah kecewa sama kamu, Ca. Nggak sedetik pun dalam hidup aku momen itu ada."
"Tapi..." Sabila terdiam, suaranya bergetar. "Rahim aku, Mas...Gimana kalau aku nggak bisa kasih kamu anak lagi?"
Renner menggenggam tangan Sabila erat. "Ca, kamu tahu kenapa aku nikahin kamu?" Sabila hanya terdiam tak menjawab.
"Karena aku cinta sama kamu. Nggak ada hubungannya sama rahim, sama anak, atau apapun itu. Aku nikahin kamu karena aku mau hidup sama kamu. Apapun yang terjadi." jelas Renner sambil mencium tangan Sabila.
"Dan anak itu yang ngasih Tuhan. Kita udah dikasih Al, itu udah lebih dari cukup, Ca. Aku bahagia banget sama kamu, sama keluarga kecil kita ini. Jadi nggak usah kamu mikir macem-macem. Oke?" Sabila mengangguk pelan. Renner mengecup lembut bibir istrinya dan membawa Sabila ke dalam pelukannya.
Ucapan Renner membuat air mata Sabila kembali mengalir. Sabila memeluk suaminya itu erat-memeluk semua cinta dan dukungan yang selama ini ia butuhkan.
bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
Ficção GeralOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.