Chapter 8

0 0 0
                                    

"Bekerja...?"





Keesokan paginya, Arish sudah bangun terlebih dahulu. Dia menatap ke atas tempat tidur, melihat Aisyah yang masih terlelap di sana. Suasana pagi terasa sepi, dan dia menghela nafas pelan, berusaha mengumpulkan pikirannya. Dengan keputusan untuk memulai hari, dia bangkit dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi.

Setelah beberapa saat, Arish keluar dari kamar mandi dengan mengenakan celana panjang hitam dan sweater putih. Saat itu, Aisyah terbangun dan terkejut melihat suaminya sudah bangun. “Mas Arish sudah bangun?” tanyanya, matanya masih mengantuk. “Maaf, aku ketiduran.”

“Tidak apa-apa,” jawab Arish sambil tersenyum tipis. “Segera bersiap, kita akan pergi sarapan dengan ayah dan ibu.”

Aisyah mengangguk dan segera bergegas untuk bersiap. Sementara itu, Arish duduk di sofa, melamun. Pikiran tentang Jasmin kembali menghantuinya. Dia tahu betapa hancurnya perasaan Jasmin setelah semua yang terjadi. Setiap detik terasa semakin berat, dan dia merasa tidak bisa melakukan apa pun untuk memperbaiki keadaan.

Setelah beberapa saat, Aisyah keluar dari kamar mandi mengenakan pakaian tertutup dan hijab yang menutupi rambutnya. Dia terlihat anggun, tetapi Arish merasakan kepedihan di hatinya. Dia ingin Aisyah bahagia, tetapi dia sendiri masih terjebak dalam perasaannya yang tidak berujung.

Arish berjalan lebih dulu, dan Aisyah mengikuti di belakangnya. Mereka sampai di meja makan, di mana Haris dan Aneska sudah menunggu. Aneska tersenyum lebar saat melihat mereka. “Selamat pagi! Ayo duduk, kita sarapan bersama.”

Selama sarapan, suasana terasa canggung. Aneska, berusaha mencairkan suasana, bertanya, “Bagaimana dengan malam pertama kalian? Lancar, kan?”

Arish yang mendengar pertanyaan itu langsung terdiam, hatinya bergetar. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak nyaman. Aisyah menatap suaminya dengan pelan, lalu dengan suara lembut menjawab, “Ya, semuanya berjalan lancar mah…”

Mendengar jawaban Aisyah, Arish merasa lega tetapi sekaligus bersalah. Dia tahu Aisyah harus berbohong demi dirinya, dan rasa bersalah itu menyelip di antara mereka. Dia tidak ingin Aisyah terjebak dalam kebohongan, tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan.

Aneska tersenyum puas, tidak menyadari ketegangan yang ada di antara pasangan muda itu. “Baguslah kalau begitu. Kami senang mendengar itu. Semoga kalian bisa segera membangun kehidupan yang bahagia bersama.”

Setelah selesai sarapan, Haris mulai membuka pembicaraan. “Arish,” katanya, memecah keheningan, “sekarang kamu sudah menjadi seorang suami. Rasanya sudah saatnya kamu bekerja di perusahaan ayah untuk menghidupi Aisyah."

Arish terkejut mendengar pernyataan itu. Dia tidak menyangka akan ada pembicaraan tentang bekerja, tetapi di satu sisi, dia merasa senang. Jika dia bekerja, dia bisa keluar dari rumah ini setelah 22 tahun terjebak di dalamnya. Dan lebih dari itu, jika dia dapat keluar, dia bisa mencari cara untuk menemui Jasmin...

“Bekerja?” Arish mengulang, mencoba mencerna informasi tersebut. “Kapan aku harus mulai?”

“Segera,” jawab Haris tegas. “Kita butuh kamu di perusahaan. Aisyah juga butuh suami yang bisa menanggung hidupnya.”

Arish mengangguk, perasaan campur aduk menghantuinya. Di satu sisi, dia merasa tertekan dengan tanggung jawab baru ini, tetapi di sisi lain, dia melihatnya sebagai kesempatan untuk melangkah keluar dari bayang-bayang rumah yang selalu terasa mengekang.

“Baiklah, aku siap,” ujarnya, berusaha menyembunyikan kegugupan di dalam hatinya. Di dalam pikirannya, bayangan Jasmin kembali muncul, dan dia tahu bahwa perasaannya terhadap wanita itu tidak akan bisa hilang begitu saja. Namun, saat ini, dia harus menjalani hidup barunya dan berharap bahwa suatu saat, semuanya akan menemukan jalannya.





















End.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ijabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang